Mohon tunggu...
Anggarian Andisetya
Anggarian Andisetya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa, sosok yang belajar menjadi dewasa di tengah-tengah dunia yang (tidak) semakin dewasa\r\n\r\nBerkediaman di Dunia Maya @ Jejak-SangManyar.Blogspot.Com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Anak-Anak Terang dan Jalanan yang Garang

8 Januari 2012   09:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:10 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://ratnaariani.wordpress.com/2010/01/04/habis-gelap-terbitlah-terang/

Mereka Seperti Lilin Sumber: Ratna Ariani "Jadilah anak-anak terang/Yang selalu tegar di setiap cobaan/Godaan... dan hari kini dan nanti

Jadilah anak-anak terang/Berbagi beban di dalam terang Tuhan..."

POTONGAN lagu Anak-Anak Terang yang begitu mengagumkan. Lagu ini begitu berkesan bagi saya sejak beberapa bulan yang lalu ketika saya mendengarnya, untuk kali pertama, dari Radio KDS 8 Malang di program lagu-lagu nostalgia mereka. Sekilas, saya berpikir lagu tersebut pure tentang anak-anak yang berjuang di tengah keterbatasan mereka. Tentang anak bangsa, bangsa Indonesia, yang berusaha tegar disela ketidakteraturan situasi multidimensional yang ada. Hingga saya akhirnya menyadari, pagi ini, bahwa "anak terang" merupakan asosiasi dari Yesus Kristus sebagai sang Juruselamat dalam ajaran kristiani serta tuntunan agar para umat kristiani menjadi "anak-anak terang" bagi kegelapan di sekitar mereka. Sedikit banyak kemudian saya paham: ini lagu (milik) umat kristiani.

Lalu? Apa lantas saya meninggalkannya dan berhenti mengagumi lagu ini? Hanya karena senandung berasal dari kaum non-muslim?

Tidak!

Ya. Itu keputusan saya. Dan, mengapa harus repot dengan asosiasi tersebut jika kita bisa "menukarnya" dengan pemaknaan, interprestasi lain? Yang lebih luas, universal. Lebih global. Dan itu akan jauh lebih bermakna (lagi).

***

Tulisan saya kali ini tidak akan menyoroti sosok Yesus karena, sebagai muslim, saya tidak begitu mengenal sosok yang berjasa dalam dunia kristiani tersebut. Kedua, akan menjadi tidak relevan dengan pijakan keislaman saya jika "mengkritisi" Yesus mengingat tidak ada kepentingan apapun yang melekat pada saya di samping kadar keilmuan saya yang tidak memungkinkan untuk membahas pribadi tersebut. Ketiga, saya tidak ingin "mengeruhkan jernihnya kolam" dan terlibat dalam suatu perdebatan antaragama yang pastinya akan muncul begitu saya membahas sosok Yesus dari sudut keagamaan saya. Dan terakhir, inspirasi tulisan ini bukan pada sosok Yesus Kristus sebagaimana disebutkan dalam Alkitab sebagai sang terang, melainkan mahakarya Suara Persaudaraan dan adik-adik saya, anak-anak kita dari Sabang sampai Merauke (sepanjang Merauke belum merdeka.pen).

[caption id="" align="alignright" width="239" caption="Mereka Harus Berjuang Meskipun Susah Sumber: Google"][/caption]

Bicara soal anak, kita pasti akan tersenyum membayangkan mereka: sosok mungil, polos. Lucu. Lugas. "Kurang ajar." Berbagai pikiran akan bermunculan ketika kita menyebutkan kata itu. Barangkali, bagi kaum ibu akan teringat pada putra-putri mereka yang setiap malam terlelap dalam pelukan mereka, minta didongengkan, minta dinyanyikan hingga mereka terpejam. Bagi kaum Adam, para bapak, mungkin teringat si sulung yang lincah bermain bola dan minta digendong sebelum sang ayah pergi ke kantor. Atau si bungsu, gadis ciliknya, yang asyik bermain masak-masakan dan "meramaikan" dapur dengan sayur-mayur yang akan dimasak sang bibi. Betapa menyenangkan membincangkan anak dan keseharian mereka. Kehidupan awal mereka yang suci dan murni. Yang tulus. Yang apa adanya. Tapi, benarkah semuanya semenyenangkan itu? Bagaimana dengan gambar di sebelah kita ini? Menyenangkankah?

Bagi kita, anak-anak adalah "kertas yang putih". Warna adalah tanggung jawab kita: ayah, ibu, kakek, nenek. Kaum kerabat. Orang-orang di "luar pagar." Kitalah yang menggoreskan warna itu dengan "pena-pena" yang kita punya. Ketika anak berperilaku baik, semua dari kita memuji dan, barangkali, mengaku bahwa itu hasil didikan kita. Bagaimana jika sebaliknya? Kambing hitam pun dicari-cari. Kalau yang hitam tak dapat, yang abu-abu pun jadi sasaran asalkan bukan kita yang disalahkan. Itulah yang terjadi pada mereka. Anak jalanan dan "anak-anak yang di-jalan-kan." Merekalah anak-anak terang itu!

***

Anak Jalanan. Siapa tak kenal mereka? Sosok dekil, kumal. Ingus mbleler tak terusapi. Berkeliaran di sepanjang jalan dan sudut-sudut kota. Malang menjadi tempat termudah bagi saya mendapati mereka. Dengan gitar seadanya, tutup botol terpaku di kayu (sebutannya kencreng). Atau dengan hanya dengan modal sepasang telapak tangan mungil mereka. Setiap hari: sejak matahari menandakan pukul 7 hingga bulan menyiratkan pukul 10 malam kita masih bisa menemukan mereka "bekerja" di perempatan-perempatan jalan, pertokoan, atau di taman kota. Hujan, mendung. Panas. Dingin. Rasanya bukan hambatan bagi mereka untuk "beraksi." Di bus antar kota yang biasa saya tumpangi setiap pulang kampung, mereka selalu hadir dengan nyanyian-nyanyian +15 meski umur mereka tak lebih dari 12 tahun, bahkan 7 tahun. Sosok mereka terpenjara antara keprihatinan dan sentimentalistik orang-orang di sekitar mereka. Tak jarang ada yang bersimpati dengan memberi mereka barang sekeping Rp. 500,- dan tak jarang pula ada yang membiarkan mereka bernyanyi hingga lampu menyala hijau dan meninggalkan mereka tanpa picingan mata. Dan mereka hanya diam. Maklum. Bocah 7 tahun.

Setiap hari berjumpa dengan mereka semacam tersudut pada perasaan iba. Kemanusiaan. Dorongan "memberi" seperti menjadi bujukan kebaikan yang menggiurkan. Di satu sisi, nilai-nilai kemandirian, anti-mengemis, pemberantasan "penyakit masyarakat" menjadi penghalang bagi tangan-tangan dermawan memberikan uang di kantong mereka pada anak-anak semacam itu. Sebuah dilema yang tak mudah untuk dituntaskan: memberi atau tidak.

Mengapa mereka harus ada di sana? Mengapa tak sekolah? Mengapa orang tua mereka "diam" saja? Dan jutaan jawaban akan bermunculan.

Secara garis besar, ada dua penyebab ketimpangan ini terjadi. Pertama, fase gelap dalam rumah tangga yang memaksa anak-anak tak beruntung seperti mereka "terlempar" ke jalanan. Situasi ini menjadikan anak harus putus sekolah dan mengabdikan masa depan mereka di jalanan demi membantu ayah ibu mereka memenuhi kebutuhan dapur. Kedua, fase abu-abu, bahkan pelangi, dalam rumah tangga yang "memaksa" mereka tumbuh di jalanan. Situasi ini lebih kepada permainan bisnis pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan mereka untuk mengeruk keuntungan materi dari sosok-sosok kecil itu. Parahnya lagi, pihak-pihak tersebut adalah orang tua mereka yang "menjual harga diri dan masa depan" anak mereka demi memperkaya diri mereka sendiri.

"Anak-Anak yang Di-Jalan-Kan." Kompasianer dan pembaca lainnya pasti bingung dengan istilah ini. Saya membuat istilah ini "terinspirasi" dari posting Saudara A. Dardiri Zubairi yang berjudul Satu Lagi Siswa Miskin Terselamatkan dan Bantuan Kompasianer yang Mengharukan. Realita seperti dalam tulisan beliau amat-sangat-langka di negeri ini. Bahkan mungkin hanya ada di madrasah tempat beliau bekerja dimana siswa yang "gagal" membayar uang sekolah dibebaskan dari kewajiban tersebut. Bagaimana dengan sekolah lainnya? Adakah fenomena semacam itu? Dan anak-anak semacam itulah yang saya sebut anak-anak yang di-jalan-kan.

Pengertian "di-jalan-kan" tidak sama dengan "dijalankan." "Di-jalan-kan" menekankan kepada suatu persepsi mengenai sosok individu, atau kelompok, tertentu yang terasingkan dari asas kesamaan dan kebersamaan. Anak-anak yang di-jalan-kan mengacu kepada anak-anak yang gagal menempatkan kedudukan mereka di masyarakat akibat kapasitas ekonomi yang tumpul dan menimbulkan pengacuhan dari bidang-bidang kehidupan. Mereka "dipaksakan takdirnya di jalanan." Demikian yang terjadi pada anak-anak bangsa ini, yang lemah secara finansial.

Muhamad Rizky Firdaus tak pernah berprasangka buruk, mungkin, ketika dirinya ditolak masuk sebuah SMP RSBI di daerah Bandung. Alasannya simpel. Tak punya laptop. Hanya gara-gara benda sialan itu satu anak bangsa kehilangan peluang untuk memperoleh pendidikan yang lebih layak. Di sinilah bentuk-bentuk diskriminasi terhadap anak-anak seperti Rizky. Keterbatasan materi menjadi alasan utama untuk mengebiri hak anak dan "menyuruh" mereka bergabung di jalanan bersama anak-anak jalanan, yang sejati. Kasus Rizky hanya satu di antara sekian puluh, ratus, bahkan mungkin ribu lainnya di luar sana meskipun dengan alur tragedi yang berbeda.

Wahyu Hidaytullah, serupa namun tak sama dengan Rizky. Wahyu gagal masuk kelas akselerasi sebuah SMA di Bandar Lampung gara-gara hanya menyanggupi uang sumbangan pembangunan sebesar Rp. 5 juta. SMA yang bermerk RSBI tersebut menjadi halilintar yang menampar semangat Wahyu. Seberapa banyak lagi kegilaan ini harus dilakukan?

***

Bagaimana? Apakah para kompasianer dan pembaca lainnya sepakat dan mengakui keadaan di atas? Harus! Ya. Harus. Perisitiwa semacam itu bukan lagi cerita baru di jagat "hiburan" dunia pendidikan kita. Dan RSBI menjadi agenda yang memuluskan ketimpangan-ketimpangan semacam itu. Jika sekolah swasta yang melakukan "mutilasi nasib" semacam itu barangkali dapat dimaklumi mengingat pendanaan yang bersifat mandiri dan partisipatif dari siswa dan orang tuanya. Namun, ini sekolah negeri, Kawan! Negara yang melaksanakan agenda pendidikan ini. Bagaimana bisa melakukan tebang pilih semacam ini? Eits, tunggu dulu! Negara? Negara atau Aparatur Negara? Pelaksana organ-organ negara, dalam hal ini para aktor dunia pendidikan? Sama saja!

Anak jalanan dan "anak-anak yang di-jalan-kan" menjadi realita paling kelam yang bertahun-tahun tak pernah terselesaikan. Berkali-kali pemilu diselenggarakan, berkali-kali parlemen dan istana disuksesi. Hasil? Nihil.

Pertumbuhan ekonomi kita, sekitar 6,6%, dan bahkan didaulat sebagai pertumbuhan tertinggi di ASEAN, tidak mampu membuat anak-anak seperti mereka turut tumbuh dalam naungan cahaya harapan dan pijar-pijar masa depan yang menghangatkan jiwa. Mereka, tetap sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tergeletak di jalan dengan kekumalan dan nyanyian sengau mereka serta tersisihkan dari kompetisi. Mereka tetap menggadaikan harga diri mereka demi Rp. 500,-. Ah. Inikah yang namanya pertumbuhan?

Kekayaan alam Indonesia tak mampu dinikmati oleh anak-anak yang esok akan menghiasi negeri ini dengan pengabdian. Mereka terlanjur dipinggirkan, meski di antaranya ada yang meminggirkan diri setelah sadar betul: negara tak peduli pada mereka. Maka, pengabdian mereka nantinya tak ubah seperti pengabdian kuli. Pengabdian budak pada juragan-juragan kapitalis mereka. Negara ini menjadi sarang industri yang membuat mati kehidupan rakyatnya sendiri. Investasi tak berbanding lurus dengan kemakmuran. Memang: ada gula, ada semut. Sayangnya, kita lupa bahwa kita juga "semut" yang berhak atas "gula" di tanah pertiwi kita. Ketika "semut-semut seberang" diimpor, "semut pribumi" akan tersingkir. Mereka akan mencari remah-remah di antara tumpukan barang jadi. Barang bermerek. Barang high class. Mereka hanya bisa memandang ke langit dan bertanya: untuk apa negara kami merdeka jika kami "masih" terjajah? Dan, itu pula yang digemakan adik-adik, anak-anak kita di seantero negeri ini.

Kegagalan RSBI menjadi kabar suka sekaligus duka bagi saya. Kabar suka karena berita tersebut menjadi peneguh keyakinan saya bahwa: sikap sok kebaratan adalah awal dari kehancuran. Internasional? Apakah pendidikan nasional kita buruk hingga harus mencanangkan sekolah bertaraf internasional? Bukankah kita mesti menggali konsep pendidikan nasional kita sehingga mampu berdiri sendiri dengan jati diri sebagai bangsa Indonesia, alur pemikiran dan konsep pendidikan yang orisinil? Apakah sebegitu bobroknya pendidikan nasional kita hingga harus mengadopsi pendidikan internasional? Atau jangan-jangan konsep pendidikan kita ini tertular para artis-artis muda kita yang telah dan bersiap go international, seperti Anggun C. Sasmi dan Agnes Monica?

Menjadi berita duka karena kita telah berlama-lama meninggalkan jati diri kita dengan mengenakan topeng, bernama RSBI, dan lantas menemui kegagalan karenanya. Bertahun-tahun menjadi rintisan, berkali-kali makan hati, beratus kali menebar mimpi, dan berjuta-juta kali memajang janji. Hasilnya? Program RSBI Gagal Total. Begitu tulis sebuah media massa.

Kegagalan ini tidak hanya dilihat dari SDM guru yang minim sarjana S-2, namun lebih kepada alur pelaksanaan program yang lebih kepada pencitraan sekolah dan ajang pemerkaya diri sendiri. Situasi ini jelas merugikan bagi anak-anak yang terisolir dari pendidikan. Di sekolah umum (non-RSBI) saja mereka kesulitan, apalagi masuk sekolah RSBI? Mereka terpaksa (atau dipaksa?) tunduk pada sistem yang tak bisa mereka lawan. Mereka hanyut bersama arus. Hanyut. Hanyut. Sebelum akhirnya tenggelam ditelan persaingan yang buntung.

Anak jalanan dan "anak-anak yang di-jalan-kan" hanya menginginkan terpenuhi hak mereka sebagai anak. Mereka ingin masa depan yang sama dengan anak-anak lainnya. Mereka ingin merasakan bangku sekolah dan buku-buku perpustakaan yang menjadi jendela bagi kegelapan wawasan mereka. Mereka ingin merasakan spidol dan papan tulis tempat mereka menulis jawaban dari pekerjaan rumah mereka semalam. Mereka ingin menikmati suara bapak ibu guru yang dengan sabar menunjuki mereka apa itu ilmu, apa itu akal, dan apa itu budi pekerti.

Mereka sama-sama ingin merasakan kesuksesan dan kebahagiaan sebagai seorang yang berilmu. Sayang, harapan mereka mesti dibuang ke kantong sampah. RSBI dan toilet 2M menjadi sarana ampuh melumpuhkan harapan mereka. Tak ada lagi yang namanya Wajib Belajar 9 Tahun. Tak ada lagi pendidikan merata bagi setiap orang. Negara menjilat ludah saktinya dalam kitab suci bernama UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945:

"Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan."/"Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya." (Pasal 31 ayat [1] dan [2]). Sudahkah adik-adik, anak-anak kita di luar sana mendapatkannya?

[caption id="" align="alignleft" width="255" caption="Kapankah Mereka Bisa Seperti Merasakan Ini? Sumber: SDIT Darul Abidin"]

[/caption]

Pada akhirnya, mereka harus menjadi anak-anak terang, menjadi cahaya bagi diri mereka sendiri. Sebab, negara dan para penguasa di negeri ini tidak (akan pernah) mampu menjadi cahaya bagi mereka. Para pemimpin di negeri ini sibuk menutupi aib yang mereka buat sendiri sambil tertawa. Para pemimpin di negeri ini sibuk bersolek dengan mobil mewah, toilet baru, dan (dengar-dengar) bakal ada parkiran motor baru di Senayan sana. Ah. Semakin jauh anak bangsa ini dari pendidikan murah dan terakses bagi seluruh golongan. Tuhan, apakah Kamu sedang mengguyoni kami saat ini?

Di akhir tulisan ini, saya hanya menyarankan kepada siapa saya yang menyempatkan diri membaca tulisan ini: jangan pernah meremehkan mereka! Ya. Anak-anak jalanan dan mereka yang "dibuang" ke jalanan karena kekacauan sistem kita saat ini. Kitalah yang mencetak mereka menjadi seperti itu. Waspadalah! Mereka akan menjadi bom waktu yang menyasar ke rumah-rumah kita, ke koran dan televisi. Mereka akan menyelinap ke dalam hati kita. Mengetuki hati nurani kita dan, ketika kita tak mau lagi menghiraukannya, mereka akan bawa api revolusi tumpah di negeri kita. Untuk kali kedua. Sudah siapkah kita?

***

"Jadilah anak-anak terang/Yang selalu tegar di setiap cobaan/Godaan... dan hari kini dan nanti Jadilah anak-anak terang/Berbagi beban di dalam terang Tuhan..."

Alangkah manisnya lagu ini: jika menjadi kenyataan...

-SALAM-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun