Bekal dari bunda Pertiwi
Tak sungguh kami kenali
Lebih baik kami gadai
Untuk impor minyak lagi
Kami adalah anak tani
Yang rindu jati diri
Tapi tak punya nyali
Mengedepankan Pertiwi
>>>>>>>>
Dan momen pun kembali berdenyut..
Menonton tarian modern Surakarta, mengamati lalu lalang manusia di Stasiun Bogor, melihat muara Sungai Cikaso, melihat keindahan yang sederhana di Danau Tempe, memotret kehidupan warga Desa Baduy Dalam hingga memperhatikan anak kecil di sebuah bis kota yang ngetem di Terminal Kampung Melayu.Â
Berjalan kaki menuju Cibeo yang merupakan salah satu desa Baduy Dalam, Henry bersama rombongan beristirahat di ladang (huma) milik warga Cibeo. Hal pamali / terlarang jika memotret didalam kawasan Baduy Dalam. Karena keluarga Baduy Dalam sedang berada di luar desanya, maka Henry meminta izin untuk memfoto mereka. Awalnya Pak Darni menolak dengan sopan dengan alasan nanti kalau dikasih minta terus. Terbuktilah bagaikan paparazzi, semua pembawa kamera berebutan memotret tak ada habis-habisnya.
Cekrek.. Cekrek... Cekrek....
Dekil tubuhnya
Reyot rumahnya
Tak banyak orang suka
Bening matanya
Renyah tawanya
Tak banyak orang punya
Di terminal Kampung Melayu, terlihat nun jauh disana anak kecil dalam sebuah bis. Ingatlah Henry akan sebuah buku Le Petit Prince (Pangeran Kecil), yang mana bercerita sang Pangeran sedang berada di stasiun, memperhatikan lalu lalang orang masuk gerbong. "Apa yang mereka cari dan kejar?," tanya Pangeran pada petugas. "Masisnisnya tidak tahu. Mereka tertidur dan menguap di dalam kereta. Sedang anak-anak menempelkan hidungdi jendela," jawab petugas. Kata sang Pangeran: "hanya anak-anak yang tahu apa yang mereka cari".Â
Cekrek.. Cekrek... Cekrek....