Dari sini kita justru dapat menilai, betapa berbedanya motif dari sunat laki-laki dan perempuan.Â
Di mana sunat laki-laki dilakukan dengan alasan kesehatan yang diakui medis, perempuan justru harus melewati praktik berbahaya ini dengan alasan kontrol seksual bahkan di saat mereka masih bayi.Â
Praktik sunat perempuan juga kental dengan norma patriaki yang kuat, di mana perempuan yang tidak melakukan praktik ini dianggap rendah di susunan masyarakat.Â
Helwana Fattoliya, seorang pemuka agama dari Dewan Masjid Indonesia (DMI) menceritakan pengalamannya kepada United Nations Population Fund (UNFPA). Saat itu ia berusia sekitar 7 tahun, di mana ibunya mengadakan ritual sunat perempuan untuknya.Â
Ia menceritakan bagaimana seorang dukun menggunakan sebatang bambu yang sudah ditajamkan, diasah, dan sudah dilancipkan. Ia berteriak kesakitan dan melihat darah keluar. Helwana kemudian mengalami pendarahan hebat dan pingsan. Ia juga menambahkan bagaimana ia masih teringat dan masih sangat trauma.
Helwana juga menambahkan bahwa saat itu ayahnya yang seorang ulama menentang pratik sunat perempuan. Namun praktik ini menjadi bagian dari tradisi keluarga ibunya dan mau tidak mau praktik tersebut dilakukan. Sekarang Helwana menjadi seorang ulama yang terus aktif mendorong masyarakat untuk meninggalkan praktik ini.Â
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, hal ini dapat dilihat dari pengambilan keputusan sunat perempuan yang dilakukan oleh orangtua, terutama ibu. Ini dapat kita lihat juga dari pengalaman yang dibagikan oleh Helwana.
Melanggar hukum internasional dan UU Indonesia
Praktik sunat perempuan diakui secara hukum internasional sebagai pelanggaran Hak Asasi anak perempuan dan perempuan, dianggap sebagai bentuk ekstrim dari diskriminasi gender, dan juga mencerminkan ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki.
Karena kerap dilakukan ketika seorang anak perempuan masih kecil dan tanpa persetujuan, praktik ini juga melanggar hak-hak anak atas kesehatan, keamanan, integritas fisik, hak untuk bebas dari penyikasaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, dan hak untuk hidup jika praktik ini mengakibatkan kematian.