Dosen Pengampuh : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak
Nama : Jeny Hafitri
NIM : 43221010025
Kelas : B-404
Universitas Mercu Buana
Korupsi atau rasuah atau jika diartikan dalam bahasa inggris disebut sebagai crime atau evil. Merupakan tingkah laku manusia yang melawan hukum, tidak wajar dan tidak memiliki moral. Substansinya korupsi sebagai suatu kejahatan secara etis yang dipandang memiliki sifat tidak baik dari sudut pandang manapun. Secara deontologis korupsi ialah bersifat jahat dan merusak system atau tatanan yang ada di masyarakat.Â
Secara teleologis korupsi merupakan tingkah laku yang tidak banyak memberikan manfaat bagi orang lain dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku korupsi tersebut. Sebab dari itu korupsi disebut sebagai suatu kejahatan moral secara praktis dapat terjadi di berbagai aspek kehidupan dalam bermasyarakat baik di lingkungan hidup, ekonomi, social, pendidikan, hukum bahkan politik. Korupsi ini sebagai kejahatan structural melibatkan sarana material salah satunya ialah berbentuk uang. Dengan uang korupsi dilakukan dengan perbuatan suap-menyuap (bribery), penyalah gunaan wewenang atau kekuasaan, pemerasan (extortion), pencucian uang (money laudry) dan penggelapan dana.
APA ITU KORUPSI, MENURUT PARA AHLI ?
Korupsi adalah istilah yang berasal dari bahasa Latin corruptio dari kata kerja  corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balikan fakta,  menyogok, mencuri dan  maling. Menurut kamus Oxford, pengertian korupsi adalah  perilaku tidak jujur atau ilegal, terutama dilakukan orang yang memiliki wewenang atau jabatan yang tinggi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian korupsi adalah  penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi,  yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Sementara itu, menurut hukum di Indonesia, pengertian  korupsi  adalah perbuatan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri  sendiri/orang lain, baik perorangan maupun korporasi, yang dapat  merugikan keuangan negara/perekonomian negara.
Korupsi menurut beberapa ahli :
Nurdjana (1990). Pengertian korupsi adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani yaitu  "corruptio", yang berarti perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak  bermoral, menyimpang  dari kesucian, melanggar norma-norma agama materiil,  mental  dan hukum.
Robert Klitgaard. Pengertian korupsi adalah suatu tingkah laku yang menyimpang dari  tugas-tugas resmi jabatannya dalam negara, dimana untuk memperoleh  keuntungan  status atau uang yang menyangkut diri pribadi atau perorangan,  keluarga  dekat,  kelompok sendiri, atau dengan melanggar aturan pelaksanaan yang menyangkut tingkah  laku pribadi.
S. Hornby. Pengertian korupsi adalah suatu pemberian atau  penawaran dan penerimaah hadian berupa suap, serta  kebusukan atau keburukan.
Maka kesimpulannya ialah korupsi merupakan suatu tingkah laku seseorang yang dimana orang tersebut telah memiliki kedudukan yang cukup dipandang baik, namun orang tersebut telah melakukan penyelewengan kewajibannya yang melanggar hukum. Tingkah laku yang buruk dan juga disebut kejahatan yang besar yang dapat merugikan masyarakat atau orang lain yang berada disekitarnya. Kejahatan ini dapat berbentuk penyuapan, pencucian uang, penggelapan uang, perampasan hak dan pemerasan.
Secara garis besar dapat diartikan seorang koruptor merupakan orang yang tidak memiliki sifat Integritas. Seperti yang kita ketahui Integritas adalah sifat atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh  sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan  kewibawaan dan kejujuran. Seseorang yang benar memiliki sebuah  intergitas adalah mereka yang dapat diberi kepercayaan lebih. Hal ini didasarkan pada kesesuaian antara perilaku dan  ucapannya. Integritas mencerminkan seseorang  dengan suatu ciri yang transparan, bertanggungjawab,  dan objektif. Seorang koruptor memiliki artian atau tingkahlaku kebalikan dari sikap integritas, yang mana seorang koruptor ialah orang yang sulid diberi kepercayaan, tidak jujur, tidak transparan dan tidak memiliki wibawa karena tidak memiliki rasa kasihan kepada orang lain ia cenderung memikirkan keinginan dan nafsu semata dirinya sendiri.
Menurut Anthony Giddens yang mengatakan (1984: xxviii), Setiap manusia yang hidup dalam masyarakat social dapat disebut sebagai human agent. Setiap tindakan manusia baik itu disadari atau tidak, disengaja ataupun tidak, tentu memiliki pengaruh terhadap setiap peristiwa atau keadaan sekecil apapun disekelilingnya. Seorang agen adalah seorang yang memiliki daya intervensi dengan keadaan pemicu atas suatu peristiwa. Seorang agen terus dikelilingi oleh struktural dan dapat memproduksi struktural itu kembali dalam beragam peristiwa. Seorang agen dapat menciptakan keadaan struktural dalam dunia sosialnya secara dialectic, diantaranya kejahatan yang berdimensi strutural melalui kemampuan refleksivitas dan resionalisasi tindakan.
Korupsi ini merupakan bagian dari suatu kejahatan structural. Korupsi secara struktural akan menjadi penyebab dari pokok kemiskinan dan kekacauan social. Korupsi merupakan kejahatan yang multikompleks. Walaupun terkesan memiliki kaitan dengan persoalan harta benda, korupsi mempunyai karakter tersendiri. Korupsi juga tidak hanya melibatkan orang yang memiliki kekuasaan, tetapi juga meliputi kejahatan yang dilakukan oleh seseorang melalui kekuasaan yang diembannya atau yang dipegangnya. Korupsi ini memiliki arti yang lebih serius dibandingkan dengan sekedar suap atau sogok, tetapi meliputi kasus penyalahgunaan kekuasaan yang berlangsung mencuri seluruh harta milik public melalui otoritas yang dimilikinya tanpa melibatkan orang lain yang ada di luar lingkungan kekuasaan.
KENAPA KORUPSI BISA TERJADI ?
Setiap orang memiliki beragam alsan untuk melakukan korupsi, alasan seseorang dapat melakukan korupsi dapat dilihat secara singkat dari teori GONE untuk  menjelaskan faktor penyebab korupsi. Teori GONE yang dikemukakan oleh penulis Jack  Bologna adalah singkatan dari Greedy (Keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need  (Kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan).
Salah satu teori korupsi menurut Jack Bologne Gone Theory menyebutkan bahwa salah satu faktor  penyebab korupsi adalah keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan pengungkapan.  Keserakahan berpotensi dimiliki setiap orang dan berkaitan dengan individu pelaku korupsi.
Seseorang yang melakukan korupsi pada dasarnya memiliki rasa serakah dan tak pernah puas. Orang tersebut akan memiliki rasa tidak pernah ada kata  cukup dalam diri koruptor yang serakah. Keserakahan ditimpali dengan kesempatan, maka akan  menjadi katalisator terjadinya tindak pidana korupsi. Setelah serakah dan adanya kesempatan,  seseorang berisiko melakukan korupsi jika ada gaya hidup yang berlebihan serta pengungkapan  atau penindakan atas pelaku yang tidak mampu menimbulkan efek jera.
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DARI KORUPSI :
A. Faktor Penyebab Korupsi dari Aspek Internal
1. Akan memilki sifat selalu merasa kurang
Tindak pidana korupsi ini dapat terjadi karena adanya wewenang atau kekuasaan. Wewenang pada dasarnya disertai dengan hak pemegang wewenang atau kekuasaan. Namun bila seseorang memiliki sifat selalu merasa kurang, maka akan menimbulkan rasa rakus atau serakah, seperti dikutip dari Suara Generasi tentang Budaya Antikorupsi oleh Umi Fitriani, dkk.
Memiliki rasa keinginan lebih inilah yang dituruti pelaku korupsi sehingga menuntaskannya dengan cara korupsi, yang dapat merugikan hak banyak pihak demi kepentingan pribadi. Sifat selalu merasa kurang merupakan faktor internal penyebab korupsi.
2. Tidak memiliki moral atau moral lemah
Seseorang yang memiliki moral tidak kuat cenderung akan mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan dan tekanan ini dapat muncul dari atasan, teman setingkat, bawahan, atau pihak lain yang akan memberikan celah untuk melakukan korupsi, seperti dikutip dari Etika Administrasi Publik oleh Rudiyansyah, S.Sos, M.AP. dan Dahlan, S.Pd., M.Pd., M.Si.
3. Penghasilan yang kurang mencukupi
Penghasilan seorang pegawai dari sebuah pekerjaan seharusnya memenuhi atau memiliki keseimbangan dengan kebutuhan hidup yang wajar. Jika hal itu tidak mencukupi, maka seseorang cenderung berusaha memenuhinya dengan berbagai cara salah satunya ketika tidak ada peluang, maka seseorang bisa jadi memanfaatkan celah korupsi, baik korupsi waktu, tenaga, maupun pikiran untuk hal-hal di luar pekerjaan yang seharusnya.
4. Memiliki kebutuhan hidup yang mendesak
Pada situasi terdesak terkait ekonomi, dapat terbuka ruang bagi seseorang untuk menempuh jalan pintas baik maupun buruk. Salah satu jalan pintas yang buruk yaitu korupsi. Seseorang yang mengalami hal yang mendesak cenderung sulit berfikir secara logis atau benar, Segala hal yang dapat membantu dirinya pasti akan dilakukan. Tidak lain dari korupsi tersebut.
5. Ingin memiliki gaya hidup yang konsumtif
Kehidupan di dalam lingkaran kota besar kerap dapat mendorong gaya hidup seseorang berperilaku konsumtif. Perilaku konsumtif berisiko membuka celah korupsi demi memenuhi kebutuhan hidup jika tidak diimbangi dengan pendapatan memadai. Kebutuhan yang tidak memadai ini memaksa seseorang untuk menghasilkan uang lebih dari yang seharusnya didapatkan lalu hal yang mudah dilakukan ialah berbuat korupsi dengan didorong cela untuk melakukannya.
6. Malas atau tidak mau bekerja
Kebanyakan orang pasti memiliki rasa ingin mendapat hasil dari suatu pekerjaan tanpa berusaha. Hal ini timbul karena sifat malas yang memiliki risiko memicu seseorang melakukan cara yang mudah dan cepat demi mencapai tujuan. Salah satu cara tersebut ialah dengan korupsi.
B. Faktor Penyebab Korupsi dari Aspek Organisasi
1. Kurangnya menanam sikap keteladanan bagi pimpinan
Memiliki posisi pimpinan dalam lembaga formal maupun informal dapat berpengaruh  penting bagi anggotanya. Jika pemimpin melakukan korupsi,au staff-nya pun melakukan hal tersebut. Bagaimanapun seorang pemimpin merupakan contoh bagi bawahannya. Maka dari itu seorang pemimpin harusla memiliki sikap teladan untuk dicontoh oleh bawahannya.
2. Tidak ada kultur organisasi yang benar
Kultur organisasi berpengaruh pada anggotanya. Jika tidak dikelola dengan baik, maka sebuah kultur organisasi dapat memicu situasi yang tidak kondusif dan perbuatan negatif di lingkungan kehidupan organisasi. Salah satu perbuatan negatif tersebut di antaranya korupsi.
3. Kurangnya sistem akuntabilitas yang benar
Jika suatu perusahaan tidak memiliki sistem akuntabilitas yang memadai, juga visi-misi serta tujuan dan sasaran yang berlu ditetapkan dengan jelas, serta kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki berisiko memicu situasi organisasi kondusif untuk praktif korupsi. Sebab kembali pada dasarnya sifat manusia ialah serakah dan juga malas jika ada cela untuk melakukan korupsi pasti hal tersebut akan menjadi jalan pintas bagi mereka.
4. Kelemahan sistem pengendalian manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar atau lemah pengendalian manajemen di sebuah organisasi, maka akan semakin terbuka peluang perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawainya.
5. Sistem manajemen akan cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi
Umumnya, jajaran manajemen menutupi tindakan korupsi yang dilakukan segelintir oknum dalam organisasinya. Akibat sifat tidak transparan tersebut, pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk. Sebab mereka akan berfikir perbuatan yang mereka lakukan tidak akan ada hukuman, maka tidak akan menimbulkan efek jera atau bahkan rasa takut jika melakukan kejahatan tersebut.
C. Faktor Penyebab Korupsi dari Aspek Tempat
1. Nilai dari masyarakat memungkinkan korupsi
Nilai di masyarakat berisiko memicu langgengnya korupsi. Korupsi dapat timbul dari budaya masyarakat seperti menghargai seseorang berdasarkan kekayaan. Kondisi ini dapat memicu seseorang tidak kritis, seperti dari mana kekayaan tersebut didapat. Hal yang mudah dilakukan untuk mempermudah proses dan mempercepat kekayaan saah satunya dengan melakukan korupsi.
2. Masyarakat kurang sadar dirinya merupakan korban korupsi
Masyarakt pada umumnya akan memiliki anggapan jika seseorang melakukan korupsi maka yang akan mengalami kerugian adalah negara. Padahal dapat kita ketahui jika negara mengalami kerugi, maka yang akan merasakan kerugi tersebut adalah masyarakat sendiri. Karena proses anggaran pembangunan dipangkas oleh para pelaku korupsi.
3. Masyarakat kurang sadar dirinya terlibat korupsi
Terbiasa pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara terbuka berisiko membuat masyarakat tidak kritis pada aktivitas korupsi yang dilakukannya. Contoh, di sebuah daerah yang kerap terlihat seorang pegawai yang pulang atau pergi ke pusat perbelanjaan jauh sebelum waktu kerja usai sehingga tidak menutup kemungkinan hal tersebut akan ditiru pekerja yang lebih muda.
4. Masyarakat kurang sadar korupsi bisa dicegah dan diberantas
Masyarakat berpandangan bahwa yang kerap berlaku di tengah masyarakat yaitu mencegah dan menindak korupsi merupakan tanggung jawab penuh bagi pemerintah. Padahal, pencegahan dan pemberantasan korupsi di lingkungan pribadi dan profesional merupakan tanggung jawab semua masyarakat. Tidak hanya pemerintah saja jika saja masyarakat sadar akan hal tersebut maka pemberantasan untuk para koruptor akan lebih mudah dilakukan karena akan terjun langsung dilapangan.
5. Aspek peraturan perundang-undangan
Korupsi juga berisiko timbuh karena adanya kelemahan dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan tersebut dapat berisi poin yang hanya menguntungkan penguasa sebagai contoh tidak memiliki kualitas dalam hukum, kurang disosialisasikan kepada masyarakat, sanksi yang didapatkan kebnayakan terlalu ringan, penerapan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemah di bidang evaluasi dan revisi.
BAGAIMANA PERLAKUAN HUKUM YANG ADA DI INDONESIA TERHADAP KORUPSI ?
Terdapat banyak kasus korupsi yang cukup besar terjadi di Indonesia berikut ini merupakan kasus yang terbesar yang pernah terjadi di Indonesia bersertakan dengan putusan hakim kepada sang pelaku korupsi tersebut.
1. Kasus PT Asabri
Kasus yang dilakukan oleh PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata  Republik Indonesia atau disingkat sebagai (Asabri), menjadi yang terbesar yang pernah terjadu di Indonesia,  jumlah kerugian yang didapatkan dari kasus dugaan pengelolaan dana investasi periode  2012 sampai 2019 PT Asabri mencapai Rp23,74 triliun. Data ini  berdasarkan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.  Kasus Asabri membuat 7 terdakwa dituntut 10 tahun penjara  sampai hukuman mati. Selain itu uang pengganti kerugian untuk  negara mencapai belasan triliun rupiah
2. Kasus PT TPPI
Kasus korupsi yang menyeret nama PT Trans-Pacific Petrochemical  Indotama (TPPI) menempati peringkat kedua menjadi kasus terbesar di Indonesia dengan kerugian negara yang mencapai Rp 2,7 miliar dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 37,8  triliun.
Dalam kasus ini, mantan Kepala BP Migas, Raden Priyono dan mantan  Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas, Djoko Harsono  telah divonis 12 tahun penjara.
Sayangnya, mantan Presiden Direktur PT TPPI, Honggo Wendratno  yang divonis 16 tahun penjara kini masih berstatus buron.
3. Kasus E-KTP Setya Novanto
Dalam pertimbangannya, hakim mengatakan Setya Novanto menerima  imbalan proyek e-KTP sebesar US$ 7,3 juta. Hakim juga menyebut Setya  menerima satu jam tangan merek Richard Mille seharga US$ 135 ribu.
Hakim mengatakan Setya Novanto melanggar Pasal 3 Undang-Undang  Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang  Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Setelah itu dijatuhi hukuman 15 tahun penjara, Setya  diharuskan membayar denda Rp 500 juta subsider 3 bulan  kurungan.
Upaya Pencegahan Korupsi
Indonesia merupakan salah satu Negara dengan indeks presepsi korupsi yang mana Indonesia berada pada posisi atau peringkat 96 dari 180 negara di tahun 2022 ini. Perilaku korupsi di Indonesia ini dilakukan dengan cara penyuapan, pengadaan barang atau jasa dan juga penyalahgunaan anggaran. Oleh sebab itu, Berikut ini upaya pencegahan korupsi yang diperlukan untuk memberantas korupsi :
- Strategi Preventif
Strategi preventif merupakan usaha pencegahan korupsi yang diarahkan untuk meminimalisasi penyebab dan peluang seseorang melakukan tindak korupsi. Upaya preventif dapat dilakukan dengan:
1.Memperkuat Prinsip Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR.
2.Memperkuat Mahkamah Agung dan jajaran peradilan di bawahnya.
3.Membaangun kode etik di sekitaran masyarakat.
4.Membangun kode etik di sektor partai politik, organisasi profesi, dan asosiasi bisnis.
5.Meneliti setiap sebab-sebab perbuatan yang akan menimbulkan korupsi secara berkelanjutan.
6.Penyempurnaan dan meningkatan kesejahteraan manajemen sumber daya manusia atau SDM.
7.Mewajibkan untuk membuat perencanaan strategis dan laporan akuntabilitas kinerja bagi instansi pemerintah.
8.Adakan peningkatan untuk kualitas penerapan sistem pengendalian manajemen.
9.Penyempurnaan manajemen barang kekayaan milik negara atau BKMN.
10.Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
11.Kampanye untuk menciptakan nilai secara nasional.
- Strategi Detektif
Strategi detektif merupakan usaha yang diarahkan untuk mendeteksi apakah akan terjadi kasus-kasus korupsi dengan cepat, tepat, dan biaya murah. Sehingga dapat segera ditindaklanjuti dengan cara:
1.Memperbaiki sistem dan langsung memberi tindak lanjut jika ada pengaduan dari masyarakat.
2.Mengharuskan kewajiban atas pelaporan transaksi keuangan tertentu.
3.Membuat laporan kekayaan pribadi bagi pemegang jabatan yang memiliki fungsi publik.
4.Menciptakan partisipasi bagi Indonesia pada gerakan anti korupsi dan anti pencucian uang di kancah Internasional.
5.Meningkatkan kemampuan bagi Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah ata APFP dalam melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi.
- Strategi Represif
Strategi represif merupakan usaha yang diarahkan agar segala perbuatan korupsi yang telah diidentifikasi bisa langsung diproses dengan cepat, tepat, dan dengan biaya murah. Sehingga para pelakunya dapat segera diberikan sanksi sesuai peraturan perundangan yang sudah berlaku berikut upaya yang dapat dilakukan:
1.Memperkuat kapasitas badan atau komisi anti korupsi.
2.Adakan penyelidikan, penuntutan, peradilan, dan penghukuman koruptor besar dengan efek jera.
3.Melakukan penentuan jenis-jenis atau kelompok korupsi yang diprioritaskan untuk diberantas.
4.Pemberlakuan konsep pembuktian terbalik.
5.Meneliti proses penanganan perkara korupsi pada sistem peradilan pidana dengan cara  terus menerus.
6.Melakukan pemantauan pada proses penanganan tindak korupsi secara terpadu.
7.Mempublikasi setiap kasus-kasus tindak pidana korupsi beserta dengan analisisnya.
8.Mengatur kembali hubungan dan standar kerja antara tugas penyidik tindak pidana korupsi dengan penyidik umum, penyidik pegawai negeri sipil atau PPNS, dan penuntut umum.
KEJAHATAN MENURUT TEORI ANTHONY GIDDENS
Giddens memiliki pandangan bahwa peraturan maupun hukum ialah merupakan bagian dari struktur. Hal tersebut dikatakan karena didasari kepada sifat hukum, yang mana hukum ini memiliki sifat tidak hanya dapat dijadikan subjek atau objek saja dalam reproduksi sosial, melainkan juga termasuk dalam kerangka yang akan memberikan bentuk sekaligus sebagai pembatas dati berbagai perilaku sosial masyarakat. Giddens mengungkapkan bahwa jika kita mendasarkan pada strukturasi tersebut, penelitian mengenai korupsi ini akan berusaha untuk memecah paradigma yang selama ini berkembang bahwa "pelaku" dan "perilaku" ialah satu-satunya unsurdeterminan dalam pembahasan mengenai penegakan hukum. Pada akhirnya peraturan atau perundang-undangan jugalah yang akan menjadi bagian dari struktur hukum. Struktur hukum ini ya g akan memberikan corak otoritas kepada kekuasaan penegak hukum, untuk dapat menjalankan perannya sebagai pengawal undang-undang. Termasuk  juga untuk wewenang diskresi yang meskipun diberikan dengan tujuan untuk kebebasan mengambil keputusan, hal itu akan tetap saja tidak dapat dilepaskan dari corak otoritas yang diberikan peraturan perundang-undangan. Diskresi atau sering dikatakan sebagai pertimbangan pemikiran biasanya mengacu pada suatu kasus dimana seorang atau subjek dari suatu peraturan, memiliki kekuasaan untuk memilih dari berbagai altenatif.
Untuk saat ini sebuah sistem hukum modern mengandung peraturan dalam jumlah yang amat banyak, yang dibagi di beberapa golongan yaitu sebagian objektif dan sebagian deskrisioner. Namun sebuah peraturan yang memiliki sifat deskrisioner tidak ditujukan untuk langsung berlaku, hal itu dikarenakan peraturan-peraturan tersebuthanya mendelegasikan otoritas bangsa.
Setidaknya ada 3 syarat yang diharuskan untuk mengontrol atau mereduksi diskresi.
- Pertama harus tersedia peraturan perundang-undangan yang secara tegas dan lugas undang-undang tersebut mengatur mengenai apa yang harus dikerjakan oleh si pelaku. Diskresi merupakan berkembang dari peraturan-peraturan kabur yang terbuka bagi penafsiran.
- Kedua, harus memiliki ketersediaan sistem komunikasi yang memadai dalam struktur keorganisasian bagi para penegak hukum, yang hal tersebutlah merupakan cara tertentu untuk membuat para penegak hukum merujuk pada peraturanper undang-undangan dan mengomunikasikan mengenai ketentuan-ketentuan yang memiliki hubungan. Selain itu sistem komunikasi juga diperlukan untuk mencari tahu bagaimana kinerjanya, apakah dapat dilaksanakan dengan cara tersurat atau dengan cara tersirat peraturan tersebut.
- Yang ketiga atau yang terakhir ini harus tersedia mekanisme tertentu untuk menjaga agar si pelaku tetap berada di jalurnya, untuk memastikan kepatuhannya. Cara tersebutlah yang  dapat berupa imbalan dan hukuman. Meskipun dapat jadi seorang atasan bisa menemukan cara lain untuk memunculkan sikap patuh secara sukarela
Diskresi diberikan bukan untuk memecah belah struktur, tetapi justru untuk memperkuat struktur tersebut. Diskresi sendiri ibaratkan sendi yang dapat menyambung setiap bagian kerangka, yang membuat struktur tulang dapat lebih luwes dan tidak kaku. Diskresi memungkinkan keadaan atau ketegangan antara tiga asas besar dalam hukum dalam ajaran Gustav Radbruch 3 asas ini yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan  dapat diminimalisir. Pengutamaan yang satu diantara yang lain dan nilai dasar hukum tersebut akan berakibat ketegangan (spanning) diantara masing-masing nilai hukum tersebut. Namun dengan demikian Indonesia yang saat ini cenderung menganut sistem hukum yang positifistik memberikan batasan diskresi yang mana akan memiliki Kewenangan untuk menyampingkan perkara pidana itu sendiri dikenal sebagai perwujudan asas oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung.Â
Dalam praktiknya hal tersebut pun sebenarnya ada pada tingkat penyidikan kepolisian sering terbentur dengan tata acara pidana formil apabila hendak mengesampingkan sebuah perkara pidana, diskresi yang dimiliki oleh polisi tidak dapat memberikan kewenangan untuk menilai sebuah perkara apakah perkara itu merupakan perkara yang harus terus dilanjutkan atau dihentikan, takarannya hanya terbatas pada bukti tindak pidana yang cukup. Apabila saat pelaporan adanya bukti telah terjadi sebuah tindak pidana, maka polisi akan terus meneruskan perkara tersebut.
Daftar Pustaka
Thoyyibah, Imadah. Makna kejahatan struktural korupsi dalam perspektif teori strukturasi Anthony Giddens.
Wulandari,Trisna. (2022, Maret 9). Faktor Penyebab Korupsi dari Aspek Individu hingga Organisasi.
Abdi,Husnul. (2021, Desember 7). Pengertian Korupsi Menurut Para Ahli, Penyebab, dan Dampaknya.
Isabela, Monica Ayu C. (2022, Maret 26). Upaya Pencegahan Korupsi.
Yusup, Mohamad. (2017). PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA DALAM PANDANGAN
TEORI STRUKTURASI ANTHONY GIDDENSDAN
PEMIKIRAN HUKUM PROGRESIF.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H