Walaupun Reformasi Ekonomi Tiongkok memudahkan akses lebih besar bagi investasi dan perdagangan asing, namun pemerintah juga sangat aktif dalam mengendalikan sebagian besar sektor ekonomi.
Meskipun mereka menggunakan mekanisme pasar, pemerintah Tiongkok masih mengendalikan industri-industri penting melalui perusahaan milik negara (BUMN) dan menerapkan kebijakan industri untuk membimbing pertumbuhan ekonomi. Ini berbeda dengan gagasan neoliberal yang menginginkan campur tangan pemerintah yang minim dalam urusan ekonomi, lebih condong ke arah kapitalisme tanpa banyak campur tangan negara.
Selain itu, kebijakan pemerintah Tiongkok seperti pengelolaan nilai tukar, kontrol modal, dan subsidi industri telah menimbulkan ketidakpercayaan di kalangan pendukung neoliberalisme tentang adanya persaingan yang adil dan efisiensi pasar. Meskipun tujuannya adalah untuk menjaga stabilitas dan mencapai tujuan-tujuan tertentu, intervensi semacam ini dapat merusak kekuatan pasar dan mengganggu keseimbangan perdagangan global.
Selanjutnya adalah, cara China mengelola perlindungan hak kekayaan intelektual (Intellectual Property Rights protection “IPR”) telah menimbulkan perdebatan dalam kerangka neoliberal. Meskipun Tiongkok berusaha memperkuat hukum dan peraturan HAKI (IPR), masih ada isu seperti transfer teknologi yang dipaksakan dan penegakan hukum yang kurang efektif yang membuat sulit bagi bisnis asing yang beroperasi di sana. Hal-hal seperti ini bertentangan dengan prinsip-prinsip hak milik dan persaingan pasar yang diinginkan oleh kaum neoliberal.
Meskipun ada penyimpangan-penyimpangan seperti itu, Reformasi Ekonomi Tiongkok telah membawa pertumbuhan ekonomi yang luar biasa dan mengangkat jutaan orang dari kemiskinan. Ini menunjukkan bahwa menggabungkan elemen-elemen liberalisme pasar ke dalam kerangka sosialis bisa berhasil.
Pengalaman Tiongkok juga menekankan betapa kompleksnya menerapkan kebijakan neoliberal dalam situasi politik dan budaya yang beragam, dan menyoroti pentingnya fleksibilitas dan adaptasi dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi.
Gabungan antara mekanisme pasar dan kendali negara, yang sering disebut sebagai "sosialisme dengan karakteristik Tiongkok" atau "ekonomi pasar sosialis," adalah cara unik dalam mengatur ekonomi yang berbeda dari prinsip-prinsip neoliberal yang biasa. Meskipun Tiongkok mengambil beberapa aspek neoliberalisme seperti mendorong investasi asing dan membebaskan perdagangan, namun campur tangan negara masih kuat.
Dalam model ini, pemerintah Tiongkok memainkan peran utama dalam mengarahkan pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas sosial. Mereka memiliki kontrol yang kuat atas industri-industri penting, kebijakan moneter, dan peraturan. Perusahaan milik negara terus memiliki pengaruh besar di sektor-sektor strategis, sementara kebijakan industri dan subsidi pemerintah membentuk arah ekonomi secara keseluruhan.
Sistem campuran ini memungkinkan pemerintah Tiongkok untuk mengejar tujuan pembangunan jangka panjang, mengutamakan kepentingan nasional, dan mengurangi risiko dari kekuatan pasar yang tidak terkendali. Dengan demikian, sistem ini juga memberikan perlindungan sosial dan stabilitas, terutama di masa ketidakpastian ekonomi atau transisi.
Campur tangan negara yang masih signifikan menimbulkan pertanyaan tentang efisiensi dalam penggunaan sumber daya, persaingan di pasar, dan perlindungan hak kepemilikan. Para kritikus mengkhawatirkan bahwa kontrol pemerintah yang terlalu kuat bisa menghambat inovasi, menyebabkan gangguan dalam sinyal pasar, dan mengakibatkan pemborosan dalam alokasi sumber daya.
Namun, meskipun demikian, hasil dari reformasi ekonomi Tiongkok telah mengesankan, menjadikan negara ini sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia dan mengangkat ratusan juta orang keluar dari kemiskinan. Keberhasilan ini telah memicu diskusi tentang apakah model Tiongkok dapat diterapkan di negara-negara berkembang lainnya, yang menantang pandangan konvensional neoliberal tentang keunggulan pasar bebas.