Dua nomenklatur pemerintahan berbeda Provinsi Maluku, dan Daerah Maluku Selatan. Jika letterlijk membacanya tanpa memiliki literasi komprehensif dari aspek kesejarahan, perpolitikan, dan ketatanegaraan maka secara subyektif mengkritik penulis. Pengkritik kadang menanggapinya, lantas mengklaim dirinya yang paling nasionalis dengan memposisikan penulis berada pada ruang non nasionalis, bahkan ironinya di cap separatis. Suatu kebiasaan buruk mendeskreditkan kawan dialog, karena minim literasi. Padahal ada perspektif objektif yang bersandar pada literasi, yang terakuntabel melalui data-data sekunder, yang didapatkan melalui buku, skripsi, tesis, disertasi, jurnal, surat kabar, majalah, buletin, tabloid, dan website.
Hal ini yang lazim dalam dunia akademik disebut dengan studi kepustakaan (library reasearch). Jika pengkritik keberatan dengan argumentasi yang disampaikan penulis, tentu memiliki hak akademik untuk melakukan study dengan pendekatan yang sama. Sehingga bisa ditemukannya novelti (kebaharuan), untuk memfalsifikasi (menguggurkan) pendapat penulis dengan temuan terbarunya. Hal ini biasanya dilakukan dalam pendekatan post positivis, sebagaimana yang dipaparkan Karl Raimund Popper, yang populer dengan karyanya “The Logic of Scientific Discovery”, yang di publis di tahun 1934 lampau.
Provinsi Maluku
Terlepas dari itu, tatkala Republik Indonesia (RI) di proklamirkan oleh dwi tunggal Ir. Soekarno, dan Drs. Mohammad Hatta pada 17 Agustus 1945, maka Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya pada tanggal 19 Agustus 1945 membagi wilayah RI menjadi 8 propinsi, antara lain ; Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra, Borneo, Sulawesi, Maluku dan Sunda kecil. Seiring dengan pembagian itu diikuti pula dengan penunjukan 8 figur sebagai gubernur pada 8 provinsi tersebut. Sehingga saat itu figur Gubernur Provinsi Maluku adalah Mr. Johannes Latuharhary.
Sejak 19 Agustus 1945 Provinsi Maluku mulai eksis, namun gubernnya masih berada di Jakarta dan belum pulang ke Ambon untuk menjalankan pemerintahan disana. Begitu juga Kantor Gubernur Provinsi Maluku masih berada di Jakarta, yang beralamat di van Heutzplein Nomor 7, saat ini merupakan Jalan Cut Mutia. Sementara pemerintahan Maluku di Ambon jauh sebelum Mr. Latuharhay menjadi Gubernur Maluku dipegang oleh U.E. Pupela. Jabatan ini dipegang Pupela setelah kedatangan tentara Jepang pada 31 Januari 1942, yang melibas habis gabungan pasukan Koninklijk Netherlands Indisch (KNIL) dan batalion Australia dalam Ambon Battle (Pertempuran Ambon).
Kondisi ini digambarkan Richard Chauvel dalam bukunya berjudul “Nationalists, Soldiers and Separatists : The Ambonesse Island from the colonialism to revolt (1880 -1950).” Dalam perkembangannya Belanda dan Australia kembali lagi ke Ambon pada 22 September 1945, sebulan setelah kekalahan Jepang. Pemerintahan Daerah di Maluku yang ketika itu dipimpin Pupela oleh Sekutu di serahkan kepada keluarga terkemuka di Ambon, yakni keluarga Gaspersz. Sehingga D.J. Gaspersz dan anaknya Wim Gaspersz yang mengendalikan Pemerintahan Daerah di Maluku saat itu.
Hal ini menunjukan bahwa, tatkala Mr. Latuharhary menjadi Gubernur Provinsi Maluku pada 19 Agustus 1945, di Maluku telah lebih dulu ada dua Kepala Daerah, dengan dua rezim berbeda yang dipercayakan menjalankan roda Pemerintahan Maluku. Selaku Gubernur Provinsi Maluku Mr. Latuharhary belum bisa pulang ke Ambon, untuk menjalankan roda pemerintahan disana. Pasalnya, Maluku telah dikuasai kembali oleh tentara Belanda dan Australia, setelah empat tahun sebelumnya mereka bertekuk lutut dibawah laras tentara Jepang dalam Ambon Battle.
Posisinya sebagai Gubernur Provinsi Maluku dalam wilayah RI, tentu tidak akan mendapat legitimasi dari Belanda dan Australia. Bahkan saat itu Pemerintahan Maluku telah dipercayakan kepada keluarga Gaspersz, maka tak ada pilihan lain dari Mr. Latuharhary untuk tetap berada di Pulau Jawa sambil menunggu hingga kondisi Maluku kembali dalam penguasaan RI. Dengan kondisi Maluku dalam penguasaan RI, akan memungkinkannya untuk balik ke Ambon guna menjalankan roda Pemerintahan Provinsi Maluku.
Dalam perkembanngannya, lima bulan kemudian tepatnya pada 4 Januari 1946 ibukota negara dari Jakarta berpindah ke Yogyakarta, seiring dengan itu Mr. Latuharhary pun hijarah ke Yogyakarta, yang diikuti pula dengan berpindahnya Kantor Gubernur Maluku ke Yogya di kawasan Margokridongo 2. Berpindahnya ibukota negara dari Jakarta ke Yogyakarta lantaran situasi Jakarta sebagai ibu kota negara sudah tak kondusif lagi, dengan hadirnya tentara Nederlandsch Indische Civiele Administratie (NICA) yang memboncengi tentara sekutu.
Banyak diantara para pimpinan RI yang saat itu merasa tidak aman lagi, sehingga Presiden Soekarno menggelar rapat terbatas pada 1 Januari 1946 di kediamannya, Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta. Hasil rapat itu, Pemerintah RI sepakat untuk mengendalikan jalannya pemerintahan dari lingkup daerah. Pada 2 Januari 1946, Sultan Hamengku Buwono X menyarankan agar ibukota RI dipindahkan ke Yogyakarta. Lalu Presiden Soekarno menanyakan kembali kesanggupan pemerintah Yogyakarta untuk menerima pemindahan Ibukota. Setelah menyanggupi, Presiden Soekarno menerima saran itu.(Nanulaita, 2009).
Daerah Maluku Selatan