Mohon tunggu...
Jenda Munthe
Jenda Munthe Mohon Tunggu... -

Seorang jurnalis di salah satu media komunitas di Jakarta. Pernah menjalankan media dengan lingkup pemasaran di Jakarta sewaktu masih kuliah. Harus diakui bahwa menulis Fiksi terkadang lebih membuat saya larut dalam tulisan saya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Surat dari Umar untuk Icha

8 April 2011   03:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:01 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Adakah yang tahu tangisanku saat ini

Tangisanku yang datang karena mengingat betapa indahnya bersamamu

Indahnya setiap keping kenangan itu, bersamamu

Sejak awal aku bertemu denganmu

Tidak butuh waktu yang panjang untuk membuatku suka padamu

Tidak butuh banyak pertemuan juga untuk membuat aku semakin menggilaimu

Rasa itu begitu cepat merasuk dalam setiap sendi jiwaku

Rasa yang begitu besar dan begitu tak mampu ku kuasai

Aku dan kamu menjadi satu dan saling mengerti lalu mencintai

Ya, karena rasa itu, rasa yang begitu cepat dan tak ku mengerti

Aku dan kamu pun menjadi satu dalam ikatan suci

Aku begitu membanggakanmu

Memuliakan cinta dengan hatiku

Karena kamu yang aku temui dalam singkat waktu

Begitu aku menyayangimu

Namun sampai suatu waktu cahaya sejati memburamkan bayang tentang cinta kita

Ternyata kau dan aku tak semestinya saling mencinta

Aku pria dan kau lelaki juga

Betapa aku terkejut akan kisah nyata yang tak aku sangka

Kau tak pantas untukku dan aku pun begitu

Seolah aku tersadarkan dari mimpi indah lalu tidur dalam rumput berduri

Tubuhku pun seolah bermandikan asam dan juga penuh luka biru

Begitu sakit sungguh sampai ke dalam setiap inci di tubuhku

Adakah rasa yang ku punya juga kau miliki

Rasa dimana aku begitu sayang kepadamu

Apakah kau sungguh pernah mengingini diriku

Seperti aku selalu merinduhkan desah nafasmu

Ataukah kau memang sedang menikmati permainanmu

Permainan dengan belati tajam di setiap inci hatiku

Kau tertawa dan puas di atas lukaku yang membusuk biru

Seolah kau mengisap aku dan memuntahkanku sesukamu

Taukah kau kini aku sendiri

Menahan sakit, perih, kecewa, marah dan malu

Melewati setiap detik dengan teriakan mendalam di dalam hatiku

Dengan nanah yang mengalir deras dari tubuhku yang penuh lubang

Ah mana ada kau peduli itu

Merekapun begitu

Karena mereka pasti hanya akan tertawa dan mencibir aku

Kalaupun ada, paling tidak mereka hanya mengiba

Itulah yang membuat luka ini semakin menggila

Aku tak bisa meluapkan setiap bagian apa yang ku rasa

Aku hanya bisa menahan semuanya

Karena bagaimana mungkin aku mengadukan hal ini kepada siapa

Aku hanya menanggung semua dengan semampu aku bisa

Walau perih, pahit, begitu sungguh meraja

Aku tak kuasa

Aku tahan marahku padamu yang mempermainkan aku

Aku tahan sedihku kehilanganmu

Aku tahan kecewaku atas matinya harapanku

Mau marah, pada siapa selain pada bodohku

Lantas apakah yang aku rasa

Apa memang cinta

Apa pantas aku mencintaimu

Lalu kalau bukan cinta, itu apa

Rasa itu memang ada, namun kini jadi tak semestinya ada

Kalau memang ada yang mengatur dan memberi cinta kepada manusia

Apakah yang kualami ini bagian dari cerita cinta yang harus aku terima

Dimana ritual yang aku anggap suci telah mengikatnya selama enam bulan lamanya

Kenapa aku menjadi bagian dari panggung hina ini

Aku tak tahu

Kini aku hanya bisa menunggu sesuatu datang dan meremukkan setiap penggalan dalam memoriku

Kepada mantan istriku Icha

UMAR

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun