Kekerasan yang dilakukan oleh "guru tidak bahagia" bukanlah perkara sepele. Kekerasan bisa memunculkan ketidak-bahagiaan dan trauma psikologis pada anak didik. Sebagai korban, mereka akan menyimpan dendam terhadap guru, makin kebal terhadap hukuman, serta cenderung melampiaskan kemarahan dan agresi terhadap siswa lain yang dianggap lemah.
Hasil penelitian yang dilakukan UNICEF pada tahun 2006 pada beberapa daerah di Indonesia menemukan bahwa sekitar 80% kekerasan yang terjadi pada anak didik dilakukan oleh guru.
Fenomena sama juga ditemukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada tahun 2008 dimana trend kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak didik mengalami peningkatan. Guru sebagai pelaku kekerasan meningkat menjadi 39 % pada tahun 2008 padahal tahun sebelumnya hanya 11,8 %.
Data mutakhir bisa jadi lebih mengenaskan atau bahkan jauh lebih sedikit. Namun sesedikit apapun, kekerasan oleh guru akan menjadikan sekolah sebagai tempat yang tidak membahagiakan.
Sayangnya, hingga kini cukup banyak guru yang menilai bahwa cara kekerasan masih efektif untuk mengendalikan anak didik. Mereka mengaitkan kekerasan dengan kedisiplinan. Kewibawaan guru dikaitkan dengan ketakutan anak didik dengan mengunakan model pendidikan ala militer yang sarat kekerasan. Guru-guru seperti ini harus dibahagiakan!
Namun, membahagiakan guru tidak bisa dilakukan melalui faktor ekternal semacam besarnya gaji, tingginya tunjangan, fasilitas melimpah, atau bahkan hukuman berat sekalipun. Motivasi berubah harus muncul dari dalam. Seorang guru harus bisa membahagiakan dirinya sendiri, sehingga pembelajaran menjadi membahagiakan, dari situlah guru akan mampu mengubah dunia.
Kedua, membahagiakan anak didik. Bagi anak didik, sekolah yang membahagiakan adalah sekolah yang menganggap mereka sebagai subyek. Mereka dianggap sebagai individu yang dihargai haknya dan dianggap sebagai manusia yang unik serta berkemampuan khusus.
Mereka diarahkan untuk menjadi dirinya sendiri dan bukan menjadi jiplakan siapapun. Anak didik juga dipahamkan bahwa mereka adalah sepenggal narasi yang mempengaruhi sebuah kisah sosial yang lebih besar.
Membahagiakan anak didik bisa dilakukan melalui pembelajaran yang memberikan keleluasaan untuk kritis tanpa  ada tekanan sehingga mereka merasa bahagia dalam proses belajarnya. Sekolah harus menghindarkan memperlakukan anak didik sebagai objek yang akan menyebabkan proses pendidikan di sekolah membatu menjadi institusi formal tanpa jiwa.
Tempat tak berjiwa, hanya ada relasi kekuasaan monologis guru terhadap murid. Tidak ada ruang-ruang sela untuk meluaskan imajinasi, kreatifitas, inovasi, pikiran-pikiran kritis, dan perkembangan alami anak. Sekolah menjadi tempat pengasingan anak terhadap dirinya sendiri dan juga lingkungan sosio-kultural sekitarnya.
Anak adalah makhluk yang unik penuh dengan misteri, masa depanya penuh dengan teka teki. Tidak ada satupun guru dan orang tua di dunia ini dapat memprediksi secara akurat anak-anaknya akan menjadi apa dan seperti apa. Namun sekolah yang membahagiakan akan membuat mereka menjadi yang terbaik, apapun dan dimanapun mereka akan menjadi.