Saya juga membayangkan bahwa jika saja guru-guru saya dulu ada yang seperti itu, barangkali saya akan rajin sekolah dan masa SMA saya bisa terselamatkan. Tapi, rasanya tak adil melakukan pengandaian terhadap orang lain untuk memenuhi standar harapan saya, apalagi jika itu sudah terjadi di masa lalu. Tak ada yang akan berubah. Ditambah lagi, barangkali saya sendiri tidak lebih baik dari guru-guru saya dulu. Bisa saja saya malah justru lebih parah---lebih membosankan, lebih menjengkelkan, lebih membikin ngantuk ketika pelajaran.
Hal tersebut saya pegang hingga kini, sebuah pengingat bahwa sebagai pengajar saya tak cukup menjadi pengantar pesan/materi yang tercantum dalam buku-buku pelajaran. Jika hanya sebatas itu, komputer---dengan segala perkembangannya akhir-akhir ini---bisa melakukannya, bahkan dengan jauh lebih baik.
Apa yang menjadi tanggung jawab saya adalah adalah mengayomi adik-adik saya, memahami mereka, serta mengarahkan agar dapat menemukan minat masing-masing. Dan semua itu musti saya lakukan tanpa paksaan, tanpa perintah-perintah searah yang menyebalkan---hal-hal yang sialnya hingga kini mungkin belum mampu saya lakukan.
Terakhir, sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengajukan sedikit sambatan yang pernah saya alami semasa menjadi pengajar. Bahwasanya, peran orang tua dalam masa pendidikan anaknya pun tak kalah pentingnya. Terlepas dari siapa pun gurunya dan bagaimana cara mengajarnya, sosok orang tua musti hadir dalam perjalanan belajar seorang anak. Sangat tidak bisa saya sepakati anggapan bahwa orang tua bisa lepas tangan dari proses tersebut sebab sudah memasrahkan anaknya kepada pihak guru, sekolah, pesantren, dan institusi semacamnya.
Saya punya satu pengalaman terkait hal ini. Kejadiannya tidak saya ingat tahun berapa, siapa nama wali santri itu, dan siapa nama anaknya. Tapi, kurang-lebih seperti ini peristiwanya. Suatu siang di hari yang tak saya ingat lagi tanggal dan tahunnya, seorang wali santri datang ke pondok dan protes sedikit keras sebab anaknya belum bisa membaca kitab kuning sebagaimana yang diharapkan si wali santri. "Padahal anak saya udah mau dua tahun di sini lho, Kang," katanya.
Ketika kemudian saya cari tahu lebih jauh mengenai "bisa baca kitab" yang disampaikannya, saya tercengang ketika diberi tahu bahwa yang dimaksud sangatlah tinggi dan terasa tidak realistis. Mendengarnya, saya hanya bisa mengelus dada dan menghela napas terlepas dari fakta bahwa memang hak orang tua untuk memiliki ekspektasi dari hasil belajar yang didapatkan anaknya.
Saya sendiri juga paham bahwa orang tua memiliki hak untuk "menagih" hal tersebut kepada institusi di mana orang tua mempercayakan anaknya. Saya juga paham bahwa saya sebagai pengajar memang bertanggung jawab langsung akan hal itu. Tapi, punya target itu mbok ya jangan jahat-jahat. Saya sebagai yang bersinggungan kelabakan. Waktu itu, saya sendiri tidak ingat bagaimana saya meresponnya. Saya---beberapa waktu setelahnya---hanya bisa mengolahnya menjadi sebuah cerpen yang kemudian tayang di Kompas.id pada akhir Februari lalu berjudul "Tak Ada Gus Baha di Pondok Ini".
Saya sendiri tak hendak berbicara mengenai peran orang tua dalam mendidik anak. Selain tidak punya spesialisasi pengetahuan tentang itu, saya sendiri belum punya anak. Sehingga, saya tentu belum mengalami sendiri bagaimana rasanya mengasuh anak. Bisa jadi, nanti ketika berada di posisi yang sama, saya justru lebih histeris dari si wali santri itu. Bisa jadi pula saya tidak hanya akan menuntut guru-guru anak saya untuk sekadar mendidiknya agar bisa baca kitab kuning, tapi juga sekaligus bisa mengendalikan api, air, tanah, dan udara.
Sekali lagi, saya tidak akan berbicara tentangnya. Saya hanya mengajukan sedikit curhatan saya agar orang tua sedikit bersabar dan memahami bahwa terdapat banyak hal yang berpengaruh terhadap keberhasilan belajar seorang anak. Sebab, saya cuma pengajar yang baru belajar sehingga tak bisa menunjukkan apa pun seperti misalnya yang dilakukan Syaikh Abdul Qadir al-Jilaniy dalam keterangan di kitab manaqib karangan Syaikh Ja'far ibn Hasan al-Barzanjiydan kitab karangan Syaikh 'Umar Mahmud Husain al-Samiraiy, yang kurang-lebihnya begini:
Suatu hari, salah satu orang tua dari murid Syaikh Abdul Qadir al-Jilaniy menjenguk anaknya dan terpana ketika melihat perlakuan terhadap sang buah hati. Di suatu ruangan, Syaikh Abdul Qadir al-Jilaniy sibuk menikmati sajian daging ayam sementara anaknya hanya diberi roti gandum. Si orang tua tak terima, protes, dan bertanya apa maksud dari semua itu.Â
Syaikh Abdul Qadir al-Jilaniy tampak tenang, dan tak menanggapi, dan pelan-pelan menata tulang-belulang ayam yang baru saja disantapnya. Bi idznillah, tulang-belulang tersebut menjelma ayam utuh kembali seperti sedia kala. Syaikh Abdul Qadir al-Jilaniy lalu dengan lembut berkata, "Jika anakmu sudah bisa melakukan yang seperti itu, dia boleh makan sesukanya."