Mohon tunggu...
Anggarian Andisetya
Anggarian Andisetya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa, sosok yang belajar menjadi dewasa di tengah-tengah dunia yang (tidak) semakin dewasa\r\n\r\nBerkediaman di Dunia Maya @ Jejak-SangManyar.Blogspot.Com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Anak-Anak Terang dan Jalanan yang Garang

8 Januari 2012   09:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:10 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak jalanan dan "anak-anak yang di-jalan-kan" menjadi realita paling kelam yang bertahun-tahun tak pernah terselesaikan. Berkali-kali pemilu diselenggarakan, berkali-kali parlemen dan istana disuksesi. Hasil? Nihil.

Pertumbuhan ekonomi kita, sekitar 6,6%, dan bahkan didaulat sebagai pertumbuhan tertinggi di ASEAN, tidak mampu membuat anak-anak seperti mereka turut tumbuh dalam naungan cahaya harapan dan pijar-pijar masa depan yang menghangatkan jiwa. Mereka, tetap sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tergeletak di jalan dengan kekumalan dan nyanyian sengau mereka serta tersisihkan dari kompetisi. Mereka tetap menggadaikan harga diri mereka demi Rp. 500,-. Ah. Inikah yang namanya pertumbuhan?

Kekayaan alam Indonesia tak mampu dinikmati oleh anak-anak yang esok akan menghiasi negeri ini dengan pengabdian. Mereka terlanjur dipinggirkan, meski di antaranya ada yang meminggirkan diri setelah sadar betul: negara tak peduli pada mereka. Maka, pengabdian mereka nantinya tak ubah seperti pengabdian kuli. Pengabdian budak pada juragan-juragan kapitalis mereka. Negara ini menjadi sarang industri yang membuat mati kehidupan rakyatnya sendiri. Investasi tak berbanding lurus dengan kemakmuran. Memang: ada gula, ada semut. Sayangnya, kita lupa bahwa kita juga "semut" yang berhak atas "gula" di tanah pertiwi kita. Ketika "semut-semut seberang" diimpor, "semut pribumi" akan tersingkir. Mereka akan mencari remah-remah di antara tumpukan barang jadi. Barang bermerek. Barang high class. Mereka hanya bisa memandang ke langit dan bertanya: untuk apa negara kami merdeka jika kami "masih" terjajah? Dan, itu pula yang digemakan adik-adik, anak-anak kita di seantero negeri ini.

Kegagalan RSBI menjadi kabar suka sekaligus duka bagi saya. Kabar suka karena berita tersebut menjadi peneguh keyakinan saya bahwa: sikap sok kebaratan adalah awal dari kehancuran. Internasional? Apakah pendidikan nasional kita buruk hingga harus mencanangkan sekolah bertaraf internasional? Bukankah kita mesti menggali konsep pendidikan nasional kita sehingga mampu berdiri sendiri dengan jati diri sebagai bangsa Indonesia, alur pemikiran dan konsep pendidikan yang orisinil? Apakah sebegitu bobroknya pendidikan nasional kita hingga harus mengadopsi pendidikan internasional? Atau jangan-jangan konsep pendidikan kita ini tertular para artis-artis muda kita yang telah dan bersiap go international, seperti Anggun C. Sasmi dan Agnes Monica?

Menjadi berita duka karena kita telah berlama-lama meninggalkan jati diri kita dengan mengenakan topeng, bernama RSBI, dan lantas menemui kegagalan karenanya. Bertahun-tahun menjadi rintisan, berkali-kali makan hati, beratus kali menebar mimpi, dan berjuta-juta kali memajang janji. Hasilnya? Program RSBI Gagal Total. Begitu tulis sebuah media massa.

Kegagalan ini tidak hanya dilihat dari SDM guru yang minim sarjana S-2, namun lebih kepada alur pelaksanaan program yang lebih kepada pencitraan sekolah dan ajang pemerkaya diri sendiri. Situasi ini jelas merugikan bagi anak-anak yang terisolir dari pendidikan. Di sekolah umum (non-RSBI) saja mereka kesulitan, apalagi masuk sekolah RSBI? Mereka terpaksa (atau dipaksa?) tunduk pada sistem yang tak bisa mereka lawan. Mereka hanyut bersama arus. Hanyut. Hanyut. Sebelum akhirnya tenggelam ditelan persaingan yang buntung.

Anak jalanan dan "anak-anak yang di-jalan-kan" hanya menginginkan terpenuhi hak mereka sebagai anak. Mereka ingin masa depan yang sama dengan anak-anak lainnya. Mereka ingin merasakan bangku sekolah dan buku-buku perpustakaan yang menjadi jendela bagi kegelapan wawasan mereka. Mereka ingin merasakan spidol dan papan tulis tempat mereka menulis jawaban dari pekerjaan rumah mereka semalam. Mereka ingin menikmati suara bapak ibu guru yang dengan sabar menunjuki mereka apa itu ilmu, apa itu akal, dan apa itu budi pekerti.

Mereka sama-sama ingin merasakan kesuksesan dan kebahagiaan sebagai seorang yang berilmu. Sayang, harapan mereka mesti dibuang ke kantong sampah. RSBI dan toilet 2M menjadi sarana ampuh melumpuhkan harapan mereka. Tak ada lagi yang namanya Wajib Belajar 9 Tahun. Tak ada lagi pendidikan merata bagi setiap orang. Negara menjilat ludah saktinya dalam kitab suci bernama UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945:

"Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan."/"Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya." (Pasal 31 ayat [1] dan [2]). Sudahkah adik-adik, anak-anak kita di luar sana mendapatkannya?

[caption id="" align="alignleft" width="255" caption="Kapankah Mereka Bisa Seperti Merasakan Ini? Sumber: SDIT Darul Abidin"]

[/caption]

Pada akhirnya, mereka harus menjadi anak-anak terang, menjadi cahaya bagi diri mereka sendiri. Sebab, negara dan para penguasa di negeri ini tidak (akan pernah) mampu menjadi cahaya bagi mereka. Para pemimpin di negeri ini sibuk menutupi aib yang mereka buat sendiri sambil tertawa. Para pemimpin di negeri ini sibuk bersolek dengan mobil mewah, toilet baru, dan (dengar-dengar) bakal ada parkiran motor baru di Senayan sana. Ah. Semakin jauh anak bangsa ini dari pendidikan murah dan terakses bagi seluruh golongan. Tuhan, apakah Kamu sedang mengguyoni kami saat ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun