4.Pemberlakuan konsep pembuktian terbalik.
5.Meneliti proses penanganan perkara korupsi pada sistem peradilan pidana dengan cara  terus menerus.
6.Melakukan pemantauan pada proses penanganan tindak korupsi secara terpadu.
7.Mempublikasi setiap kasus-kasus tindak pidana korupsi beserta dengan analisisnya.
8.Mengatur kembali hubungan dan standar kerja antara tugas penyidik tindak pidana korupsi dengan penyidik umum, penyidik pegawai negeri sipil atau PPNS, dan penuntut umum.
KEJAHATAN MENURUT TEORI ANTHONY GIDDENS
Giddens memiliki pandangan bahwa peraturan maupun hukum ialah merupakan bagian dari struktur. Hal tersebut dikatakan karena didasari kepada sifat hukum, yang mana hukum ini memiliki sifat tidak hanya dapat dijadikan subjek atau objek saja dalam reproduksi sosial, melainkan juga termasuk dalam kerangka yang akan memberikan bentuk sekaligus sebagai pembatas dati berbagai perilaku sosial masyarakat. Giddens mengungkapkan bahwa jika kita mendasarkan pada strukturasi tersebut, penelitian mengenai korupsi ini akan berusaha untuk memecah paradigma yang selama ini berkembang bahwa "pelaku" dan "perilaku" ialah satu-satunya unsurdeterminan dalam pembahasan mengenai penegakan hukum. Pada akhirnya peraturan atau perundang-undangan jugalah yang akan menjadi bagian dari struktur hukum. Struktur hukum ini ya g akan memberikan corak otoritas kepada kekuasaan penegak hukum, untuk dapat menjalankan perannya sebagai pengawal undang-undang. Termasuk  juga untuk wewenang diskresi yang meskipun diberikan dengan tujuan untuk kebebasan mengambil keputusan, hal itu akan tetap saja tidak dapat dilepaskan dari corak otoritas yang diberikan peraturan perundang-undangan. Diskresi atau sering dikatakan sebagai pertimbangan pemikiran biasanya mengacu pada suatu kasus dimana seorang atau subjek dari suatu peraturan, memiliki kekuasaan untuk memilih dari berbagai altenatif.
Untuk saat ini sebuah sistem hukum modern mengandung peraturan dalam jumlah yang amat banyak, yang dibagi di beberapa golongan yaitu sebagian objektif dan sebagian deskrisioner. Namun sebuah peraturan yang memiliki sifat deskrisioner tidak ditujukan untuk langsung berlaku, hal itu dikarenakan peraturan-peraturan tersebuthanya mendelegasikan otoritas bangsa.
Setidaknya ada 3 syarat yang diharuskan untuk mengontrol atau mereduksi diskresi.
- Pertama harus tersedia peraturan perundang-undangan yang secara tegas dan lugas undang-undang tersebut mengatur mengenai apa yang harus dikerjakan oleh si pelaku. Diskresi merupakan berkembang dari peraturan-peraturan kabur yang terbuka bagi penafsiran.
- Kedua, harus memiliki ketersediaan sistem komunikasi yang memadai dalam struktur keorganisasian bagi para penegak hukum, yang hal tersebutlah merupakan cara tertentu untuk membuat para penegak hukum merujuk pada peraturanper undang-undangan dan mengomunikasikan mengenai ketentuan-ketentuan yang memiliki hubungan. Selain itu sistem komunikasi juga diperlukan untuk mencari tahu bagaimana kinerjanya, apakah dapat dilaksanakan dengan cara tersurat atau dengan cara tersirat peraturan tersebut.
- Yang ketiga atau yang terakhir ini harus tersedia mekanisme tertentu untuk menjaga agar si pelaku tetap berada di jalurnya, untuk memastikan kepatuhannya. Cara tersebutlah yang  dapat berupa imbalan dan hukuman. Meskipun dapat jadi seorang atasan bisa menemukan cara lain untuk memunculkan sikap patuh secara sukarela
Diskresi diberikan bukan untuk memecah belah struktur, tetapi justru untuk memperkuat struktur tersebut. Diskresi sendiri ibaratkan sendi yang dapat menyambung setiap bagian kerangka, yang membuat struktur tulang dapat lebih luwes dan tidak kaku. Diskresi memungkinkan keadaan atau ketegangan antara tiga asas besar dalam hukum dalam ajaran Gustav Radbruch 3 asas ini yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan  dapat diminimalisir. Pengutamaan yang satu diantara yang lain dan nilai dasar hukum tersebut akan berakibat ketegangan (spanning) diantara masing-masing nilai hukum tersebut. Namun dengan demikian Indonesia yang saat ini cenderung menganut sistem hukum yang positifistik memberikan batasan diskresi yang mana akan memiliki Kewenangan untuk menyampingkan perkara pidana itu sendiri dikenal sebagai perwujudan asas oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung.Â