Mohon tunggu...
Anggarian Andisetya
Anggarian Andisetya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa, sosok yang belajar menjadi dewasa di tengah-tengah dunia yang (tidak) semakin dewasa\r\n\r\nBerkediaman di Dunia Maya @ Jejak-SangManyar.Blogspot.Com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Anak-Anak Terang dan Jalanan yang Garang

8 Januari 2012   09:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:10 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Anak Jalanan. Siapa tak kenal mereka? Sosok dekil, kumal. Ingus mbleler tak terusapi. Berkeliaran di sepanjang jalan dan sudut-sudut kota. Malang menjadi tempat termudah bagi saya mendapati mereka. Dengan gitar seadanya, tutup botol terpaku di kayu (sebutannya kencreng). Atau dengan hanya dengan modal sepasang telapak tangan mungil mereka. Setiap hari: sejak matahari menandakan pukul 7 hingga bulan menyiratkan pukul 10 malam kita masih bisa menemukan mereka "bekerja" di perempatan-perempatan jalan, pertokoan, atau di taman kota. Hujan, mendung. Panas. Dingin. Rasanya bukan hambatan bagi mereka untuk "beraksi." Di bus antar kota yang biasa saya tumpangi setiap pulang kampung, mereka selalu hadir dengan nyanyian-nyanyian +15 meski umur mereka tak lebih dari 12 tahun, bahkan 7 tahun. Sosok mereka terpenjara antara keprihatinan dan sentimentalistik orang-orang di sekitar mereka. Tak jarang ada yang bersimpati dengan memberi mereka barang sekeping Rp. 500,- dan tak jarang pula ada yang membiarkan mereka bernyanyi hingga lampu menyala hijau dan meninggalkan mereka tanpa picingan mata. Dan mereka hanya diam. Maklum. Bocah 7 tahun.

Setiap hari berjumpa dengan mereka semacam tersudut pada perasaan iba. Kemanusiaan. Dorongan "memberi" seperti menjadi bujukan kebaikan yang menggiurkan. Di satu sisi, nilai-nilai kemandirian, anti-mengemis, pemberantasan "penyakit masyarakat" menjadi penghalang bagi tangan-tangan dermawan memberikan uang di kantong mereka pada anak-anak semacam itu. Sebuah dilema yang tak mudah untuk dituntaskan: memberi atau tidak.

Mengapa mereka harus ada di sana? Mengapa tak sekolah? Mengapa orang tua mereka "diam" saja? Dan jutaan jawaban akan bermunculan.

Secara garis besar, ada dua penyebab ketimpangan ini terjadi. Pertama, fase gelap dalam rumah tangga yang memaksa anak-anak tak beruntung seperti mereka "terlempar" ke jalanan. Situasi ini menjadikan anak harus putus sekolah dan mengabdikan masa depan mereka di jalanan demi membantu ayah ibu mereka memenuhi kebutuhan dapur. Kedua, fase abu-abu, bahkan pelangi, dalam rumah tangga yang "memaksa" mereka tumbuh di jalanan. Situasi ini lebih kepada permainan bisnis pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan mereka untuk mengeruk keuntungan materi dari sosok-sosok kecil itu. Parahnya lagi, pihak-pihak tersebut adalah orang tua mereka yang "menjual harga diri dan masa depan" anak mereka demi memperkaya diri mereka sendiri.

"Anak-Anak yang Di-Jalan-Kan." Kompasianer dan pembaca lainnya pasti bingung dengan istilah ini. Saya membuat istilah ini "terinspirasi" dari posting Saudara A. Dardiri Zubairi yang berjudul Satu Lagi Siswa Miskin Terselamatkan dan Bantuan Kompasianer yang Mengharukan. Realita seperti dalam tulisan beliau amat-sangat-langka di negeri ini. Bahkan mungkin hanya ada di madrasah tempat beliau bekerja dimana siswa yang "gagal" membayar uang sekolah dibebaskan dari kewajiban tersebut. Bagaimana dengan sekolah lainnya? Adakah fenomena semacam itu? Dan anak-anak semacam itulah yang saya sebut anak-anak yang di-jalan-kan.

Pengertian "di-jalan-kan" tidak sama dengan "dijalankan." "Di-jalan-kan" menekankan kepada suatu persepsi mengenai sosok individu, atau kelompok, tertentu yang terasingkan dari asas kesamaan dan kebersamaan. Anak-anak yang di-jalan-kan mengacu kepada anak-anak yang gagal menempatkan kedudukan mereka di masyarakat akibat kapasitas ekonomi yang tumpul dan menimbulkan pengacuhan dari bidang-bidang kehidupan. Mereka "dipaksakan takdirnya di jalanan." Demikian yang terjadi pada anak-anak bangsa ini, yang lemah secara finansial.

Muhamad Rizky Firdaus tak pernah berprasangka buruk, mungkin, ketika dirinya ditolak masuk sebuah SMP RSBI di daerah Bandung. Alasannya simpel. Tak punya laptop. Hanya gara-gara benda sialan itu satu anak bangsa kehilangan peluang untuk memperoleh pendidikan yang lebih layak. Di sinilah bentuk-bentuk diskriminasi terhadap anak-anak seperti Rizky. Keterbatasan materi menjadi alasan utama untuk mengebiri hak anak dan "menyuruh" mereka bergabung di jalanan bersama anak-anak jalanan, yang sejati. Kasus Rizky hanya satu di antara sekian puluh, ratus, bahkan mungkin ribu lainnya di luar sana meskipun dengan alur tragedi yang berbeda.

Wahyu Hidaytullah, serupa namun tak sama dengan Rizky. Wahyu gagal masuk kelas akselerasi sebuah SMA di Bandar Lampung gara-gara hanya menyanggupi uang sumbangan pembangunan sebesar Rp. 5 juta. SMA yang bermerk RSBI tersebut menjadi halilintar yang menampar semangat Wahyu. Seberapa banyak lagi kegilaan ini harus dilakukan?

***

Bagaimana? Apakah para kompasianer dan pembaca lainnya sepakat dan mengakui keadaan di atas? Harus! Ya. Harus. Perisitiwa semacam itu bukan lagi cerita baru di jagat "hiburan" dunia pendidikan kita. Dan RSBI menjadi agenda yang memuluskan ketimpangan-ketimpangan semacam itu. Jika sekolah swasta yang melakukan "mutilasi nasib" semacam itu barangkali dapat dimaklumi mengingat pendanaan yang bersifat mandiri dan partisipatif dari siswa dan orang tuanya. Namun, ini sekolah negeri, Kawan! Negara yang melaksanakan agenda pendidikan ini. Bagaimana bisa melakukan tebang pilih semacam ini? Eits, tunggu dulu! Negara? Negara atau Aparatur Negara? Pelaksana organ-organ negara, dalam hal ini para aktor dunia pendidikan? Sama saja!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun