Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tentang Tuhan, Keterbatasan Nalar, dan Klaim Kebenaran Kita

7 April 2018   21:15 Diperbarui: 1 Juli 2018   20:18 2228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiba-tiba Prima Sekar Veda Uno, seorang mahasiswi di floor meminta waktu untuk memberi tanggapan, dan segera saya berikan. Rupanya dia ingin menanggapi pertanyaan saya yang kedua. Katanya, "Identitas itu yang membuat kita mengenal Tuhan dengan nama tertentu. Tetapi saya tidak yakin, apakah identitas yang menempel pada Tuhan yang aku yakini memosisikan Tuhanku sebagai yang lebih unggul dari Tuhan orang lain."

Saya pikir kelas ini mulai "gila". Provokasi saya lumayan berhasil. Mahasiswaku sudah mulai berpikir, dan saya yakinkan sepertiga dari mereka mulai serius berpikir. Sekarang giliran saya menyampaikan refleksi saya lebih lanjut. Dan inilah posisi refleksi saya. Pertama, mari kita mengasumsikan bahwa Tuhan ada, dan titik berangkat kita adalah Tuhan ada. Mari kita juga sepakat bahwa Tuhan itu sebuah identitas yang kita berikan kepada suatu realitas transenden, realitas yang melampaui ruang dan waktu kita, dan bahwa realitas itu benar adanya.

Ketika berbicara mengenai yang transenden, Karl Jaspers tampak menegaskan dua hal sekaligus. Di satu pihak, kebenaran itu hanya dapat diinterpretasikan sebagai sebuah elemen dari suatu alteritas radikal dalam nalar. Di lain pihak, kebenaran (baca: realitas transenden) itu tidak lebih dari pengalaman nalar sendiri akan keterbatasan-keterbatasannya. 

Pertanyaannya, apakah realitas transenden itu ada atau eksis hanya karena nalar menyadari keterbatasannya dalam memahami dirinya? Atau, memang realitas transenden itu benar-benar eksis?

Kedua, jika kita mengasumsikan bahwa Tuhan tidak ada, apakah realitas transenden itu dengan sendirinya ada atau juga tidak ada (non-existent)? Mahasiswa menjawab bahwa realitas transenden itu tetap ada. Menurut Jaspers, jika realitas transenden itu memang benar-benar ada (eksis), nalar yang berhadapan dengannya harus mengalami semacam penyingkapan diri ada (disclouser) terhadapnya. 

Dalam penyingkapan diri itu, masih menurut Jaspers, "yang-lain" (otherness) atau yang transenden atau alteritas itu membiarkan dirinya "dialami" dan diinterpretasikan nalar. Dalam konteks itu, yang lain atau yang transenden itu tidak tampil ke kesadaran dalam totalitasnya, tetapi sebagai momen atau realitas yang telah terinterpretasikan.

Tampak mahasiswa lain sedang menyimak sanggahan temannya. Foto: Yeremias Jena
Tampak mahasiswa lain sedang menyimak sanggahan temannya. Foto: Yeremias Jena
Kembali ke pertanyaan saya nomor 2 di atas -- soal identitas Tuhan yang menyatakan diri (klaim agama-agama samawi atau yang diklaim oleh nalar ketika menyadari keterbatasannya -- apa pentingnya identitas Tuhan? Mengapa Tuhan harus diidentifikasi dan dipahami dalam nama tertentu? Sampai di sini, mahasiswa tampak kebingungan. Jadi saya menganalogikan begini: pernahkah kalian membayangkan bahwa orangtua kalian tidak memberi nama apapun kepada kalian sampai sekarang? Jadi sudah selama belasan tahun kalian tidak punya nama. Apa yang akan terjadi?

Jika Tuhan atau realitas transenden itu memang benar eksis, memiliki nama tertentu itu tidak penting dari segi dia. "Kebutuhan" untuk memiliki nama itu lebih merupakan kebutuhan manusia. Bisa jadi itu merupakan cara paling sederhana untuk memperlihatkan keterbatasan nalar dalam memahami relasinya dengan realitas transenden, bahwa dengan memberi nama, maka Tuhan dapat dilokalisir, diberi isi, diposisikan dalam ruang dan waktu tertentu? 

Tetapi identitas itu juga penting sebagai penegasan bahwa Tuhan yang sekarang dipahami nalar itu tidak hanya berbeda, tetapi juga lebih tinggi atau lebih luhur dari tuhan-tuhan lain. Dua hal ini Nampak nyata dalam klaim identitas Tuhan oleh agama-agama samawi.

Belajar dari Perdebatan

Lalu, apa relevansinya bagi diskusi kita hari ini, terutama dalam kaitannya dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa? Saya ingin mengutip Karl Jaspers untuk mendukung argumentasi saya. Kata Jaspers, agama seringkali gagal mengenal dan mengakui bahwa transendensi itu dapat terjadi atau dapat menyatakan dirinya dalam banyak cara. Juga bahwa kebenaran transendensi tidak dapat dibuat konkret sebagai rangkaian pernyataan-pernyataan atau narasi-narasi faktual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun