Setelah tulisan saya mengenai filsafat dan Rina Nose yang tayang di Kompasiana.com menjadi viral dan dibaca/dilihat lebih dari 30 ribu kali, beberapa teman berkomentar santai: "Kamu sedang memainkan peran sebagai seorang filsuf populer. Kamu seperti Diogenes". Dan karena saya mengatakan bahwa Rina Nose menghayati hidupnya dalam semangat Socrates, ada juga seorang pembaca dan pemberi komentar yang bertanya tentang siapakah Socrates itu. Tentang Socrates, sudah terlalu banyak informasi mengenai dia, bahkan beberapa buku dalam Bahasa Indonesia sudah membicarakan filsuf yang satu ini (saya merekomendasikan buku karya Ioanes Rakhmat berjudul Sokrates dalam Tetralogi: Sebuah Pengantar dan Terjemahan Teksdan buku Matinya Socrateskarangan Plato. Kedua buku itu dapat dibeli online dari berbagai toko buku daring yang ada di Indonesia).
Saya justru tertarik dengan Diogenes dari Sinope dan memaksa diri untuk menulis sosok dan pemikiran filsuf yang satu ini. Apa yang Anda baca di bawah ini adalah upaya awal untuk memperkenalkan Diogenes dan menunjukkan relevansi pemikiran dan gaya hidupnya bagi kehidupan kita zaman ini.
Sosok Setengah Misterius
Tidak banyak yang mengetahui pemikiran dan gagasan yang diwariskan filsuf yang satu ini kecuali beberapa fragmen dan legenda-legenda di seputar gaya hidupnya yang nyentrik.
Nama lengkapnya adalah Diogenes dari Sinope. Sebagai gambaran, Sinope adalah sebuah kota pelabuhan di wilayah paling utara dari Turki, menghadap ke Laut Hitam. Sampai dengan abad ke-7 SM, wilayah ini sebetulnya berada di bawah koloni Yunani. Itulah sebabnya mengapa Diogenes adalah seorang berkebangsaan Yunani, meskipun berasal dari wilayah Turki. Meskipun tidak dapat dipastikan kebenarannya seratus persen, Diogenes hidup pada tahun 400-323 SM. Athena pada waktu itu adalah sebuah kota metropolitan yang menjadi daya tarik bagi banyak pemuda Yunani dan daerah-daerah koloni untuk mendatangi dan tinggal di sana. Begitu pula dengan Diogenes.
Diogenes dari Sinope dikenal sebagai seorang filsuf sinis. Ia digambarkan sebagai sosok yang selalu memegang sebuah obor yang sedang bernyala di siang hari, berjalan mengitari kota, menyusuri pasar dan keluar masuk gang dan rumah penduduk untuk mencari orang jujur. Gambaran ini bermakna sangat simbolis dan menegaskan inti dari aliran sinisme itu sendiri. Jika bukan karena sinisme, mengapakah orang harus menyalakan obor di siang hari? Bukankah itu berarti betapa sulitnya menemukan orang jujur dari antara kerumunan warga? Mungkin itu juga yang menjadi alasan mengapa Plato (konon) menyebut dia sebagai "Socrates yang sedang menjadi gila" (Socrates gone mad). Disebut mewarisi gaya berfilsafat Socrates, karena suka mempertanyakan dan menyoal hal-hal yang sudah dianggap lumrah dan lazim bagi kebanyakan orang. Dan disebut "gila" (mad) dalam arti mempraktikkan filsafat secara tidak lazim.
Sikap "sinis" yang menjadi penanda praktik filsafat Diogenes diasalkan pada sinisme, sebuah aliran/sekolah filsafat dari Yunani Kuno yang mengklaim diri sebagai pewaris filsafat Socrates. Umumnya aliran ini dicap sebagai anti teori karena lebih memperhatikan dan mementingkan praktik. Bagi mereka, filsafat pertama-tama bukan pemikiran teoretis, debat argumentasi atau bahkan pemikiran-pemikiran yang menyesatkan sebagaimana biasa dikembangkan kaum Sofis. Filsafat pertama dan terutama adalah etika, yakni tentang cara hidup etis sedemikian rupa untuk mencapai kehidupan yang bermakna. Para pengikut sinisme mempraktikkan askesis, yakni sebuah olah diri dan olah batin untuk hidup menurut keutamaan-keutamaan (virtues) tertentu.
Tidak ada banyak informasi yang dapat diketahui mengenai kehidupan awal Diogenes kecuali informasi bahwa ayahnya, yakni Hicesias, adalah seorang banker. Tampaknya sejak awal Diogenes juga tercatat sebagai seorang pebisnis di bidang perbankan, sama seperti ayahnya. Konon suatu waktu Diogenes dan ayahnya terlibat dalam sebuah skandal, yakni pemalsuan mata uang. Skandal ini yang membuat Diogenes kemudian diasingkan dari kota kelahirannya, kehilangan kewarganegaraan, dan juga seluruh harta kekayaannya. Sebagai catatan, selama abad keempat meman ada banyak sekali mata uang yang beredar di Sinope. Ini yang menyebabkan orang memalsukan mata uang atau memudarkan mata uang supaya bisa menjadi alat pembayaran yang legal, apakah mata uang tersebut adalah mata uang yang pro Persia atau yang pro Yunani. Maklumlah, wilayah Sinope memang diperebutkan baik oleh Persia maupun oleh Yunani.
Setelah pengasingan dan pengusiran ini, Diogenes kemudian pindah dan menetap di Athena. Di kota metropolitan inilah Diogenes menghadapi ribuan orang dengan pemikiran dan gaya hidup yang berbeda. Dia lalu menjadi sinis dan sangat kritis terhadap kebudayaan dan gaya hidup orang-orang kota. Diogenes kemudian mendasarkan cara hidupnya pada ajaran Heracles. Dia percaya bahwa keutamaan dan kehidupan yang berkeutamaan bukanlah masalah teori atau konsep tetapi masalah praktik.
Di Athena pula Diogenes memulai gaya hidup yang sangat berbeda. Dia menjalani hidup dengan penuh disiplin, baik dalam hal makanan maupun pakaian. Konon dia dikenal luas sebagai seorang filsuf yang makan dan tidur di mana saja yang dia kehendaki. Dia juga menjadi keras terhadap dirinya sendiri melawan kecenderungan-kecenderungan alamiah. Dia juga hidup dalam keutamaan kemiskinan. Dia menggantungkan hidupnya pada kebaikan hati dan belas-kasihan orang lain. Setiap hari dia meminta-minta (menjadi pengemis) supaya bisa makan dan hidup. Tidak jarang dia juga tidur di pasar, terutama dalam bejana-bejana keramik yang ada di sana.
Tiga Hal Dapat Dipelajari
Ada tiga ajaran dan praktik hidup yang dapat kita dalami lebih lanjut untuk kemudian dipertimbangkan, apakah keduanya masih relevan dengan kehidupan kita saat ini. Ketiganya adalah prioritas etika (keutamaan) atas teori, cara hidup asketis, dan kritik terhadap tradisi (adat, kebiasaan).
Pertama, soal prioritas etika (keutamaan) atas teori. Bagi Diogenes, menjadi orang baik adalah menjadi orang yang berkeutamaan, yakni secara konsisten mempraktikkan kebaikan supaya menjadi watak atau karakter diri. Dan itu tidak cukup diomongkan atau didiskusikan. Persis di sinilah perbedaannya dengan kaum sofis, misalnya. Yang disebutkan terakhir adalah kelompok cendekia yang biasanya mengemukakan ajaran-ajaran mereka di ruang publik hanya untuk menyesatkan dan membingungkan pendengar. Mereka mengatakan banyak hal yang kedengarannya baik dan mulia tetapi mereka sendiri tidak mempraktikkannya.
Konsep, pemikiran, gagasan, argumentasi, dan semacamnya seharusnya tidak dimusuhi, dan ini menjadi kritik kita kepada Diogenes. Bahwa hidup yang etis dan berkeutamaan itu penting, tetapi upaya memberikan makna kepada cara hidup dengan menjelaskannya secara konseptual juga penting. Yang seharusnya tidak boleh -- dan tampaknya ini yang menjadi inti kritik Diogenes -- adalah bahwa kita terlalu banyak omong, atau terlalu banyak mengumbar kata-kata tanpa mempraktikkannya. Kita menampilkan diri sebagai "para penjaga moral" yang hanya bisa mengajarkan hal-hal yang baik dan yang buruk tanpa mempraktikkannya dalam hidup.
Kedua, pentingnya cara hidup asketis. Ini adalah disiplin hidup, hidup dalam pertarakan, hidup dalam kesederhanaan dan semangat kemiskinan, hidup dalam kesetiaan mutlak pada prinsip-prinsip etika yang diyakini kebenarannya. Diogenes sungguh menampakkan cara hidup semacam ini. Dia hidup dalam kemiskinan, menggantungkan hidup pada pemberian orang lain, dan tidur tidak dalam kemewahan. Dia juga tidak menghabiskan hidupnya dengan makan dan minum di restoran dan gerai makanan terkenal. Dia makan apa adanya, makan di tempat mana pun dan makan apa yang memang tersedia bagianya. Dan yang tidak kalah penting juga adalah sikap batinnya terhadap makanan, pakaian, dan sebagainya. Tampaknya Diogenes tidak menaruh hati atau melekatkan diri pada hal-hal material semacam itu.
Semangat hidup asketis tampaknya dibutuhkan oleh orang-orang modern yang terlalu mementingkan penampilan, kekayaan material, dan status sosial. Semangat askese dewasa ini tidak harus dimaknakan sebagai kehidupan dalam kemiskinan material, karena bagaimana pun kita membutuhkan makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Hal yang relevan bagi kita adalah bagaimana kita bersikap pada berbagai benda material yang kita miliki. Kata orang bijak, "Di mana hartamu berada di situ hatimu berada". Kita membutuhkan sikap hidup asketis dalam arti sikap lepas bebas dari berbagai kemewahan hidup dunia.
Ketiga,pentingnya sikap kritis terhadap adat dan tradisi. Apa yang dilakukan Diogenes memang terlalu ekstrem, vulgar, dan eksentrik. Berbeda dari orang Athena pada umumnya yang berpandangan bahwa makan di pasar atau di ruang publik sebagai hal yang tidak sopan, Diogenes justru melawannya dengan makan di tempat mana saja ketika dia menginginkannya. Konon Diogenes juga melakukan tindakan ekstrem lain dalam melawan kebiasaan oran Athena, misalnya dengan melakukan masturbasi di ruang publik.
Sikap kritis terhadap adat dan kebiasaan itu baik dan dibutuhkan. Menjadi orang baik memang tidak semata-mata ditentukan oleh adat dan kebiasaan. Meskipun demikian, kita tidak bisa membebaskan diri sama sekali dari pengaruh adat dan kebiasaan. Ada hal-hal tertentu yang positif yang bisa kita ambil dan adopsi dari adat dan kebiasaan, tetapi ada hal-hal lainnya yang harus ditinggalkan dan ditolak.
 Diogenes sudah tiada, tetapi beberapa fragmen ajarannya masih relevan bagi hidup kita. Tiga di antaranya sudah saya deskripsikan di atas. Dengan begitu, kita bisa belajar untuk menjadi manusia yang baik, juga berdasarkan ajaran dan pemikiran-pemikiran filsafat klasik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H