Mohon tunggu...
Jeni Elkana
Jeni Elkana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku "Hukum Keluarga; Harta-harta Benda dalam Perkawinan" Karya Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum.

12 Maret 2024   17:50 Diperbarui: 12 Maret 2024   18:01 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Review Buku
Hukum Keluarga; Harta-harta Benda dalam Perkawinan
Karya Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum.


Jeni Elkana (222121059)
Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia


Abstrak:
                    Pernikahan merupakan awal dari terciptanya sebuah keluarga kecil baru. Sepasang mempelai berubah statusnya menjadi suami istri ketika terucapnya sebuah ijab qobul. Setelah ijab qobul terucap, mereka sah menjadi pasangan suami istri dimata hukum serta agama. Dan hanya dapat dipisahkan melalui kematian serta perceraian. Berdasarkan pasal 1 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mendefinisikan bahwa dengan terjadi nya sebuah perkawinan secara otomatis pula terjadinya ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, yang bertujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Dengan adanya suatu perkawinan akan merubah status, kedudukan serta akan menimbulkan akibat-akibat hukum, seperti hukum keluarga dan harta benda perkawinan. Kelak kemudian ketika terlahir keturunan yang tak lain adalah anak atau cucu mereka juga akan terkena akibat hukum lainnya, seperti hukum waris, dimana sebagai patokan untuk menentukan warisan bagi masing-masing pihak.
                    Semua permasalahan hukum yang ada di atas telah dijabarkan dalam buku ini, beserta dengan pasal-pasal dari undang-undang serta hukum yang berlaku. Tak hanya permasalahan yang ada di atas, banyak permasalahan lainnya seperti anak di luar perkawinan, bagaimana kedudukan, status, bahkan harta yang akan diterima oleh anak di luar perkawinan tersebut. Dibahas pula faktor-faktor yang menjadi sebab terlahirnya anak di luar perkawinan. Hubungan orang tua dan anak, kewajiban orang tua terhadap anak, serta hak-hak anak dibahas juga di dalam nya. Kesan suatu perkawinan akan menentukan kedudukan hukum, peranan, dan tanggung jawab anak dalam keluarga. Seperti yang diatur dalam pasal 42 sampai pasal 44 dan pasal 55 undang-undang perkawinan.
Kata Kunci: Keluarga, Perkawinan, Hukum, Harta, Anak


Pendahuluan
                    Perkawinan (ta'rif) adalah pernikahan, yakni aqad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah yang dilihat dari hukum Islam menurut pasal 1 Kompilasi Hukum Islam. Melakukan perbuatan ibadah sama saja melaksanakan ajaran agama. Dalam sunnah qauliyah rasul mengatakan barangsiapa yang kawin berarti ia telah melaksanakan separuh lagi, hendaklah ia takwa kepada Allah SWT. Dalam setiap perkawinan tentunya menginginkan terjadinya sebuah keluarga yang harmonis dan sejahtera, di mana keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup yang layak, bertaqwa kepada Tuhan yang maha esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antara keluarga, masyarakat, dan lingkungannya, serta memiliki jumlah anak yang ideal sebagai bentuk perwujudan kesejahteraan lahir dan batin. Sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 36 undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia bahwa kesejahteraan dalam keluarga merupakan suatu hak yang paling mendasar atau merupakan hak asasi. Dengan demikian berdasarkan hal di atas bahwa dalam sebuah perkawinan diperlukannya kekayaan atau harta benda sebagai jalan untuk menuju keluarga sejahtera.
                    Perkawinan yang dianggap sah merupakan perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya ataupun kepercayaannya itu, atau dengan kata lain perkawinan yang tidak sesuai dengan Hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk perkawinan yang tidak sah, sehingga kelak anak-anak yang dilahirkannya pun termasuk anak yang tidak sah pula. Sebaliknya, anak-anak yang terlahir dari sebuah pernikahan yang sah dengan sendirinya akan mempunyai hubungan hukum dengan masing-masing orang tua mereka karena orang tua mereka mempunyai tanggung jawab dan kewajiban kepada anak-anaknya yang telah diatur oleh undang-undang. Berbeda dengan anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah, berdasarkan undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang mengatur kedudukan anak di luar kawin dalam pasal 43 undang-undang perkawinan yaitu anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak yang lahir di luar perkawinan tidaklah seberuntung dengan anak yang lahir dalam perkawinan. Anak yang lahir di luar perkawinan sangat memungkinkan untuk tidak diakui oleh orang tuanya, sehingga tidak pula mendapat sepeserpun dari harta yang dimiliki orang tuanya. Namun walaupun demikian anak luar kawin dapat disahkan dengan perkawinan orang tuanya atau dengan surat pengesahan, sehingga baru memungkinkan untuk mewarisi harta orang tuanya.

Review buku Hukum Keluarga; Harta-harta Benda dalam Perkawinan
Karya : Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum.
Cetakan : Ke-3, Bulan Januari
Tahun Terbit : 2019
Penerbit : Rajawali Pers
Jumlah Hal : 284 halaman
Kota Terbit : Depok
ISBN : 978-602-425-021-8

Buku ini berisi 8 bab, diantaranya sebagai berikut:
1. Pengantar Hukum Perdata Barat
2. Hukum Perkawinan
3. Harta dalam Perkawinan
4. Anak di Luar Perkawinan
5. Harta Anak yang Lahir di Luar Perkawinan
6. Anak yang Lahir Selama Perkawinan
7. Pengangkatan Anak (Adopsi)
8. Hukum Waris


Pembahasan

                    Bab pertama yang dibahas dalam buku ini adalah tentang pengantar hukum perdata barat. Dalam bab ini akan menjelaskan beberapa hal seperti keberlakuan Burgelijk Wetboek, penggolongan Penduduk, subjek hukum, kewarganegaraan, cakap bertindak dalam hukum, dan pengampunan. Pada bab pertama ini masih umum pembahasannya, karena hanya membahas tentang hukum dalam arti yang luas, belum terperinci seperti bab berikutnya. Pada dasarnya sistem hukum perdata yang berlaku di Indonesia beraneka ragam yang artinya sistem hukum perdata yang berlaku itu terdiri dari berbagai macam ketentuan hukum di mana setiap Penduduk mempunyai sistem hukumnya masing-masing. Penggolongan penduduk pada masa Hindia Belanda dibagi menjadi tiga golongan antara lain golongan Eropa golongan Timur asing dan golongan Bumiputera. Subjek hukum adalah setiap pembawa hak dan kewajiban dalam hukum dan memiliki peranan yang penting khususnya hukum keperdataan karena subjek hukum tersebut yang dapat mempunyai wewenang hukum. Status kewarganegaraan di Indonesia dibagi menjadi dua yaitu penduduk dengan status warga negara Indonesia atau WNI dan penduduk dengan status warga negara asing atau WNA. Kata dasarnya setiap orang cakap untuk bertindak dalam hukum kecuali yang tidak dinyatakan cakap oleh undang-undang. Pengampunan adalah suatu keadaan di mana seseorang karena sifat kepribadiannya yang dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala, cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakep maka untuk menjamin dan melindungi haknya, hukum memperkenankan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada di bawah pengampunan.

                   Bab kedua yaitu membahas mengenai hukum perkawinan. Pembahasan dalam bab ini lebih banyak daripada bab yang lain, karena berisikan banyak subbab pembahasan serta terdapat juga contoh akta perjanjian dan perkawinan. Dalam hukum perkawinan tersebut terdapat beberapa pokok bahasan yang dibahas didalamnya, seperti pengertian hukum kekeluargaan di Indonesia, pengertian hukum perkawinan, sumber-sumber hukum perkawinan nasional, asas-asas hukum perkawinan nasional, syarat sahnya perkawinan, hubungan hukum suami dan istri dalam perkawinan, perjanjian perkawinan, akta perjanjian perkawinan, contoh akta perjanjian perkawinan, dan contoh akan perkawinan. Bab dua ini menjabarkan hal-hal yang bukan umum lagi, melainkan lebih terperinci dari pokok bahasan di atas. Terdapat lima unsur dalam perkawinan yaitu:

  • Ikatan lahir batin
  • Antara seorang pria dengan seorang wanita
  • Sebagai suami istri
  • Membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
  • Berdasarkan ketuhanan yang maha esa.

Perkawinan sendiri dapat dilihat dari tiga sudut pandang yaitu perkawinan dari segi hukum, perkawinan dilihat dari segi sosial, serta perkawinan dilihat dari segi agama. Dalam undang-undang perkawinan terdapat asas-asas atau prinsip sebagai berikut:

  • Asas perkawinan kekal.
  • Asas perkawinan menurut hukum agama atau kepercayaan agamanya.
  • Asas perkawinan terdaftar.
  • Asas perkawinan monogami.
  • Perkawinan didasarkan pada pasukan relaan atau kebebasan berkehendak atau tanpa paksaan.
  • Keseimbangan hak dan kedudukan suami istri.
  • Asas tidak mengenal perkawinan poliandri.
  • Asas sukar terjadinya perceraian.

                   Pada bab ke tiga membahas materi harta dalam perkawinan. Dalam materi harta dalam perkawinan terdapat pokok bahasan seperti pengertian harta dalam perkawinan, halte bersama, harta bawaan, perbedaan harta bersama dan harta bawaan dalam perkawinan, hadiah dan hibah, serta pengurusan harta dalam perkawinan. Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk kelangsungan hidup suatu keluarga diperlukan harta untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan mewujudkan keluarga yang sejahtera. Harta dalam perkawinan digolongkan menjadi tiga, yaitu:

1. Harta bersama (Pasal 35 ayat 1) UU perkawinan.

2. Harta bawaan yang dibedakan atas harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta kawan yang diperoleh dari hadiah atau warisan (pasal 35 ayat 2) undang-undang perkawinan.

3. Harta yang berasal dari hibah atau warisan.

Pengurusan harta kekayaan perkawinan dalam KUH perdata didasarkan pada pengaturan maritale macht, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 105 KUH perdata yang menentukan "bahwa suami adalah persekutuan suami istri sedangkan istri harus taat dan patuh kepada suaminya" (pasal106 KUH perdata). Asas maritale macht mengakibatkan suami berwenang mengelola sebagian besar harta kekayaan.

                   Bab yang keempat membahas mengenai anak di luar perkawinan. Di mana dalam bab ini menjelaskan mengenai latar belakang seorang anak dapat lahir di luar perkawinan atau tanpa adanya ikatan perkawinan, didalamnya juga dijelaskan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan di luar nikah seperti faktor cinta, faktor mau sama mau, faktor tuntutan biologis atau mencari kepuasan semata, serta faktor ekonomi, dibahas juga permasalahan yang timbul akibat hubungan di luar nikah tersebut. Bahasan selanjutnya yang akan dibahas dalam bab ini yaitu mengenai anak luar kawin. Anak luar kawin berdasarkan kitab undang-undang hukum perdata pasal 280 jo Pasal 836 KUH Perdata bahwa anak luar kawin berpotensi sempit untuk mempunyai hak mewarisi. Kedudukan dan pengakuan anak yang lahir diluar perkawinan pada dasarnya tidak mungkin untuk diakui namun menurut undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan kedudukan anak luar kawin demi hukum memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya (pasal 43 ayat 1). Status hukum anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya. Di akhir bab ini terdapat analisis keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap anak luar kawin dalam perspektif kitab undang-undang hukum perdata dan kompilasi hukum Islam. Kesimpulan dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain yang menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dan keluarga ayahnya.

                   Materi yang dibahas pada bab 5 yaitu harta anak yang lahir di luar perkawinan. Yang dibahas pada bab 5 ini tidaklah banyak hanya dua pembahasan yaitu yang pertama mengenai kedudukan anak keluarga dalam pewarisan, pada dasarnya anak yang lahir diluar perkawinan tidak dapat mewarisi namun ada pula yang dapat mewarisi semua itu tergantung pada pengelompokannya jadi tidak bisa disimpulkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak bisa sama sekali mewarisi namun hanya saja mempunyai potensi kecil untuk mewarisi. Bahasan berikutnya yaitu mengenai pengurusan harta warisan anak yang lahir di luar pernikahan, dapat diurus oleh notaris dengan perjanjian yang dapat digunakan apabila dapat membuat ketentuan seperti akta pembatalan, apa perdamaian, serta akta perjanjian pelepasan hak tuntutan.

                   Kemudian adalah anak yang lahir selama perkawinan yang akan dijelaskan pada bab 6 ini. Sama seperti sebelumnya pembahasan yang dibahas pada bab ini tidaklah banyak hanya dua pembahasan yaitu pengertian serta hubungan hukum orang tua dan anak saja. Namun pada poin hubungan hukum orang tua dan anak dijelaskan lebih rinci yaitu mengenai kedudukan hukum anak, kewajiban orang tua terhadap anak, hak-hak anak yang juga disertakan dengan banyak pasal-pasal didalamnya. Orang tua memiliki kewajiban hukum sebagai perwujudan tanggung jawab terhadap anaknya untuk membiayai kehidupan sandang, pangan, dan pendidikan selama anak-anak tersebut masih belum dewasa. Kewajiban tersebut termasuk kewajiban normatif yang bersifat memaksa yang berarti tidak boleh dilepaskan dari kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya. Telah diatur pada pasal 2 sampai 8 undang-undang nomor 4 Tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak. Secara umum anak berhak mendapatkan kesejahteraan, asuhan, perawatan, dan bimbingan dengan kasih sayang, baik yang didapat dalam keluarganya ataupun asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. Berdasarkan hukum Islam seorang ibu jauh lebih berhak terhadap pengasuhan anak daripada seorang ayah, dan berlaku sejak anak itu dilahirkan. Batas membesarkan anak berdasarkan kompilasi hukum Islam yaitu sampai anak usia dewasa atau mampu berdiri sendiri adalah waktu umur 21 tahun, selama Anak itu tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah menikah.

                   Bab yang ke tujuh berisikan tentang pengangkatan anak atau adopsi. Di dalamnya terdapat pokok-pokok bahasan seperti pengertian pengangkatan anak, dasar hukum dari pengangkatan anak, akibat hukum dari pengangkatan anak, syarat adopsi, kriteria motivasi pengangkatan anak, hukum Islam dan pengangkatan anak, ketentuan pengangkatan anak berdasarkan peraturan pemerintahan nomor 54 tahun 2007 tentang pelaksanaan dan pengangkatan anak serta peraturan organisasi yang nomor 110/Huk/2009 tentang persyaratan pengangkatan anak dan contoh akta pengangkatan anak. Pihak yang terlibat dalam pengangkatan anak adalah sebagai berikut:

  • Pihak orang tua kandung, yang menyediakan anaknya untuk diangkat oleh orang lain.
  • Pihak orang tua baru, yang mengangkat anak.
  • Hakim atau petugas lain yang berwenang mengesahkan pengangkatan anak.
  • Pihak perantara, yang dapat secara individual atau kelompok (badan atau organisasi).
  • Pembuatan undang-undang yang merumuskan ketentuan pengangkatan anak dalam peraturan perundang-undangan.
  • Anggota keluarga masyarakat lain, yang mendukung atau menghambat pengangkatan.
  • Anak yang diangkat, yang tidak dapat menghindarkan diri dari perlakuan yang menguntungkan atau merugikan dirinya.

Terdapat juga kriteria dalam penangkapan anak di Indonesia yaitu:

  • Karena tidak mempunyai anak
  • Karena merasa kasihan terhadap anak-anak tersebut, karena orang tuanya tidak mampu memberikan nafkah.
  • Karena belas kasihan di mana anak tersebut tidak mempunyai orang tua.
  • Karena hanya mempunyai anak laki-laki dan menginginkan anak perempuan ataupun sebaliknya.
  • Sebagai pemancing bagi yang belum punya anak untuk dapat mempunyai anak kandung sendiri.
  • Untuk menambah jumlah keluarga, terjadi karena mempunyai banyak kekayaan.
  • Bertujuan agar anak yang diangkat mendapat pendidikan yang baik.
  • Karena faktor kekayaan.
  • Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan pewaris bagi yang tidak mempunyai anak kandung.
  • Adanya hubungan keluarga.
  • Diharapkan agar anak yang diangkat tersebut dapat memberi pertolongan di hari tua dan menyambung keturunan bagi yang tidak punya anak.
  • Rasa kasihan karena anak tersebut terlantar dan tidak diurus orang tuanya.
  • Sebagai upaya untuk mempererat hubungan keluarga.
  • Karena anak kandung sakit-sakitan atau selalu meninggal dunia, maka anak tersebut diberikan kepada keluarga lain dengan harapan anak tersebut dapat selalu sehat dan panjang usia.

Menurut agama Islam sendiri boleh-boleh saja untuk mengangkat seorang anak. Apalagi dengan tujuan untuk menolong sebagai sesama manusia. Adapun syarat calon anak yang dapat diangkat berdasarkan ketentuan dari pasal 4 Peraturan menteri Sosial nomor 110/Huk/2009 tentang persyaratan pengangkatan anak yaitu:

  • Anak yang belum berusia 18 tahun.
  • Merupakan anak terlantar atau yang ditelantarkan.
  • Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak.
  • Memerlukan perlindungan khusus.

                   Bab yang terakhir atau bab 8 membahas tentang hukum waris. Dalam menjabarkan hukum waris, dijelaskan pula mengenai hukum waris perdata (BW), hukum waris dalam Islam, dan hukum waris adat. Pada dasarnya hukum waris adalah suatu hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang telah meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Sebuah pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi persyaratan sebagai berikut:

  • Ada seseorang yang meninggal dunia.
  • Ada seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal.
  • Adanya sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.

Hukum waris dalam Islam berarti aturan yang mengatur peralihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya, Hal tersebut berarti menentukan juga siapa yang akan menjadi ahli waris, hingga menentukan bagian dari harta warisan untuk tiap-tiap ahli waris. Terdapat unsur hukum waris Islam dalam hukum kewarisan masyarakat muslim Indonesia:

  • Pewaris, adalah orang yang pada saat meninggalnya masih beragama Islam dan meninggalkan harta bagi ahli waris yang masih hidup.
  • Harta warisan, adalah segala harta yang dimiliki oleh pewaris yang kelak akan diwariskan kepada ahli warisnya.
  • Ahli waris, adalah seorang yang berhak menerima warisan karena adanya hubungan nasab atau hubungan perkawinan dengan pewaris, harus beragama Islam dan tidak boleh terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Kelebihan

                   Kelebihan yang ada dalam buku ini menurut saya yaitu dalam pembahasannya tidak hanya mengambil dari satu sudut pandang saja, melainkan menggunakan sudut pandang dari hukum positif dan sudut pandang dari hukum Islam.

                    Menurut saya isi yang dalam buku sudah sangat lengkap, sehingga dapat membantu para pembaca, terkhususnya bagi orang yang memiliki masalah tentang keluarga untuk menemukan solusi dari masalah hukum yang dikeluhkannya, baik dari sudut pandang hukum Islam maupun hukum positif.

Kekurangan

                    Kekurangan yang ada dalam buku ini menurut saya adalah tidak benar-benar ada pengertian dari beberapa judul sub bab, contohnya seperti terdapat judul "pengertian hukum kekeluargaan di Indonesia" namun isi yang dimuatnya tidak ada pengertian khusus untuk hukum kekeluargaan di Indonesia, melainkan pengertian lain yang dibahas. Sehingga saat membaca buku ini kita dituntut untuk menganalisa sendiri pengertian yang ingin dicari dengan membaca keseluruhan isi sub bab yang berkaitan.

                   Menurut saya penataan isi sub bab dari setiap bab tidak rapi, dan terkesan acak-acakan, sehingga bagi orang awan mungkin akan kesulitan untuk mencerna maksud dari sebuah bab tersebut.


Kesimpulan

                    Buku yang berjudul "Hukum Keluarga; Harta-harta Benda dalam Perkawinan" ini berisi mengenai hukum keluarga dan perkawinan, namun sebelum memasuki pembahasan inti, penulis menjelaskan terlebih dahulu mengenai ihwal hukum perdata secara singkat. Barulah setelah itu penulis menjelaskan apa itu pengertian hukum keluarga dan hukum perkawinan serta hal-hal yang sehubungan dengannya. Kemudian penulis melanjutkan dengan membahas tentang harta dalam perkawinan, anak yang lahir diluar perkawinan, serta herta anak yang lahir di luar perkawinan tersebut. Selanjutnya membahas tentang anak yang lahir selama perkawinan dan pengangkatan anak. Pada bagian akhir penulis memaparkan mengenai hukum waris yang meliputi hukum waris perdata (BW), hukum waris dalam Islam beserta hukum waris adat.

Penulis:

Jeni Elkana (222121059)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun