“Tempat ini terlalu banyak menyimpan kenangan, hingga aku menjadi seperti sekarang ini, Yah. Terlebih, dengan pohon mangga yang baru mau berbuah ini. Kakek merawatnya dengan sepenuh hati. Rasanya sayang jika harus ditebang.”
“Lebih sayang lagi jika tak dimanfaatkan. Lihatlah di kiri kananmu! Betapa pesat kemajuan dan perkembangan desa ini! Buanglah memori masa lalumu, sudah saatnya kau ikut membangun dan memberi manfaat yang besar bagi desa ini!”
“Baiklah, jika Ayah merestui. Tapi aku ingin sekali mencicipi hasil dari pohon ini.”
“Terlalu lama, lagi pula mangga ini sama dengan puluhan mangga lain di kebun kita?”
“Tapi, ini beda!”
“Apa yang membedakan? Hanya kenangan dan sejarah! Lagi pula, siapa yang akan menjaga pohon ini jika benar-benar berbuah? Mungkin buahnya akan habis sebelum bisa kaucicipi. Itu sama artinya dengan memberi kesempatan pada orang lain untuk mencuri.”
“Ya, sepertinya masuk akal. Kalau begitu, besok pagi akan kusuruh tukang untuk menebang dan meratakan lahan ini.”
“Ingat, apa yang kau lakukan demi orang banyak!”
Percakapan yang kusimak sore ini. Sebuah bukti bahwa tabiat dan perangai memang bisa berubah kendati tak mampu mengubah masa lalu.
Begitu pun aku, yang masih saja membisu. Ingin rasanya aku menangis atas perubahan dan keberhasilanmu. Ingin rasanya kupeluk tubuhmu lalu membisikkan sebuah rahasia yang kusimpan selama puluhan tahun dalam kebisuanku. Rahasia bahwa aku hanyalah pohon haram yang terlahir dari biji yang kau lempar begitu saja. Biji dari buah yang kau curi dari lahan sang juragan, ayah mertuamu kini.
Atas kesadaranmu, maka dengan senang hati kurelakan hidupku berakhir. Sebelum bunga-bunga dalam tubuh haramku ini terlanjur menjelma sebagai buah yang mengharami tubuh manusia lainnya.