Pada 24 Desember 2020, Skotlandia resmi menjadi negara pertama yang memberikan akses gratis produk kebutuhan menstruasi untuk perempuan. Anggaran untuk program ini diperkirakan mencapai Rp435 milliar dimana produk gratis tersebut akan disediakan di gedung-gedung publik. Â Â
Menyusul Skotlandia, Selandia Baru menyatakan rencananya untuk menyediakan secara gratis kebutuhan menstruasi untuk para siswi SD, SMP dan SMA. Merogoh kocek sebanyak Rp252,6 milliar, recana ini akan dimulai pada bulan Juni 2021.
Skotlandia dan Selandia Baru rela mengeluarkan ratusan miliar dari anggaran pemerintahnya untuk mengurangi period poverty atau kemiskinan menstruasi.Â
Berbeda dengan Indonesia, dimana masih banyak perempuan tidak memiliki akses ke produk serta pengetahuan mengenai menstruasi, sekaligus harus melawan stigma masyarakat tentang 'tamu bulanan' ini. Â
Apa itu period poverty?
Period poverty atau kemiskinan menstruasi adalah kesulitan akses perempuan dan anak perempuan untuk mendapatkan produk kebutuhan menstruasi yang aman dan higenis serta akses pengetahuan mengenai menstruasi.Â
Penyebabnya terbanyak disebabkan oleh permasalahan ekonomi dan juga stigma masyarakat mengenai menstruasi. Yang dimaksud dengan produk kebutuhan menstruasi bukan hanya pembalut atau tampon, namun juga obat pereda nyeri seperti parasetamol atau ibuprofen serta pakaian dalam.
Period poverty akan lebih parah dirasakan oleh perempuan yang tinggal di daerah konflik atau zona perang, daerah pasca-bencana dan juga perempuan penyandang disabilitas.Â
Period poverty juga bukan hanya mengenai sulitnya akses terhadap produk kebutuhan menstruasi karena permasalahan ekonomi, namun juga akses yang terbatas.
Tidak terjangkau dan tidak tersedia
Dikutip dari BBC, perempuan Indonesia mengeluarkan 1,7% penghasilan bulanan mereka atau Rp16,9 juta dalam masa hidupnya untuk membeli produk kebutuhan menstruasi. Angka tersebut lebih tinggi 20% dibandingkan rata-rata perempuan di 21 negara Asia lainnya.
Di kota-kota besar di Indonesia, produk kebutuhan menstruasi mudah ditemukan walaupun untuk harga yang mahal. Namun jika kita bandingkan dengan kota-kota kecil hingga pedesaan di Indonesia, bukan hanya mahal namun juga produk tersebut tidak tersedia.Â
Salah satu subtitusi perempuan pedesaan Indonesia adalah pembalut kain yang sebenarnya ramah lingkungan dan murah. Sayangnya masih banyak perempuan yang masih menggunakan tisu, koran, pasir, daun hingga kulit pohon yang berbahaya. Akses air yang bersih juga menjadi salah satu permasalahan dari period poverty di pedesaan Indonesia.Â
Bagaimana kondisi period poverty di Indonesia?
Pada tahun 2015, sebuah survei berjudul "Menstrual Hygiene Manegement in Indonesia: Understanding Practices, Determinants and Impacts Among Adolescent School Girls" dilakukan oleh UNICEF bersama dengan Burnet Institute, SurveyMETER, WaterAid Australia dan Aliansi Remaja Independen.
Survei dilakukan terhadap 1.402 perempuan dari 16 sekolah di Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Papua dan Nusa Tenggara Timur. Survei ini menemukan 7 poin kesimpulan dari kondisi perempuan di Indonesia, yaitu:
1. Kurangnya pengetahuan tentang menstruasi memberikan kontribusi kuat terhadap kurangnya persiapan ketika mengalami menstruasi pertama. Ini menyebabkan banyak perempuan merasakan ketakutan, kebingungan, kecemasan dan rasa malu.
2. Keyakinan bahwa menstruasi adalah darah kotor hasil pembersihan racun dan kotoran dalam tubuh yang salah, karena darah menstruasi adalah hasil peluruhan dinding rahim. Pengetahuan yang salah kemudian menyebabkan proses manajemen kebersihan yang salah juga, seperti cara membuang pembalut sekali pakai.Â
3. Fasilitas air bersih, sanitasi dan higienitas yang tidak memadai di sekolah menyebabkan keengganan perempuan untuk mengganti pembalut yang sudah kotor. Ditemukan banyak perempuan memilih mengganti pembalut setelah pulang sekolah atau lebih dari delapan jam (idealnya 4 jam sekali).
4. Merahasiakan menstruasi karena rasa takut dan cemas akan darah menstruasi yang bocor. Hal ini menyebabkan kurangnya partisipasi di kegiatan sekolah, seperti engan berdiri di depan kelas atau mengikuti pendidikan jasmani. Â Â
5. Risiko kesehatan terkait infeksi yang tinggi. Jarang mencuci tangan dan menggunakan air atau sabun yang tidak bersih meningkatkan risiko infeksi saluran reproduksi dan infeksi saluran kemih. Survei juga menemukan ketidaknyaman, iritasi dan gatal karena pengunaan pembalut dalam waktu lama.Â
6. Nyeri dan gejala menstruasi seperti kelelahan, mood swings dan sakit kepala yang mengurangi partisipasi dan kinerja murid perempuan di sekolah. 1 dari 7 anak di survei tersebut memilih bolos sekolah karena gejala menstruasi.  Jika seorang anak perempuan bolos setiap kali menstruasi, mereka akan tertinggal 145 hari dibandingkan murid laki-laki.
7. Hubungan antara murid perempuan dengan murid laki-laki. Ditemukan bahwa perempuan sangat merahasiakan seputar menstruasi dan menjaga jarak dengan teman laki-lakinya karena takut diejek. Menurut data Plan Internasional Indonesia, 39% anak perempuan pernah diejek temannya saat menstruasi.
Penyakit karena enggan menganti pembalutÂ
Sulitnya akses dari produk menstruasi bukan hanya menjadi permasalahan ekonomi namun juga menjadi permasalahan kesehatan di masyarakat yang penting, namun sering diabaikan.Â
Ketidakmampuan untuk mengakses kebutuhan menstruasi dari pembalut yang higenis, pengelolaan limbah bekas menstruasi yang tepat hingga lingkungan yang tidak bersih menjadi penyebab berbagai penyakit yang terus menghantui perempuan.
Berdasarkan survei di atas, kita dapat dengan mudah menemukan bagaimana perempuan di Indonesia kerap menahan diri untuk mengganti pembalut karena berbagai alasan.Â
Padahal pembalut kotor yang lama tidak diganti menjadi sarang pertumbuhan bakteri dan jamur. Berbagai penyakit yang sering dialami perempuan karena pembalut antara lain seperti Infeksi Saluran Kenih (ISK), Toxic Shock Syndrome, iritasi karena alergi pembalut, vaginosis bakterialis hingga penyakit candidiasis.Â
**
Menurut penulis, dari 7 kesimpulan dari survei diatas kita dapat menilai apa yang sekarang sangat dibutuhkan perempuan-perempuan di Indonesia: pengetahuan dan akses air, sanitasi dan higienitas di kamar kecil. Tidak dapat dipungkiri di Indonesia menstruasi masih menjadi hal yang tabu yang dibicarakan di antara masyarakat.Â
Anggapan tabu tersebut kemudian menyebabkan tertutupnya sarana komunikasi antar masyarakat berbagi pengetahuan yang tepat dan lengkap tentang menstruasi. Tidak heran banyak anak perempuan yang kebingungan, cemas dan khawatir.Â
Untuk Indonesia yang lebih maju, masyarakat perlu mendorong dan membantu generasi selanjutnya untuk melihat menstruasi sebagai sebuah proses tubuh perempuan yang alami, bukan sesuatu hal yang tabu apalagi perlu dirahasiakan. Setiap perempuan memiliki hak asasi manusia untuk mendapatkan kesehatan, air yang bersih, sanitasi dan pendidikan.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI