Setiap kali transit di Halte Transjakarta Kebon Jeruk, ada sesuatu yang menarik perhatian mata. "Kubilai Khan".
Oh ternyata, sebuah resto bernama Kubilai Khan Mongolian Hot Pot yang berlokasi persis di depan halte. Oh ternyatanya lagi, selain di Jakarta, resto tersebut hanya berada di Taipei dan Shanghai saja.
Ingatan akan sejarah mengenai sepak terjang Kaisar Kubilai Khan. Â Penguasa Kekaisaran Mongol dan Dinasti Yuan, pernah mengirim ekspedisi militer khusus ke tanah Jawa pada tahun 1292 untuk menghukum Raja Singhasari Prabu Kertanegara.
Ini merupakan respons atas penolakan Prabu Kertanegara untuk mengakui kekuasaan dan menyatakan tunduk di bawah Kekaisaran Mongol. Kubilai Khan murka ketika mendapat kabar dilukainya utusan Mongol yang terakhir pada 1289.
Invasi Armada Mongol tersebut diperkirakan membawa teknologi senjata bubuk mesiu. Saat itu telah terjadi peralihan kekuasaaan tanah Jawa, dimana Prabu Kertanegara telah tiada dalam pemberontakan Jayakatwang. Kerajaan Singhasari telah runtuh, kekuasaan beralih ke Kerajaan Kadiri.
Kehadiran balatentara Mongol dimanfaatkan secara cerdik oleh Raden Wijaya yang ingin berbalik merebut kekuasaan Raja Jayakatwang. Raden Wijaya yang mengaku sebagai pewaris Kertanegara, bersedia menyerahkan diri pada Kaisar Mongol dengan syarat dibantu untuk menggulingkan Jayakatwang.
Gabungan balatentara Mongol dan pasukan Raden Wijaya yang dibangun di desa Tarik yang kemudian dikenal sebagai Majapahit, berhasil meruntuhkan kekuasaan Jayakatwang. Namun saat menikmati pesta kemenangan peperangan, balatentara Mongol harus menerima kenyataan pahit diserang balik oleh pasukan Majapahit. Sisa armada balatentara Mongol akhirnya berhasil diusir dari tanah Jawa dan kembali menghadap Kaisar Kubilai Khan.
Seiring waktu, Kerajaan Majapahit berhasil memanfaatkan teknologi senjata bubuk mesiu dari Dinasti Yuan. Dibawah arahan Mahapatih Gadjah Mada, Majapahit mempelopori pembuatan senjata peperangan berbasis bubuk mesiu secara massal. Dari catatan awal tahun 1346, diketahui adanya meriam dan penembak artileri di tanah Jawa.
Sementara Armada Laut Majapahit telah dilengkapi teknologi meriam yang dikenal sebagai cetbang. Dibawah pimpinan Laksamana Nala, Armada Laut Majapahit tak tertahankan kekuatannya ketika melakukan perluasan wilayah.
Gadjah Mada yang dibantu oleh Laksamana Nala dan Adityawarman, saling bahu membahu untuk mewujudkan penyatuan seluruh kepulauan Nusantara. Ini sesuai dengan Sumpah Gadjah Mada saat diangkat menjadi Patih Amangkubumi Majapahit.
Sumpah dalam teks Pararaton itu berbunyi:
Sira Gajah Mada Patih Amangkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah Nusantara isub amukti palapa, lamun kalah ring gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, Samana isun amukti palapa."
Artinya:
Dia Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Ia Gajah Mada," Jika telah menundukkan seluruh Nusantara dibawah kekuasaan Majapahit, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikinlah saya (baru akan) melepaskan puasa."
Sementara dalam sebuah pemerintahan Kerajaan Majapahit dari salah satu Raja yang bergelar Prabu Brawijaya, alkisah ada sebuah sayembara mencari calon suami putri sang raja. Â Salah satu yang datang adalah makhluk berkepala lembu bernama Lembu Suro. Kesaktian Lembu Sura dapat dengan mudah melewati dua persyaratan berat dari sayembara tersebut.
Namun Tuan Putri menolak keras bersuamikan orang berkepala lembu. Sementara Prabu Brawijaya tetap memutuskan untuk menepati janjinya, akan menikahkan putrinya dengan pemenang sayembara.
Berhari-hari Tuan Putri mencari akal untuk pembatalan pernikahan. Akhirnya jalan keluarnya adalah meminta tambahan syarat. Lembu Sura harus dapat membuat sumur di Puncak Gunung Kelud, sebagai tempat pemandian berdua kelak ketika sudah menikah. Â Namun harus dapat diselesaikan dalam waktu semalam saja.
Lembu Sura menyanggupi permintaan tersebut, yang disaksikan langsung oleh Tuan Putri dan Prabu Brawijaya. Dalam keheningan malam, sepasang tanduk Lembu Sura dapat menggali tanah semakin dalam hingga tak dapat terlihat lagi.
Tuan Putri yang tetap bersikukuh menolak menikah, Prabu Brawijaya terdorong untuk mencari cara menghabisi Lembu Sura. Kemudian para prajurit diperintahkan untuk menimbun sumur dengan tanah dan bebatuan besar.
Dalam sekejap saja terkuburlah Lembu Sura dalam sumur galiannya. Namun masih dapat terdengar suaranya yang meminta untuk tak menguburnya. Akhirnya terdengarlah sumpah yang dilangitkannya:
"Yoh, Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping-kaping yaiku Kediri bakal dadi kali, Blitar bakale dadi latar, Tulungagung bakale dadi kedung."
Dalam Sumpah Lembu Sura, terdapat janji bahwa dirinya akan merusak seluruh wilayah kerajaan dalam tiap dua windu sekali. Setiap kali Gunung Kelud meletus, masyarakat setempat merasakan ini adalah pertanda dari amarah dari Lembu Sura.
Letusan Kelud pada tahun 1586, oleh ahli sejarah diperkirakan memang telah mengakhiri sejarah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Selain menewaskan lebih dari 10 ribu orang, juga meluluhlantakan tiga wilayah yang ada dalam sumpah yang dilangitkan oleh  Lembu Sura.
Sementara di suatu waktu pada masa akhir dari Kerajaan Majapahit, Prabu Brawijaya V memilih untuk mengasingkan diri bersama pengikutnya. Saat berada di puncak Gunung Lawu, Prabu Brawijaya V sempat melangitkan sumpah kepada Adipati Cepu yang mengejarnya:
"Sawijining ono anggone uwong cepu utawi turunane Adipati Cepu pinarak sajroning gunung lawu bakale nasib ciloko lan agawa biso lungo ing gunung lawu".
Artnya: Jika ada orang-orang dari daerah Cepu atau keturunan langsung Adipati Cepu naik ke Gunung Lawu, maka nasibnya akan celaka atau mati di Gunung Lawu".
Orang yang berasal dari daerah Cepu, khususnya keturunan Adipati Cepu, masih menaati untuk tak melanggarnya hingga kini.
Dalam masa pengasingan dirinya, Â Prabu Bwawijaya V selalu disertai oleh dua abdi dalem setianya Sabdo Palon dan Naya Genggong. Hingga akhirnya mereka berdua membuka jatidiri siapakah sebenarnya mereka, seusai dalam sebuah pertemuan antara Prabu Brawijaya V dan Sunan Kalijaga.Â
Mereka yang nelangsa akan perbedaan prinsip dengan tuannya, menampakan "perwujudan aselinya" kepada Sang Prabu. Mereka melangitkan sumpah bahwa dalam 500 tahun kemudian, akan muncul lagi kembali ke Nusantara (tanah Jawa) dengan tanda-tanda tertentu. Tanda utamanya adalah muntahnya lahar Gunung Merapi ke arah barat daya dengan bau tidak sedap. Bencana-bencana lainnya akan mengikuti kemudian. Â Sumpah ini dikenal sebagai Jangka Sabdo Palon Naya Genggong.
Ketika bertahan dalam kesesakan yang tak tertahankan, seringkali adalah suatu sumpah yang dilangitkan untuk mewakili derai air mata. Seringkali pula sumpah yang dilangitkan akan #KalahkanJarak dengan melintasi waktu.
Di Zaman Now ini, untuk mewakili derai air mata dalam menahan kesesakan yang tak tertahankan, mungkinkah dapat melangitkan sumpah yang #AlwaysOn #KalahkanJarak melintasi waktu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H