Mohon tunggu...
Dewa Aji Nugraha
Dewa Aji Nugraha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Traveller and World War & World Conflicts Analysers

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Evolusi Kekuatan Ekonomi Sang Naga Merah: "Hibridisasi Paham Sosialis dengan Paham Liberal Sebagai Resep Rahasia Kekuatan Ekonomi sang Naga Merah"

15 Maret 2024   01:54 Diperbarui: 15 Maret 2024   01:59 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Reformasi Ekonomi Tiongkok, juga dikenal sebagai kebijakan Reformasi dan Keterbukaan (bahasa Mandarin: 改革开放; pinyin: Gǎigé kāifàng), menandai sebuah perubahan yang signifikan dari perencanaan ekonomi yang tersentralisasi secara ketat di era Mao Zedong menuju pendekatan yang lebih berorientasi pada pasar. 

Merangkul konsep "sosialisme dengan karakteristik Tiongkok" (Socialism with Chinese characteristics and Socialist market economy), reformasi ini berusaha untuk memodernisasi dan merevitalisasi ekonomi Tiongkok sambil mempertahankan dominasi Partai Komunis Tiongkok “Chinese Communist Party” (CCP).

Reformasi Ekonomi Tiongkok adalah langkah besar yang mengubah cara Tiongkok mengatur ekonominya. Sebelumnya, pemerintah sangat mengontrol semua hal tentang ekonomi, tetapi sekarang mereka memberi lebih banyak kebebasan kepada pasar. Mereka masih mengikuti prinsip-prinsip sosialis, tetapi memungkinkan pasar untuk memainkan peran yang lebih besar.

Reformasi dimulai pada akhir tahun 1978 (Boluan Fanzheng period, December 1978). Awalnya, mereka fokus pada pertanian. Mereka mengubah cara pertanian dijalankan, membiarkan petani mengelola tanah mereka sendiri daripada memaksakan kolektivisasi. Ini membuat petani lebih termotivasi dan hasil panen meningkat. Kesuksesan ini mendorong pemerintah untuk melanjutkan reformasi di sektor lain seperti industri dan perdagangan.

Mereka juga mendirikan daerah khusus perdagangan (Special Economic Zones “SEZs”) di sepanjang pantai yang memberikan insentif khusus bagi perusahaan asing untuk berinvestasi di sana. Hal ini membantu Tiongkok menjadi salah satu produsen utama barang-barang di dunia (World's Factory).

Pemimpin utama reformasi ini, Deng Xiaoping, memiliki pandangan yang sangat praktis. Baginya, yang terpenting adalah apakah suatu kebijakan itu berhasil atau tidak, bukan apakah itu sesuai dengan nilai-nilai ideologi tertentu. Beliau mengatakan bahwa “Tidak masalah apakah kucing itu berwarna hitam atau putih, selama ia berhasil menangkap tikus”.

Reformasi ini telah membawa banyak perubahan positif bagi Tiongkok, mengubahnya dari negara agraris yang miskin menjadi kekuatan ekonomi global yang besar.

Reformasi Ekonomi Tiongkok merupakan kasus yang bisa dibilang cukup rumit dan unik jika dilihat dari teori Neo-Liberalisme dalam Politik Ekonomi Internasional. Hal ini karena, di satu sisi, mereka menentang prinsip-prinsip neoliberal yang mengadvokasi pasar bebas dan campur tangan pemerintah yang minim, tetapi di sisi lain, kasus ini juga mengandung beberapa elemen-elemen neoliberal didalamnya seperti persaingan pasar dan investasi swasta (Privatisasi).

Reformasi ini dimulai pada akhir abad ke-20. Mereka membawa konsep pasar ke dalam kerangka kerja paham sosialis, yang tidak sepenuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip paham neoliberal yang bebas (Kapitalisme). Meskipun Tiongkok mengadopsi aspek-aspek kapitalisme seperti persaingan pasar dan investasi asing, pemerintah tetap mempertahankan control yang besar atas sektor-sektor utama ekonomi melalui perusahaan milik negara dan perencanaan ekonomi.

Pendekatan yang digunakan oleh pemerintah Tiongkok ini sering disebut sebagai "sosialisme dengan karakteristik Tiongkok" (Socialism with Chinese characteristics and Socialist market economy). Paham ini mencampurkan kontrol negara dengan kekuatan pasar, menciptakan suatu sistem yang sulit dipahami sepenuhnya. Meskipun ada elemen-elemen paham neoliberal, seperti persaingan pasar dan investasi asing, tetapi kontrol pemerintah atas kendali ekonomi masih dibilang sangat kuat.

Keunikan ini diperumit dengan adanya, sistem politik di Tiongkok yang dipimpin oleh Partai Komunis yang tidak mengikuti model paham demokrasi liberal yang sering diusung oleh kaum neoliberal. Sebaliknya, Tiongkok menerapkan sistem otoriter satu partai di mana kebebasan politik terbatas dan hak-hak sipil dibatasi. Ini bertentangan dengan prinsip-prinsip neoliberal yang memperjuangkan demokrasi yang lebih terbuka dan kebebasan individu yang lebih luas sesuai dengan konstitusi negara.

Walaupun Reformasi Ekonomi Tiongkok memudahkan akses lebih besar bagi investasi dan perdagangan asing, namun pemerintah juga sangat aktif dalam mengendalikan sebagian besar sektor ekonomi. 

Meskipun mereka menggunakan mekanisme pasar, pemerintah Tiongkok masih mengendalikan industri-industri penting melalui perusahaan milik negara (BUMN) dan menerapkan kebijakan industri untuk membimbing pertumbuhan ekonomi. Ini berbeda dengan gagasan neoliberal yang menginginkan campur tangan pemerintah yang minim dalam urusan ekonomi, lebih condong ke arah kapitalisme tanpa banyak campur tangan negara.

Selain itu, kebijakan pemerintah Tiongkok seperti pengelolaan nilai tukar, kontrol modal, dan subsidi industri telah menimbulkan ketidakpercayaan di kalangan pendukung neoliberalisme tentang adanya persaingan yang adil dan efisiensi pasar. Meskipun tujuannya adalah untuk menjaga stabilitas dan mencapai tujuan-tujuan tertentu, intervensi semacam ini dapat merusak kekuatan pasar dan mengganggu keseimbangan perdagangan global.

Selanjutnya adalah, cara China mengelola perlindungan hak kekayaan intelektual (Intellectual Property Rights protection “IPR”) telah menimbulkan perdebatan dalam kerangka neoliberal. Meskipun Tiongkok berusaha memperkuat hukum dan peraturan HAKI (IPR), masih ada isu seperti transfer teknologi yang dipaksakan dan penegakan hukum yang kurang efektif yang membuat sulit bagi bisnis asing yang beroperasi di sana. Hal-hal seperti ini bertentangan dengan prinsip-prinsip hak milik dan persaingan pasar yang diinginkan oleh kaum neoliberal.

Meskipun ada penyimpangan-penyimpangan seperti itu, Reformasi Ekonomi Tiongkok telah membawa pertumbuhan ekonomi yang luar biasa dan mengangkat jutaan orang dari kemiskinan. Ini menunjukkan bahwa menggabungkan elemen-elemen liberalisme pasar ke dalam kerangka sosialis bisa berhasil. 

Pengalaman Tiongkok juga menekankan betapa kompleksnya menerapkan kebijakan neoliberal dalam situasi politik dan budaya yang beragam, dan menyoroti pentingnya fleksibilitas dan adaptasi dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi.

Gabungan antara mekanisme pasar dan kendali negara, yang sering disebut sebagai "sosialisme dengan karakteristik Tiongkok" atau "ekonomi pasar sosialis," adalah cara unik dalam mengatur ekonomi yang berbeda dari prinsip-prinsip neoliberal yang biasa. Meskipun Tiongkok mengambil beberapa aspek neoliberalisme seperti mendorong investasi asing dan membebaskan perdagangan, namun campur tangan negara masih kuat.

Dalam model ini, pemerintah Tiongkok memainkan peran utama dalam mengarahkan pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas sosial. Mereka memiliki kontrol yang kuat atas industri-industri penting, kebijakan moneter, dan peraturan. Perusahaan milik negara terus memiliki pengaruh besar di sektor-sektor strategis, sementara kebijakan industri dan subsidi pemerintah membentuk arah ekonomi secara keseluruhan.

Sistem campuran ini memungkinkan pemerintah Tiongkok untuk mengejar tujuan pembangunan jangka panjang, mengutamakan kepentingan nasional, dan mengurangi risiko dari kekuatan pasar yang tidak terkendali. Dengan demikian, sistem ini juga memberikan perlindungan sosial dan stabilitas, terutama di masa ketidakpastian ekonomi atau transisi.

Campur tangan negara yang masih signifikan menimbulkan pertanyaan tentang efisiensi dalam penggunaan sumber daya, persaingan di pasar, dan perlindungan hak kepemilikan. Para kritikus mengkhawatirkan bahwa kontrol pemerintah yang terlalu kuat bisa menghambat inovasi, menyebabkan gangguan dalam sinyal pasar, dan mengakibatkan pemborosan dalam alokasi sumber daya.

Namun, meskipun demikian, hasil dari reformasi ekonomi Tiongkok telah mengesankan, menjadikan negara ini sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia dan mengangkat ratusan juta orang keluar dari kemiskinan. Keberhasilan ini telah memicu diskusi tentang apakah model Tiongkok dapat diterapkan di negara-negara berkembang lainnya, yang menantang pandangan konvensional neoliberal tentang keunggulan pasar bebas.

Pada dasarnya, kombinasi unik antara mekanisme pasar dan kontrol negara di Tiongkok merupakan respons yang bijaksana terhadap tantangan pembangunan ekonomi yang rumit, yang dipengaruhi oleh sejarah dan budaya negara tersebut. Seiring Tiongkok terus bergerak maju dalam era globalisasi dan reformasi ekonomi, seimbang antara reformasi pasar dan campur tangan negara kemungkinan akan terus berkembang, membentuk jalur pertumbuhan ekonomi dan pengaruh global mereka.

Sekian Terima Kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun