Mohon tunggu...
Media Literasi Kita
Media Literasi Kita Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Media Literasi Kita berfokus pada penyebaran bacaan yang baik untuk masyarakat Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Siswa-Siswi Sudah Bosan Sejak Kali Pertama Masuk Kelas

5 Januari 2024   16:15 Diperbarui: 5 Januari 2024   16:19 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya menangis sewaktu menonton film tersebut karena memang beberapa adegannya mengandung kadar bawang merah yang tinggi. Meski begitu, saya juga masih terenyuh ketika kemudian menonton The Big Brother (2018) yang dibintangi aktor idola saya, Donnie Yen. Bercerita tentang alumni yang kembali ke sekolah lamanya untuk mengajar, film tersebut menunjukkan kepada saya tentang bagaimana sosok guru keren itu.

Mendapat jatah mengajar di kelas neraka, Pak Guru Donnie berjalan tenang memasuki kelas dan tersenyum melihat kelakuan murid-muridnya yang serba urakan. Tapi, Pak Guru Donnie punya caranya sendiri untuk mengatasinya: Melontarkan kapur dengan karet ke saluran air untuk menanggulangi kebakaran. Air muncrat, membasahi semuanya, seisi kelas kuyup dan gaduh, dan---lagi-lagi---Pak Guru Donnie hanya tersenyum melihatnya.

Di akhir film, lagu "7 Years" Lukas Graham begitu pas mengiringi adegan di mana semua murid-murid di kelasnya semangat mengikuti tes seleksi memasuki perguruan tinggi tanpa terkecuali. Saya puas menontonnya sebab Pak Guru Donnie, yang dulu ketika remaja tak lebih dari berandalan yang urakan, kini dapat mengarahkan murid-muridnya agar mengikuti apa yang dilakukannya dulu. Tentu, kepuasan tersebut terasa paripurna sebab menjelang akhir film Pak Guru Donnie menunjukkan kebolehannya dalam beradegan laga dengan mendebarkan.

Film ketiga, dan film yang bagi saya paling realistis di antara yang lain, adalah The Dead Poet Society. Akting Pak Guru Keating dalam film itu betul-betul berkesan bagi saya. Sebagaimana dua lakon guru di film-film sebelumnya, Pak Guru Keating pun masuk kelas pertama kali dengan cara tidak umum: Berjalan santai sambil bersiul dalam keadaan tangan kiri masuk ke saku celana dan nyelonong keluar kelas tanpa mengatakan apa pun kecuali, "Come on!"

Film Dead Poet Society-Amy
Film Dead Poet Society-Amy

Semua murid yang semula merasa tegang tercengang. Namun, karena paham bahwa itu adalah ajakan untuk mengikutinya, para murid pun menyusul Pak Guru Keating yang ternyata menuju ruang aula dan mendengarkan bisikan dari foto-foto yang terpajang di sana (tonton sendiri filmnya jika tak percaya dengan deskripsi adegan tolol tersebut). Tak berhenti di situ, Pak Guru Keating kembali mengejutkan murid-muridnya saat kemudian kembali ke dalam kelas dengan perintah brutalnya. Katanya, dengan tenang, "Rip out the entire page!"

Ya. Dengan tanpa dosa, Pak Guru Keating meminta murid-muridnya menyobek halaman berisi pengantar "Memahami Puisi" di buku mereka. Tentu, tak satu pun murid percaya. Tapi, lagi-lagi dengan tanpa dosa, Pak Guru Keating mengulangi perintahnya beberapa kali hingga seisi kelas yakin bahwa Pak Guru Barunya tidak sedang bercanda dan tanpa pikir lagi menuruti perintahnya dengan bahagia.

Dalam kaca mata umum, hal tersebut mungkin keterlaluan dan tak patut dilakukan. Namun, cara mengajar dan pembawaan diri Pak Guru sungguh mempesona murid-muridnya. Terlebih, ketika dengan anggunnya Pak Guru Keating menjelaskan:

"Kita tidak membaca dan menulis puisi karena puisi itu manis/imut (cute). Kita membaca dan menulisnya karena kita merupakan bagian dari umat manusia. Dan manusia dipenuhi dengan gairah (passion). Kedokteran, hukum, bisnis, teknik, itu semua adalah pekerjaan mulia dan diperlukan untuk mempertahankan hidup. Tapi puisi, keindahan, asmara, cinta... adalah alasan kenapa kita bertahan hidup."

Saya paham bahwa itu sebatas lakon di dalam film dan sulit dipraktekkan di kenyataan. Lagi pula, mengikuti laku para guru itu bisa menimbulkan respons tak menyenangkan dari lingkungan sekitar. Misalnya saja, cari perhatian, sok idealis, sok jagoan, aneh, tak mengikuti aturan, tak tahu cara mendidik, dan sebagainya, dan seterusnya---satu hal yang juga terjadi pada tokoh utama dalam cerpen "Di Kaki Hariara Dua Puluh Tahun Kemudian" karya Martin Aleida, seorang guru muda baru yang akhirnya dikeluarkan karena cara mengajarnya yang berbeda dari guru-guru umumnya.

Terlepas dari hal itu, laku tak patut dari para guru tersebut menyadarkan saya bahwa ada satu hal penting yang ternyata masih luput dari saya perhatikan di sependek pengalaman saya mengajar: Siswa-siswi sudah bosan sejak kali pertama menginjakkan kaki ke dalam kelas. Memikirkannya, saya jadi merasa mengerti kenapa baik Pak Guru Baru, Pak Guru Donnie, dan Pak Guru Keating sama-sama menggunakan cara perkenalan yang tak biasa di awal pertemuan mereka dengan para siswa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun