Mohon tunggu...
Jeniffer Gracellia
Jeniffer Gracellia Mohon Tunggu... Lainnya - A lifelong learner

Menulis dari Kota Khatulistiwa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sama-sama Sunat, Mengapa Sunat Perempuan Melanggar Hak Asasi dan Berbahaya?

6 Februari 2022   11:00 Diperbarui: 6 Februari 2022   15:50 13724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret Salsa Djafar (1,5 tahun) yang menjalani sunat di sebuah desa di Gorontalo | Foto diambil dari CNN Indonesia

Memang namanya sama-sama sunat, sunat perempuan atau Female Genital Mutilations (FGM) ternyata sangatlah berbeda dengan sunat yang dilakukan kepada laki-laki. 

Sayangnya dari perbedaan tersebutlah yang menjadikan sunat perempuan menjadi sebuah pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sunat perempuan juga membahayakan kesehatan fisik maupun psikologis perempuan yang menjalankan prosedur ini.

Sunat perempuan bukanlah hal yang asing untuk masyarakat Indonesia. Walaupun keras dilarang oleh Pemerintah Indonesia dan masyarakat Internasional, bahkan ditolak oleh banyak kalangan masyarakat, pratik sunat perempuan masih kerap dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

Hari ini, 6 Februari, dunia memperingati International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation atau Hari Anti-Sunat Wanita Sedunia. Hari kesadaran ini disponsori oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam upaya menghapuskan mutilasi kelamin perempuan sejak tahun 2003.

Sebenarnya apa itu sunat perempuan atau Female Genital Mutilations? Mengapa praktik ini melanggar Hak Asasi Manusia dan membahayakan fisik dan psikologis perempuan, namun sulit untuk diberantas?

Empat tipe sunat perempuan | Foto diambil dari MyHealth
Empat tipe sunat perempuan | Foto diambil dari MyHealth

Apa itu sunat perempuan?

Walaupun sama-sama dipanggil dengan sebutan sunat, pada kenyataannya sunat perempuan dan laki-laki sangatlah berbeda. Sunat laki-laki dilakukan dengan penangkatan kulit yang menutupi kepala penis. 

Sedangkan sunat perempuan dilakukan dengan memotong lipatan kulit yang mengelilingi klitoris bahkan mengangkat klitoris itu sendiri.

Terdapat empat tipe sunat perempuan, yaitu:

  • Tipe 1: di mana dilakukan penangkatan sebagian atau seluruh klitoris.
  • Tipe 2: selain sebagian atau seluruh klitoris, labia yang merupakan bagian dalam dan luar yang mengelilingi vagina juga diangkat.
  • Tipe 3: labia dijahit menjadi satu untuk membuat lubang vagina menjadi lebih kecil.
  • Tipe 4: semua jenis prosedur yang merusak alat kelamin wanita untuk tujuan nonmedis, dengan cara menusuk, memotong, mengikis, hingga membakar.

Jika masih dilakukan hingga sekarang, apakah sunat perempuan sama manfaatnya dengan sunat laki-laki? 

Sunat laki-laki memiliki berbagai manfaat yang diakui secara medis, seperti: mengurangi risiko terjadinya penyakit seksual menular, mencegah terjadinya penyakit, mengurangi risiko infeksi saluran kenih hingga risiko kanker penis. Sedangkan sunat perempuan tidak memiliki manfaat apapun untuk kesehatan secara medis.

Bukan hanya tidak memiliki manfaat, sunat perempuan justru memberikan dampak yang berbahaya untuk kesehatan fisik dan psikologis perempuan. 

Dikutip dari Alodokter, keluhan yang kerap terjadi setelah dilakukannya sunat perempuan adalah: masalah kesehatan mental (seperti depresi atau trauma psikis), terbentuknya kista, pendarahan yang terjadi karena terpotongnya pembuluh darah, gangguan dalam berhubungan seks, nyeri terus menurus, infeksi, dan gangguan ketika melahirkan.

Dapat disimpulkan, sunat perempuan dan sunat laki-laki tidak dapat disamakan, justru rasanya tidak adil jika kita menyamakan kedua praktik ini. 

Menurut saya, praktik ini bahkan tidak seharusnya disebut sebagai ‘sunat perempuan’, bagaimana pada kenyataannya ‘mutilasi kelamin perempuan’ lebih menggambarkan praktik ini.

Jelas sunat laki-laki memiliki manfaat yang diakui secara medis, sedangkan sunat perempuan bukan hanya tidak diakui namun juga sangat berbahaya. 

Potret Salsa Djafar (1,5 tahun) yang menjalani sunat di sebuah desa di Gorontalo | Foto diambil dari CNN Indonesia
Potret Salsa Djafar (1,5 tahun) yang menjalani sunat di sebuah desa di Gorontalo | Foto diambil dari CNN Indonesia

Jika tidak bermanfaat dan justru berbahaya, mengapa masih banyak dilakukan?

Nyatanya, bukan hanya di Indonesia, sunat perempuan cukup umum dilakukan di negara-negara Afrika dan Timur Tengah. Di Indonesia, presentase tertinggi terjadi di Gorontalo (83,7%) dan terendah terjadi di Nusa Tenggara Timur (2,7%)

Sunat perempuan masih langgeng dilakukan di Indonesia maupun bagian negara lain karena alasan yang sama, yaitu: tradisi dan budaya yang sudah berlangsung secara turun temurun. Praktik yang merugikan ini dilestarikan dan diterima sebagai bagian dari norma budaya, agama, dan sosial.

Faktor sosial budaya dalam keluarga dan masyarakat tersebut menjadi alasan mengapa sunat perempuan dilakukan di banyak negara, dari satu daerah ke daerah lain, memiliki banyak tata cara yang berbeda-beda. 

Mereka percaya bahwa sunat perempuan dapat memurnikan anak perempuan, membantu mereka mengendalikan nafsu seksual, dan mencegah mereka tumbuh sebagai seorang wanita yang bebas. Juga terdapat kepercayaan bagaimana doa dari perempuan yang belum disunat tidak didengar oleh Tuhan dan rentan terkena gangguan mental dan kecacatan fisik. 

Dari sini kita justru dapat menilai, betapa berbedanya motif dari sunat laki-laki dan perempuan. 

Di mana sunat laki-laki dilakukan dengan alasan kesehatan yang diakui medis, perempuan justru harus melewati praktik berbahaya ini dengan alasan kontrol seksual bahkan di saat mereka masih bayi. 

Praktik sunat perempuan juga kental dengan norma patriaki yang kuat, di mana perempuan yang tidak melakukan praktik ini dianggap rendah di susunan masyarakat. 

Helwana Fattoliya, seorang pemuka agama dari Dewan Masjid Indonesia (DMI) menceritakan pengalamannya kepada United Nations Population Fund (UNFPA). Saat itu ia berusia sekitar 7 tahun, di mana ibunya mengadakan ritual sunat perempuan untuknya. 

Ia menceritakan bagaimana seorang dukun menggunakan sebatang bambu yang sudah ditajamkan, diasah, dan sudah dilancipkan. Ia berteriak kesakitan dan melihat darah keluar. Helwana kemudian mengalami pendarahan hebat dan pingsan. Ia juga menambahkan bagaimana ia masih teringat dan masih sangat trauma.

Helwana juga menambahkan bahwa saat itu ayahnya yang seorang ulama menentang pratik sunat perempuan. Namun praktik ini menjadi bagian dari tradisi keluarga ibunya dan mau tidak mau praktik tersebut dilakukan. Sekarang Helwana menjadi seorang ulama yang terus aktif mendorong masyarakat untuk meninggalkan praktik ini. 

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, hal ini dapat dilihat dari pengambilan keputusan sunat perempuan yang dilakukan oleh orangtua, terutama ibu. Ini dapat kita lihat juga dari pengalaman yang dibagikan oleh Helwana.

Seorang perempuan di Mombasa, Kenya, menunjukkan pisau silet yang ia gunakan untuk melakukan sunat perempuan | Foto milik Ivan Lieman/Barcroft Media
Seorang perempuan di Mombasa, Kenya, menunjukkan pisau silet yang ia gunakan untuk melakukan sunat perempuan | Foto milik Ivan Lieman/Barcroft Media

Melanggar hukum internasional dan UU Indonesia

Praktik sunat perempuan diakui secara hukum internasional sebagai pelanggaran Hak Asasi anak perempuan dan perempuan, dianggap sebagai bentuk ekstrim dari diskriminasi gender, dan juga mencerminkan ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki.

Karena kerap dilakukan ketika seorang anak perempuan masih kecil dan tanpa persetujuan, praktik ini juga melanggar hak-hak anak atas kesehatan, keamanan, integritas fisik, hak untuk bebas dari penyikasaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, dan hak untuk hidup jika praktik ini mengakibatkan kematian.

Di Indonesia, sunat perempuan melanggar UUD 1945 dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, di mana setiap orang berhak menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan.

Muncul pertanyaan selanjutnya, jika sudah diatur oleh hukum internasional dan UU di Indonesia, mengapa praktik ini masih langgeng dilakukan?

Inkonsistensi sikap pemerintah atas sunat perempuan menyebabkan banyak kebingungan dan pro kontra di masyarakat. 

Mereka yang pro dibalik alasan sosial budaya yang turun temurun dan perintah agama menjadikan praktik yang berbahaya ini semakin dianggap wajar dan perlu dilakukan oleh masyarakat Indonesia.

Para pemimpin agama di Indonesia juga mengambil posisi yang berbeda-beda, dimana banyak mereka yang mempromosikannya, menganggapnya sebagai tidak relevan lagi, ataupun ikut berkontribusi dalam menghapus praktik ini.

Hingga sekarang, pemerintah pusat yang diwakilkan oleh Kementerian PPPA menunjukkan ketidaksetujuan dan juga komitmen serius untuk mencegah terjadinya praktik sunat perempuan. Hal ini diperkuat dengan dibentuknya roadmap dan rencana aksi pencegahan dengan target hingga tahun 2030.

Namun terdapat satu hal yang kurang dari peraturan yang dibuat oleh pemerintah, yaitu: sanksi. Pemerintah seharusnya membuat regulasi pelarangan praktik sunat perempuan yang disertai dengan pemberian sanksi yang menghukum siapa saja yang melakukan praktik sunat perempuan.

Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi Convention on Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW). Dengan meratifikasi perjanjian ini, bukan hanya kepada masyarakat Indonesia, pemerintah memiliki komitmen internasional untuk memberantas praktik-praktik yang mendiskriminasi perempuan.

Bersama dengan pemerintah, para pemimpin agama, otoritas lokal seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, tenaga medis, hingga anggota masyarakat dapat menjadi advokat yang efektif di lingkungan sekitarnya untuk menghentikan praktik yang melanggar hak asasi dan berbahaya untuk kesehatan psikologis dan fisik perempuan ini.

Sumber: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun