Ketiga, bahagiakan kurikulum. Lihat India, negara yang menggagas dan menerapkan kurikulum kebahagiaan. Negara tersebut mencatat antara 2014 dan 2016 terdapat lebih dari 26.000 siswanya melakukan bunuh diri, sekitar 30 % di antaranya memutuskan bunuh diri karena gagal ujian.Â
Menjawab aib pendidikan tersebut, kebijakan "Kurikulum Kebahagiaan" dijalankan oleh Pemerintah Delhi sejak Juli 2018 untuk anak-anak kelas satu hingga delapan. Lihatlah, betapa mengerikan dampak kurikulum yang tidak membahagiakan.
Belum ada data pasti mengenai jumlah angka bunuh diri anak didik yang murni disebabkan oleh ujian di Indonesia. Namun untuk membahagiakan kurikulum di negeri ini tak perlu menunggu bahkan satu nyawapun hilang karena ujian.
"Mengejar kebahagiaan sebagai tujuan fundamental manusia" sebagai resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2011 harus kita upayakan. Pendidikan berkualitas dengan membahagiakan sekolah tak bisa lagi ditawar.
Pada tahun 2012, Program for International Student Assessment (PISA) telah memasukkan indikator kebahagiaan siswa dalam penilaian. Padahal mengacu  pada rilis PISA terbaru tahun 2018, Indonesia masih bertahan di papan bawah (Tohir, 2019).
Berdasarkan hasil tersebut, apakah siswa kita telah menemukan kebahagiaan di sekolah? Jangan malu tiru India, Kemendikbud bisa segera mengumpulkan para pakar maupun ahli pendidikan untuk merumuskan sebuah kurikulum yang membahagiakan.
Jelas sudah bahwa membahagiakan sekolah adalah membahagiakan Indonesia. Dari sekolah yang bahagia akan muncul generasi yang mampu berkopetisi dan juga beradaptasi dengan baik dengan segala perubahan kondisi. Generasi unggul nan bahagia inilah yang nanti akan membawa bendera kejayaan bangsa ini. Nah, siapkah kita membahagiakan sekolah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H