Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemikiran Filosofis Diogenes dan Kita

21 November 2017   12:51 Diperbarui: 21 November 2017   13:01 2693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada tiga ajaran dan praktik hidup yang dapat kita dalami lebih lanjut untuk kemudian dipertimbangkan, apakah keduanya masih relevan dengan kehidupan kita saat ini. Ketiganya adalah prioritas etika (keutamaan) atas teori, cara hidup asketis, dan kritik terhadap tradisi (adat, kebiasaan).

Pertama, soal prioritas etika (keutamaan) atas teori. Bagi Diogenes, menjadi orang baik adalah menjadi orang yang berkeutamaan, yakni secara konsisten mempraktikkan kebaikan supaya menjadi watak atau karakter diri. Dan itu tidak cukup diomongkan atau didiskusikan. Persis di sinilah perbedaannya dengan kaum sofis, misalnya. Yang disebutkan terakhir adalah kelompok cendekia yang biasanya mengemukakan ajaran-ajaran mereka di ruang publik hanya untuk menyesatkan dan membingungkan pendengar. Mereka mengatakan banyak hal yang kedengarannya baik dan mulia tetapi mereka sendiri tidak mempraktikkannya.

Konsep, pemikiran, gagasan, argumentasi, dan semacamnya seharusnya tidak dimusuhi, dan ini menjadi kritik kita kepada Diogenes. Bahwa hidup yang etis dan berkeutamaan itu penting, tetapi upaya memberikan makna kepada cara hidup dengan menjelaskannya secara konseptual juga penting. Yang seharusnya tidak boleh -- dan tampaknya ini yang menjadi inti kritik Diogenes -- adalah bahwa kita terlalu banyak omong, atau terlalu banyak mengumbar kata-kata tanpa mempraktikkannya. Kita menampilkan diri sebagai "para penjaga moral" yang hanya bisa mengajarkan hal-hal yang baik dan yang buruk tanpa mempraktikkannya dalam hidup.

Kedua, pentingnya cara hidup asketis. Ini adalah disiplin hidup, hidup dalam pertarakan, hidup dalam kesederhanaan dan semangat kemiskinan, hidup dalam kesetiaan mutlak pada prinsip-prinsip etika yang diyakini kebenarannya. Diogenes sungguh menampakkan cara hidup semacam ini. Dia hidup dalam kemiskinan, menggantungkan hidup pada pemberian orang lain, dan tidur tidak dalam kemewahan. Dia juga tidak menghabiskan hidupnya dengan makan dan minum di restoran dan gerai makanan terkenal. Dia makan apa adanya, makan di tempat mana pun dan makan apa yang memang tersedia bagianya. Dan yang tidak kalah penting juga adalah sikap batinnya terhadap makanan, pakaian, dan sebagainya. Tampaknya Diogenes tidak menaruh hati atau melekatkan diri pada hal-hal material semacam itu.

Semangat hidup asketis tampaknya dibutuhkan oleh orang-orang modern yang terlalu mementingkan penampilan, kekayaan material, dan status sosial. Semangat askese dewasa ini tidak harus dimaknakan sebagai kehidupan dalam kemiskinan material, karena bagaimana pun kita membutuhkan makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Hal yang relevan bagi kita adalah bagaimana kita bersikap pada berbagai benda material yang kita miliki. Kata orang bijak, "Di mana hartamu berada di situ hatimu berada". Kita membutuhkan sikap hidup asketis dalam arti sikap lepas bebas dari berbagai kemewahan hidup dunia.

Ketiga,pentingnya sikap kritis terhadap adat dan tradisi. Apa yang dilakukan Diogenes memang terlalu ekstrem, vulgar, dan eksentrik. Berbeda dari orang Athena pada umumnya yang berpandangan bahwa makan di pasar atau di ruang publik sebagai hal yang tidak sopan, Diogenes justru melawannya dengan makan di tempat mana saja ketika dia menginginkannya. Konon Diogenes juga melakukan tindakan ekstrem lain dalam melawan kebiasaan oran Athena, misalnya dengan melakukan masturbasi di ruang publik.

Sikap kritis terhadap adat dan kebiasaan itu baik dan dibutuhkan. Menjadi orang baik memang tidak semata-mata ditentukan oleh adat dan kebiasaan. Meskipun demikian, kita tidak bisa membebaskan diri sama sekali dari pengaruh adat dan kebiasaan. Ada hal-hal tertentu yang positif yang bisa kita ambil dan adopsi dari adat dan kebiasaan, tetapi ada hal-hal lainnya yang harus ditinggalkan dan ditolak.

 Diogenes sudah tiada, tetapi beberapa fragmen ajarannya masih relevan bagi hidup kita. Tiga di antaranya sudah saya deskripsikan di atas. Dengan begitu, kita bisa belajar untuk menjadi manusia yang baik, juga berdasarkan ajaran dan pemikiran-pemikiran filsafat klasik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun