Mohon tunggu...
Jeni Elkana
Jeni Elkana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku "Hukum Keluarga; Harta-harta Benda dalam Perkawinan" Karya Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum.

12 Maret 2024   17:50 Diperbarui: 12 Maret 2024   18:01 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pengurusan harta kekayaan perkawinan dalam KUH perdata didasarkan pada pengaturan maritale macht, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 105 KUH perdata yang menentukan "bahwa suami adalah persekutuan suami istri sedangkan istri harus taat dan patuh kepada suaminya" (pasal106 KUH perdata). Asas maritale macht mengakibatkan suami berwenang mengelola sebagian besar harta kekayaan.

                   Bab yang keempat membahas mengenai anak di luar perkawinan. Di mana dalam bab ini menjelaskan mengenai latar belakang seorang anak dapat lahir di luar perkawinan atau tanpa adanya ikatan perkawinan, didalamnya juga dijelaskan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan di luar nikah seperti faktor cinta, faktor mau sama mau, faktor tuntutan biologis atau mencari kepuasan semata, serta faktor ekonomi, dibahas juga permasalahan yang timbul akibat hubungan di luar nikah tersebut. Bahasan selanjutnya yang akan dibahas dalam bab ini yaitu mengenai anak luar kawin. Anak luar kawin berdasarkan kitab undang-undang hukum perdata pasal 280 jo Pasal 836 KUH Perdata bahwa anak luar kawin berpotensi sempit untuk mempunyai hak mewarisi. Kedudukan dan pengakuan anak yang lahir diluar perkawinan pada dasarnya tidak mungkin untuk diakui namun menurut undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan kedudukan anak luar kawin demi hukum memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya (pasal 43 ayat 1). Status hukum anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya. Di akhir bab ini terdapat analisis keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap anak luar kawin dalam perspektif kitab undang-undang hukum perdata dan kompilasi hukum Islam. Kesimpulan dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain yang menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dan keluarga ayahnya.

                   Materi yang dibahas pada bab 5 yaitu harta anak yang lahir di luar perkawinan. Yang dibahas pada bab 5 ini tidaklah banyak hanya dua pembahasan yaitu yang pertama mengenai kedudukan anak keluarga dalam pewarisan, pada dasarnya anak yang lahir diluar perkawinan tidak dapat mewarisi namun ada pula yang dapat mewarisi semua itu tergantung pada pengelompokannya jadi tidak bisa disimpulkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak bisa sama sekali mewarisi namun hanya saja mempunyai potensi kecil untuk mewarisi. Bahasan berikutnya yaitu mengenai pengurusan harta warisan anak yang lahir di luar pernikahan, dapat diurus oleh notaris dengan perjanjian yang dapat digunakan apabila dapat membuat ketentuan seperti akta pembatalan, apa perdamaian, serta akta perjanjian pelepasan hak tuntutan.

                   Kemudian adalah anak yang lahir selama perkawinan yang akan dijelaskan pada bab 6 ini. Sama seperti sebelumnya pembahasan yang dibahas pada bab ini tidaklah banyak hanya dua pembahasan yaitu pengertian serta hubungan hukum orang tua dan anak saja. Namun pada poin hubungan hukum orang tua dan anak dijelaskan lebih rinci yaitu mengenai kedudukan hukum anak, kewajiban orang tua terhadap anak, hak-hak anak yang juga disertakan dengan banyak pasal-pasal didalamnya. Orang tua memiliki kewajiban hukum sebagai perwujudan tanggung jawab terhadap anaknya untuk membiayai kehidupan sandang, pangan, dan pendidikan selama anak-anak tersebut masih belum dewasa. Kewajiban tersebut termasuk kewajiban normatif yang bersifat memaksa yang berarti tidak boleh dilepaskan dari kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya. Telah diatur pada pasal 2 sampai 8 undang-undang nomor 4 Tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak. Secara umum anak berhak mendapatkan kesejahteraan, asuhan, perawatan, dan bimbingan dengan kasih sayang, baik yang didapat dalam keluarganya ataupun asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. Berdasarkan hukum Islam seorang ibu jauh lebih berhak terhadap pengasuhan anak daripada seorang ayah, dan berlaku sejak anak itu dilahirkan. Batas membesarkan anak berdasarkan kompilasi hukum Islam yaitu sampai anak usia dewasa atau mampu berdiri sendiri adalah waktu umur 21 tahun, selama Anak itu tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah menikah.

                   Bab yang ke tujuh berisikan tentang pengangkatan anak atau adopsi. Di dalamnya terdapat pokok-pokok bahasan seperti pengertian pengangkatan anak, dasar hukum dari pengangkatan anak, akibat hukum dari pengangkatan anak, syarat adopsi, kriteria motivasi pengangkatan anak, hukum Islam dan pengangkatan anak, ketentuan pengangkatan anak berdasarkan peraturan pemerintahan nomor 54 tahun 2007 tentang pelaksanaan dan pengangkatan anak serta peraturan organisasi yang nomor 110/Huk/2009 tentang persyaratan pengangkatan anak dan contoh akta pengangkatan anak. Pihak yang terlibat dalam pengangkatan anak adalah sebagai berikut:

  • Pihak orang tua kandung, yang menyediakan anaknya untuk diangkat oleh orang lain.
  • Pihak orang tua baru, yang mengangkat anak.
  • Hakim atau petugas lain yang berwenang mengesahkan pengangkatan anak.
  • Pihak perantara, yang dapat secara individual atau kelompok (badan atau organisasi).
  • Pembuatan undang-undang yang merumuskan ketentuan pengangkatan anak dalam peraturan perundang-undangan.
  • Anggota keluarga masyarakat lain, yang mendukung atau menghambat pengangkatan.
  • Anak yang diangkat, yang tidak dapat menghindarkan diri dari perlakuan yang menguntungkan atau merugikan dirinya.

Terdapat juga kriteria dalam penangkapan anak di Indonesia yaitu:

  • Karena tidak mempunyai anak
  • Karena merasa kasihan terhadap anak-anak tersebut, karena orang tuanya tidak mampu memberikan nafkah.
  • Karena belas kasihan di mana anak tersebut tidak mempunyai orang tua.
  • Karena hanya mempunyai anak laki-laki dan menginginkan anak perempuan ataupun sebaliknya.
  • Sebagai pemancing bagi yang belum punya anak untuk dapat mempunyai anak kandung sendiri.
  • Untuk menambah jumlah keluarga, terjadi karena mempunyai banyak kekayaan.
  • Bertujuan agar anak yang diangkat mendapat pendidikan yang baik.
  • Karena faktor kekayaan.
  • Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan pewaris bagi yang tidak mempunyai anak kandung.
  • Adanya hubungan keluarga.
  • Diharapkan agar anak yang diangkat tersebut dapat memberi pertolongan di hari tua dan menyambung keturunan bagi yang tidak punya anak.
  • Rasa kasihan karena anak tersebut terlantar dan tidak diurus orang tuanya.
  • Sebagai upaya untuk mempererat hubungan keluarga.
  • Karena anak kandung sakit-sakitan atau selalu meninggal dunia, maka anak tersebut diberikan kepada keluarga lain dengan harapan anak tersebut dapat selalu sehat dan panjang usia.

Menurut agama Islam sendiri boleh-boleh saja untuk mengangkat seorang anak. Apalagi dengan tujuan untuk menolong sebagai sesama manusia. Adapun syarat calon anak yang dapat diangkat berdasarkan ketentuan dari pasal 4 Peraturan menteri Sosial nomor 110/Huk/2009 tentang persyaratan pengangkatan anak yaitu:

  • Anak yang belum berusia 18 tahun.
  • Merupakan anak terlantar atau yang ditelantarkan.
  • Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak.
  • Memerlukan perlindungan khusus.

                   Bab yang terakhir atau bab 8 membahas tentang hukum waris. Dalam menjabarkan hukum waris, dijelaskan pula mengenai hukum waris perdata (BW), hukum waris dalam Islam, dan hukum waris adat. Pada dasarnya hukum waris adalah suatu hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang telah meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Sebuah pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi persyaratan sebagai berikut:

  • Ada seseorang yang meninggal dunia.
  • Ada seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal.
  • Adanya sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.

Hukum waris dalam Islam berarti aturan yang mengatur peralihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya, Hal tersebut berarti menentukan juga siapa yang akan menjadi ahli waris, hingga menentukan bagian dari harta warisan untuk tiap-tiap ahli waris. Terdapat unsur hukum waris Islam dalam hukum kewarisan masyarakat muslim Indonesia:

  • Pewaris, adalah orang yang pada saat meninggalnya masih beragama Islam dan meninggalkan harta bagi ahli waris yang masih hidup.
  • Harta warisan, adalah segala harta yang dimiliki oleh pewaris yang kelak akan diwariskan kepada ahli warisnya.
  • Ahli waris, adalah seorang yang berhak menerima warisan karena adanya hubungan nasab atau hubungan perkawinan dengan pewaris, harus beragama Islam dan tidak boleh terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Kelebihan

                   Kelebihan yang ada dalam buku ini menurut saya yaitu dalam pembahasannya tidak hanya mengambil dari satu sudut pandang saja, melainkan menggunakan sudut pandang dari hukum positif dan sudut pandang dari hukum Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun