Penamaan Revolusi Saffron sendiri diambil dari warna jubah biksu Myanmar yang mirip dengan warna merah dari tanaman rempah Saffron atau dalam bahasa Indonesia disebut Kuma-Kuma.
Hingga sekarang, korban dari Revolusi Saffron masih belum jelas dengan perbedaan jumlah dari berbagai sumber. Salah satunya adalah data menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dimana sekitar 30-40 biksu dan 50-70 warga sipil tewas. Selain itu, sekitar 1.000 orang yang terdiri dari para biksu, aktivis politik, dan masyarakat sipil ditangkap dan diberikan hukuman hingga 75 tahun penjara.
Aung San Suu Kyi
Salah satu kejadian yang menarik ketika Revolusi Saffron terjadi pada 22 September 2007. Saat itu, sekelompok biksu bersama masyarakat berkumpul di depan rumah Aung San Suu Kyi yang saat masih dalam tahanan rumah.Â
Suu Kyi kemudian muncul di depan umum untuk pertama kalinya selama 4 tahun menjadi tahanan rumah untuk memberi hormat dan menerima berkat dari para biksu.
Munculnya Suu Kyi ini kemudian menghebohkan masyarakat sekaligus para biksu. Kejadian ini menjadi kejadian ke-2, setelah kematian seorang biksu, yang meningkatkan partisipasi para biksu dalam demonstrasi tersebut.
Patam nikkujjana kamma
Sebelum Revolusi Saffron, para biksu awalnya tidak pernah ikut serta dalam permasalahan politik Myanmar. Hal tersebut berubah dan Revolusi Saffron menjadi awal dari tanda dari perubahan para biksu.
Sekarang, melihat para biksu yang turun ke jalanan adalah hal yang kerap terjadi di negara yang 90% populasinya beragama Buddha. Bukan hanya ikut mengemukakan pendapat, mereka juga kerap berpartisipasi sekaligus memberikan kontribusi besar dalam perkembangan politik di Myanmar.
Salah satu bentuk protes dari para biksu adalah melalui patam nikkujjana kamma yang berarti "membalikkan mangkuk persembahan". Mereka melakukan boikot terhadap tokoh militer beserta keluarganya yang menurut mereka tidak sesuai dengan ajaran Buddha dan mengancam demokrasi Myanmar.Â
Pemboikotan tersebut dilakukan dengan para biksu yang menolak persembahan sedekah dari tokoh yang mereka boikot. Bukan hanya menolak persembahan, para biksu juga menolak memberikan layanan spiritual kepada tokoh militer.