Dinamika politik tana air bergerak begitu cepat, yang berkaitan dengan politik regional sejalan dengan mulai berakhirnya Perang Pasific, yang dampaknya pada politik domestik di tanah air. Sebelas bulan kemudian pada 24 Desember 1946 berdirilah Negara Indonesia Timur (NIT), dengan 13 daerah otonom dimana termasuk Maluku sebagai salah satu daerah otonom didalam negara ini, dengan nomenklaturnya Daerah Maluku Selatan. Namun berbeda tatkala dalam posisi sebagai Provinsi Maluku dalam teritori RI, sejumlah wilayah kesultanan yang berada di Maluku Utara menjadi wilayah Provinsi Maluku.
Sementara saat berada dalam posisi Daerah Maluku Selatan di dalam teritori NIT, wilayah kesultanan di Maluku Utara menjadi daerah otonom sendiri, dengan nomenklatur Daerah Maluku Utara. Maluku tatkala menjadi Daerah Maluku Selatan dipimpin oleh Kepala Daerah sendiri. Diantara figur yang pernah memimpin Daerah Maluku Selatan saat itu yakni, Mantou, F.W.G. Linck dan M. A. Pellaupessy. Sedangkan RI saat itu masih tetap eksis dengan wilayah yang semakin kecil di seputaran Pulau Sumatera, Jawa dan Pulau Madura. (Leirisa, dkk :1993).
Pada 27 Desember 1949 resmi berdiri Republik Indonesia Serikat (RIS). Seiring dengan itu Mr. Latuharhary tidak lagi memagang jabatan Gubernur Provinsi Maluku, karena wilayah Maluku saat itu tidak lagi menjadi bagian dari RI, melainkan menjadi bagian dari wilayah NIT. Keberadaan Daerah Maluku Selatan di bawah NIT sejak 24 Desember 1946 sampai dengan 17 Agustus 1950. Pada 17 Agustus 1950 NIT bersama negara-negara bagian lainnya meleburkan diri ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Meleburnya NIT ke NKRI seiring dengan Mosi Integral yang disampaikan Mohammad Natsir Pimpinan Partai Masyumi di Parlemen RIS pada 3 April 1950. Peristiwa itu dikenal sebagai pengajuan Mosi Integral Natsir, yang memungkinkan bersatunya negara-negara Bagian RIS ke dalam NKRI. Mosi Integral Natsir itulah yang kemudian mengantarkan terbentuknya kembali NKRI. Mosi ini populer dengan sebutan Proklamasi kedua RI pada 17 Agustus 1950, setelah sebelumnya Proklamasi pertama RI pada 17 Agustus 1945. (Ikhsan, 2021).
Kembali ke Provinsi Maluku
Seiring dengan bubarnya NIT pada 17 Agustus 1950, maka Daerah Maluku Selatan pun bubar dan mengintegrasikan diri kembali ke NKRI, dengan nomenklaturnya menjadi Provinsi Maluku. Untuk menjalankan pemerintahan di Provinsi Maluku, maka Pemerintah mengangkat dr. Rehatta sebagai Kepala Daerah dengan pusat kegiatannya di Namlea dan Piru. Sementara posisi Mr. Latuharhary telah demosioner seiring dengan pembentukan RIS, namun tatkala Daerah Maluku Selatan kembali menjadi Provinsi Maluku terjadi perdebatan antara para elite Maluku saat itu, tentang boleh tidaknya ia mengemban kembali jabatan Gubernur Provinsi Maluku.
Hal ini dipaparkan I.0. Nanulaitta dalam biografi Mr. Latuharhary yang berjudul ; “Mr. Johannes Latuharhary Hasil Karya dan Pengabdiannya” tahun 2009. Dimana proses pengangkatan Mr. J. Latuharhary sebagai Gubernur Maluku tidak semudah seperti disangka orang. Karena tokoh-tokoh Maluku seperti Dr. J. Leimena, lr. Putuhena, dr. Rehatta dan kawan-kawan seperjuangan SA seperti J.D. Siyaranarnual dan P de Queljoe, tidak menyetujui pencalonan Mr. J. Latuharhary.
Menurutnya, karena pertentangan ini E.U. Pupella, anggota parlemen turut campur tangan. Dia berpendapat bahwa Mr. J. Latuharhary adalah Gubernur Maluku dalam negara Rl, dan dengan terbentuk kembali negara kesatuan Rl, Latuharhary-lah yang harus melanjutkan jabatan itu. Pupella menghadap Menteri Dalam Negeri Mr. Asaat. Tetapi Siyaranamual dan de Queljoe memotong usahanya. Malahan Siyaranamual berkata, "Kau Pupella yang harus jadi gubernur". Tetapi Pupella menjawab bahwa ia tidak dilahirkan untuk menjadi gubernur.
Untuk mendapat dukungan Pupella mengadakan rapat dengan masyarakat Maluku di Makassar yang dihadiri pula oleh wakil-wakil dari Surabaya Moh. Padang dan Atamimi. Rapat memutuskan mencalonkan Latuharhary. Kemudian Pupella bersama-sama Latuharhary ke Parlemen bertemu dengan pimpinan PIR dan mendapat dukungan. Bersama Moh Padang Pupella ke Menteri Dalam Negeri, dan Perdana Menteri Moh Natsir. Putusan yang mereka peroleh Latuharhary diterima J. de Fretes kemukakan, bahwa Latuharhary adalah calon PIM.
Tetapi tokoh-tokoh tersebut di atas tidak setuju. Ketika ia dipanggil menghadap Presiden Soekarno, dia diberitahukan bahwa pemuka-pemuka Maluku tersebut di atas tidak setuju pencalonan Latuharhary. Atas nama PIM de Fretes tegaskan pencalonan Latuharhary berdasarkan deklarasi kemerdekaan dan Soekarno berkata : "Yah, akan saya pertimbangkan". Pengangkatan Mr. Latuharhary sebagai Gubernur Maluku dianggap oleh masyarakat Maluku, khususnya para pejuang yang ada di Jawa, sesuatu yang wajar, karena perjuangannya menghantar masyarakat Maluku ke pintu gerbang kemerdekaan kemudian memimpinnya sebagai gubernurnya masuk ke alam kemerdekaan.
***