Mohon tunggu...
Media Literasi Kita
Media Literasi Kita Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Media Literasi Kita berfokus pada penyebaran bacaan yang baik untuk masyarakat Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Siswa-Siswi Sudah Bosan Sejak Kali Pertama Masuk Kelas

5 Januari 2024   16:15 Diperbarui: 5 Januari 2024   16:19 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini tahun ketujuh saya mengajar di pondok sejak 2016 lalu---tahun di mana saya menyerah beralasan kepada ibu saya supaya tidak melanjutkan studi di perguruan tinggi dan akhirnya malah diterima di Jurusan Sastra Indonesia UNY. Dan sebagaimana pengalaman-pengalaman lain dalam hidup, kesan dari pengalaman pertama kali saya mengajar begitu membekas.

Ketika itu, jika boleh memilih, sebetulnya saya ingin terus mengaji dulu agar lebih siap. Tapi, itu jelas saya pendam dan tidak saya sampaikan sebab tak berani menolak perintah guru saya. Dan betapa kagetnya saya ketika tahu bahwa adik-adik yang musti saya dampingi belajar di kelas hampir seratus orang. Saya tertegun mengetahuinya, banyak sekali. Ditambah lagi, usia mereka beragam, mulai dari kelas 1 tsanawiyyah---santri baru yang notabene masih belum betah dan masih kerap menangis---hingga santri di kelas 3 aliyah yang kerap sudah merasa paling senior. Terus terang, saya gentar.

Untungnya, mata pengajian yang saya ajar saat itu tergolong pelajaran dasar. Saya mengajar Pegon---bahasa Jawa yang ditulis dalam aksara Arab yang biasa dipakai untuk memaknai kitab yang dikaji dan dibacakan oleh pengampunya. Itu sungguh menguntungkan saya sebab saya sudah cukup menguasainya dan tidak perlu bekerja keras dalam menyiapkan materi ajar.

Singkat cerita, saya masuk kelas, menyampaikan materi, begitu seterusnya hingga seiring berjalannya waktu menyadari hal menyebalkan dari menjadi guru: Tidak diperhatikan sewaktu menerangkan. Betapa beratnya menjadi ikhlas. Saat menjelaskan atau menulis contoh di papan tulis, misalnya, lalu melihat adik saya ada yang tidur atau berbicara sendiri dengan kawannya, rasanya saya ingin menjadi Iron Man dan menembakkan laser di jidatnya. Meski demikian, kenyataan bahwa saya tidak bisa melakukannya justru terasa lebih berat lagi. Saya musti bersabar dan menahan diri. Sulit sekali.

Kesadaran tersebut membuat saya teringat pada keterangan guru saya bahwa -- materi merupakan hal yang penting. Walakin, -- metode adalah lebih penting. Saya pun menautkannya dengan dugaan bahwa barangkali cara saya mengajar adalah lebih penting ketimbang apa yang saya ajarkan. Dalam menyampaikan materi Pegon, saya bisa saja merujuk ke buku acuan X, Y, Z. Namun begitu, cara saya menyampaikannyalah yang pada akhirnya lebih menentukan keberhasilan pembelajaran.

Teringat pula saya pada pengalaman semasa SMA, masa di mana saya sama sekali tidak tertarik sekolah karena merasa bahwa segala tentangnya terasa membosankan. Tak ada minat dalam diri saya untuk mempelajari pelajaran apa pun. Jangankan mempelajari, memperhatikan guru menerangkan di kelas saja saya enggan. Memikirkan itu, saya jadi merasa berdosa sendiri sebab membayangkan bahwa barangkali guru-guru saya dulu sungguh menahan diri supaya tidak menjitak kepala saya akibat kelakuan saya di kelas.

Saya pun melakukan refleksi dan berusaha lebih memperhatikan pembawaan diri serta cara saya mengajar. Saya berusaha tidak lagi sekadar masuk kelas, mengabsen, menjelaskan materi, dan bertanya apakah ada bagian yang tidak dipahami. Dalam bayangan saya, cara tersebut begitu membosankannya, begitu tidak menariknya, begitu tidak membangkitkan keingintahuan adik-adik saya.

Seiring berjalannya waktu pula, di mata pelajaran apa pun yang diamanahkan kepada saya, saya mulai untuk tidak sebatas menganggap bahwa tanggung jawab saya adalah menyiapkan materi, melainkan juga bagaimana cara penyampaian yang menarik dan efektif. Berkaitan dengan hal ini, saya bersyukur sebab pernah menonton beberapa film tentang sosok guru aneh yang dapat saya jadikan rujukan.

Fim Taare Zameen Par-Susy
Fim Taare Zameen Par-Susy
Yang pertama, tentu, adalah Taare Zameen Par (2007), film India yang menceritakan bocah pengidap disleksia yang oleh semua penghuni sekolahan dianggap bodoh tak ketulungan. Walakin, nasibnya berubah tatkala seorang guru baru datang dan masuk kelas dengan cara yang mencengangkan.

Pak Guru Baru, alih-alih masuk dan duduk di meja guru layaknya pengajar pada umumnya, datang dengan mengenakan kostum badut. Pak Guru Baru datang dengan mengenakan kostum badut dan bernyanyi dan menari. Pak Guru Baru datang dengan mengenakan kostum badut dan bernyanyi dan menari dan seisi kelas bahagia.

Cara masuk Pak Guru Baru itu, dalam amatan saya, menggoncang kesadaran si bocah disleksia bahwa belajar bisa tidak semembosankan itu. Dengan pembawaannya, Pak Guru Baru akhirnya dapat mengantarkan si bocah disleksia untuk menemukan cara belajarnya sendiri hingga akhirnya lulus dengan predikat terbaik.

Saya menangis sewaktu menonton film tersebut karena memang beberapa adegannya mengandung kadar bawang merah yang tinggi. Meski begitu, saya juga masih terenyuh ketika kemudian menonton The Big Brother (2018) yang dibintangi aktor idola saya, Donnie Yen. Bercerita tentang alumni yang kembali ke sekolah lamanya untuk mengajar, film tersebut menunjukkan kepada saya tentang bagaimana sosok guru keren itu.

Mendapat jatah mengajar di kelas neraka, Pak Guru Donnie berjalan tenang memasuki kelas dan tersenyum melihat kelakuan murid-muridnya yang serba urakan. Tapi, Pak Guru Donnie punya caranya sendiri untuk mengatasinya: Melontarkan kapur dengan karet ke saluran air untuk menanggulangi kebakaran. Air muncrat, membasahi semuanya, seisi kelas kuyup dan gaduh, dan---lagi-lagi---Pak Guru Donnie hanya tersenyum melihatnya.

Di akhir film, lagu "7 Years" Lukas Graham begitu pas mengiringi adegan di mana semua murid-murid di kelasnya semangat mengikuti tes seleksi memasuki perguruan tinggi tanpa terkecuali. Saya puas menontonnya sebab Pak Guru Donnie, yang dulu ketika remaja tak lebih dari berandalan yang urakan, kini dapat mengarahkan murid-muridnya agar mengikuti apa yang dilakukannya dulu. Tentu, kepuasan tersebut terasa paripurna sebab menjelang akhir film Pak Guru Donnie menunjukkan kebolehannya dalam beradegan laga dengan mendebarkan.

Film ketiga, dan film yang bagi saya paling realistis di antara yang lain, adalah The Dead Poet Society. Akting Pak Guru Keating dalam film itu betul-betul berkesan bagi saya. Sebagaimana dua lakon guru di film-film sebelumnya, Pak Guru Keating pun masuk kelas pertama kali dengan cara tidak umum: Berjalan santai sambil bersiul dalam keadaan tangan kiri masuk ke saku celana dan nyelonong keluar kelas tanpa mengatakan apa pun kecuali, "Come on!"

Film Dead Poet Society-Amy
Film Dead Poet Society-Amy

Semua murid yang semula merasa tegang tercengang. Namun, karena paham bahwa itu adalah ajakan untuk mengikutinya, para murid pun menyusul Pak Guru Keating yang ternyata menuju ruang aula dan mendengarkan bisikan dari foto-foto yang terpajang di sana (tonton sendiri filmnya jika tak percaya dengan deskripsi adegan tolol tersebut). Tak berhenti di situ, Pak Guru Keating kembali mengejutkan murid-muridnya saat kemudian kembali ke dalam kelas dengan perintah brutalnya. Katanya, dengan tenang, "Rip out the entire page!"

Ya. Dengan tanpa dosa, Pak Guru Keating meminta murid-muridnya menyobek halaman berisi pengantar "Memahami Puisi" di buku mereka. Tentu, tak satu pun murid percaya. Tapi, lagi-lagi dengan tanpa dosa, Pak Guru Keating mengulangi perintahnya beberapa kali hingga seisi kelas yakin bahwa Pak Guru Barunya tidak sedang bercanda dan tanpa pikir lagi menuruti perintahnya dengan bahagia.

Dalam kaca mata umum, hal tersebut mungkin keterlaluan dan tak patut dilakukan. Namun, cara mengajar dan pembawaan diri Pak Guru sungguh mempesona murid-muridnya. Terlebih, ketika dengan anggunnya Pak Guru Keating menjelaskan:

"Kita tidak membaca dan menulis puisi karena puisi itu manis/imut (cute). Kita membaca dan menulisnya karena kita merupakan bagian dari umat manusia. Dan manusia dipenuhi dengan gairah (passion). Kedokteran, hukum, bisnis, teknik, itu semua adalah pekerjaan mulia dan diperlukan untuk mempertahankan hidup. Tapi puisi, keindahan, asmara, cinta... adalah alasan kenapa kita bertahan hidup."

Saya paham bahwa itu sebatas lakon di dalam film dan sulit dipraktekkan di kenyataan. Lagi pula, mengikuti laku para guru itu bisa menimbulkan respons tak menyenangkan dari lingkungan sekitar. Misalnya saja, cari perhatian, sok idealis, sok jagoan, aneh, tak mengikuti aturan, tak tahu cara mendidik, dan sebagainya, dan seterusnya---satu hal yang juga terjadi pada tokoh utama dalam cerpen "Di Kaki Hariara Dua Puluh Tahun Kemudian" karya Martin Aleida, seorang guru muda baru yang akhirnya dikeluarkan karena cara mengajarnya yang berbeda dari guru-guru umumnya.

Terlepas dari hal itu, laku tak patut dari para guru tersebut menyadarkan saya bahwa ada satu hal penting yang ternyata masih luput dari saya perhatikan di sependek pengalaman saya mengajar: Siswa-siswi sudah bosan sejak kali pertama menginjakkan kaki ke dalam kelas. Memikirkannya, saya jadi merasa mengerti kenapa baik Pak Guru Baru, Pak Guru Donnie, dan Pak Guru Keating sama-sama menggunakan cara perkenalan yang tak biasa di awal pertemuan mereka dengan para siswa.

Saya juga membayangkan bahwa jika saja guru-guru saya dulu ada yang seperti itu, barangkali saya akan rajin sekolah dan masa SMA saya bisa terselamatkan. Tapi, rasanya tak adil melakukan pengandaian terhadap orang lain untuk memenuhi standar harapan saya, apalagi jika itu sudah terjadi di masa lalu. Tak ada yang akan berubah. Ditambah lagi, barangkali saya sendiri tidak lebih baik dari guru-guru saya dulu. Bisa saja saya malah justru lebih parah---lebih membosankan, lebih menjengkelkan, lebih membikin ngantuk ketika pelajaran.

Hal tersebut saya pegang hingga kini, sebuah pengingat bahwa sebagai pengajar saya tak cukup menjadi pengantar pesan/materi yang tercantum dalam buku-buku pelajaran. Jika hanya sebatas itu, komputer---dengan segala perkembangannya akhir-akhir ini---bisa melakukannya, bahkan dengan jauh lebih baik.

Apa yang menjadi tanggung jawab saya adalah adalah mengayomi adik-adik saya, memahami mereka, serta mengarahkan agar dapat menemukan minat masing-masing. Dan semua itu musti saya lakukan tanpa paksaan, tanpa perintah-perintah searah yang menyebalkan---hal-hal yang sialnya hingga kini mungkin belum mampu saya lakukan.

Terakhir, sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengajukan sedikit sambatan yang pernah saya alami semasa menjadi pengajar. Bahwasanya, peran orang tua dalam masa pendidikan anaknya pun tak kalah pentingnya. Terlepas dari siapa pun gurunya dan bagaimana cara mengajarnya, sosok orang tua musti hadir dalam perjalanan belajar seorang anak. Sangat tidak bisa saya sepakati anggapan bahwa orang tua bisa lepas tangan dari proses tersebut sebab sudah memasrahkan anaknya kepada pihak guru, sekolah, pesantren, dan institusi semacamnya.

Saya punya satu pengalaman terkait hal ini. Kejadiannya tidak saya ingat tahun berapa, siapa nama wali santri itu, dan siapa nama anaknya. Tapi, kurang-lebih seperti ini peristiwanya. Suatu siang di hari yang tak saya ingat lagi tanggal dan tahunnya, seorang wali santri datang ke pondok dan protes sedikit keras sebab anaknya belum bisa membaca kitab kuning sebagaimana yang diharapkan si wali santri. "Padahal anak saya udah mau dua tahun di sini lho, Kang," katanya.

Ketika kemudian saya cari tahu lebih jauh mengenai "bisa baca kitab" yang disampaikannya, saya tercengang ketika diberi tahu bahwa yang dimaksud sangatlah tinggi dan terasa tidak realistis. Mendengarnya, saya hanya bisa mengelus dada dan menghela napas terlepas dari fakta bahwa memang hak orang tua untuk memiliki ekspektasi dari hasil belajar yang didapatkan anaknya.

Saya sendiri juga paham bahwa orang tua memiliki hak untuk "menagih" hal tersebut kepada institusi di mana orang tua mempercayakan anaknya. Saya juga paham bahwa saya sebagai pengajar memang bertanggung jawab langsung akan hal itu. Tapi, punya target itu mbok ya jangan jahat-jahat. Saya sebagai yang bersinggungan kelabakan. Waktu itu, saya sendiri tidak ingat bagaimana saya meresponnya. Saya---beberapa waktu setelahnya---hanya bisa mengolahnya menjadi sebuah cerpen yang kemudian tayang di Kompas.id pada akhir Februari lalu berjudul "Tak Ada Gus Baha di Pondok Ini".

Saya sendiri tak hendak berbicara mengenai peran orang tua dalam mendidik anak. Selain tidak punya spesialisasi pengetahuan tentang itu, saya sendiri belum punya anak. Sehingga, saya tentu belum mengalami sendiri bagaimana rasanya mengasuh anak. Bisa jadi, nanti ketika berada di posisi yang sama, saya justru lebih histeris dari si wali santri itu. Bisa jadi pula saya tidak hanya akan menuntut guru-guru anak saya untuk sekadar mendidiknya agar bisa baca kitab kuning, tapi juga sekaligus bisa mengendalikan api, air, tanah, dan udara.

Sekali lagi, saya tidak akan berbicara tentangnya. Saya hanya mengajukan sedikit curhatan saya agar orang tua sedikit bersabar dan memahami bahwa terdapat banyak hal yang berpengaruh terhadap keberhasilan belajar seorang anak. Sebab, saya cuma pengajar yang baru belajar sehingga tak bisa menunjukkan apa pun seperti misalnya yang dilakukan Syaikh Abdul Qadir al-Jilaniy dalam keterangan di kitab manaqib karangan Syaikh Ja'far ibn Hasan al-Barzanjiydan kitab karangan Syaikh 'Umar Mahmud Husain al-Samiraiy, yang kurang-lebihnya begini:

Suatu hari, salah satu orang tua dari murid Syaikh Abdul Qadir al-Jilaniy menjenguk anaknya dan terpana ketika melihat perlakuan terhadap sang buah hati. Di suatu ruangan, Syaikh Abdul Qadir al-Jilaniy sibuk menikmati sajian daging ayam sementara anaknya hanya diberi roti gandum. Si orang tua tak terima, protes, dan bertanya apa maksud dari semua itu. 

Syaikh Abdul Qadir al-Jilaniy tampak tenang, dan tak menanggapi, dan pelan-pelan menata tulang-belulang ayam yang baru saja disantapnya. Bi idznillah, tulang-belulang tersebut menjelma ayam utuh kembali seperti sedia kala. Syaikh Abdul Qadir al-Jilaniy lalu dengan lembut berkata, "Jika anakmu sudah bisa melakukan yang seperti itu, dia boleh makan sesukanya."

Mlangi, 30 Desember 2023

=======================

Syafiq Addarisiy

Kepala Divisi Program Kitab Kuning PP. Assalafiyyah, Mlangi, dan alumnus Jurusan Sastra Indonesia UNY. Senang mendengarkan musik, menonton film, menulis, dan membaca. Aktif di Komunitas Susastra dan Sindikat Muda, Liar, Ngantukan. Beberapa tulisannya tersiar di Koran Tempo, Kompas.id, Suara Merdeka, Bacapetra.co, Basabasi.co, Minggu Pagi, Koran Radar Selatan, Majalah Pewara Dinamika, Buletin Mimesis,dan lain-lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun