Ekonomi Tiongkok, juga dikenal sebagai kebijakan Reformasi dan Keterbukaan (bahasa Mandarin: 改革开放; pinyin: Gǎigé kāifàng), menandai sebuah perubahan yang signifikan dari perencanaan ekonomi yang tersentralisasi secara ketat di era Mao Zedong menuju pendekatan yang lebih berorientasi pada pasar.
ReformasiMerangkul konsep "sosialisme dengan karakteristik Tiongkok" (Socialism with Chinese characteristics and Socialist market economy), reformasi ini berusaha untuk memodernisasi dan merevitalisasi ekonomi Tiongkok sambil mempertahankan dominasi Partai Komunis Tiongkok “Chinese Communist Party” (CCP).
Reformasi Ekonomi Tiongkok adalah langkah besar yang mengubah cara Tiongkok mengatur ekonominya. Sebelumnya, pemerintah sangat mengontrol semua hal tentang ekonomi, tetapi sekarang mereka memberi lebih banyak kebebasan kepada pasar. Mereka masih mengikuti prinsip-prinsip sosialis, tetapi memungkinkan pasar untuk memainkan peran yang lebih besar.
Reformasi dimulai pada akhir tahun 1978 (Boluan Fanzheng period, December 1978). Awalnya, mereka fokus pada pertanian. Mereka mengubah cara pertanian dijalankan, membiarkan petani mengelola tanah mereka sendiri daripada memaksakan kolektivisasi. Ini membuat petani lebih termotivasi dan hasil panen meningkat. Kesuksesan ini mendorong pemerintah untuk melanjutkan reformasi di sektor lain seperti industri dan perdagangan.
Mereka juga mendirikan daerah khusus perdagangan (Special Economic Zones “SEZs”) di sepanjang pantai yang memberikan insentif khusus bagi perusahaan asing untuk berinvestasi di sana. Hal ini membantu Tiongkok menjadi salah satu produsen utama barang-barang di dunia (World's Factory).
Pemimpin utama reformasi ini, Deng Xiaoping, memiliki pandangan yang sangat praktis. Baginya, yang terpenting adalah apakah suatu kebijakan itu berhasil atau tidak, bukan apakah itu sesuai dengan nilai-nilai ideologi tertentu. Beliau mengatakan bahwa “Tidak masalah apakah kucing itu berwarna hitam atau putih, selama ia berhasil menangkap tikus”.
Reformasi ini telah membawa banyak perubahan positif bagi Tiongkok, mengubahnya dari negara agraris yang miskin menjadi kekuatan ekonomi global yang besar.
Reformasi Ekonomi Tiongkok merupakan kasus yang bisa dibilang cukup rumit dan unik jika dilihat dari teori Neo-Liberalisme dalam Politik Ekonomi Internasional. Hal ini karena, di satu sisi, mereka menentang prinsip-prinsip neoliberal yang mengadvokasi pasar bebas dan campur tangan pemerintah yang minim, tetapi di sisi lain, kasus ini juga mengandung beberapa elemen-elemen neoliberal didalamnya seperti persaingan pasar dan investasi swasta (Privatisasi).
Reformasi ini dimulai pada akhir abad ke-20. Mereka membawa konsep pasar ke dalam kerangka kerja paham sosialis, yang tidak sepenuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip paham neoliberal yang bebas (Kapitalisme). Meskipun Tiongkok mengadopsi aspek-aspek kapitalisme seperti persaingan pasar dan investasi asing, pemerintah tetap mempertahankan control yang besar atas sektor-sektor utama ekonomi melalui perusahaan milik negara dan perencanaan ekonomi.
Pendekatan yang digunakan oleh pemerintah Tiongkok ini sering disebut sebagai "sosialisme dengan karakteristik Tiongkok" (Socialism with Chinese characteristics and Socialist market economy). Paham ini mencampurkan kontrol negara dengan kekuatan pasar, menciptakan suatu sistem yang sulit dipahami sepenuhnya. Meskipun ada elemen-elemen paham neoliberal, seperti persaingan pasar dan investasi asing, tetapi kontrol pemerintah atas kendali ekonomi masih dibilang sangat kuat.
Keunikan ini diperumit dengan adanya, sistem politik di Tiongkok yang dipimpin oleh Partai Komunis yang tidak mengikuti model paham demokrasi liberal yang sering diusung oleh kaum neoliberal. Sebaliknya, Tiongkok menerapkan sistem otoriter satu partai di mana kebebasan politik terbatas dan hak-hak sipil dibatasi. Ini bertentangan dengan prinsip-prinsip neoliberal yang memperjuangkan demokrasi yang lebih terbuka dan kebebasan individu yang lebih luas sesuai dengan konstitusi negara.