Penulis : Jefta Ramschie.
Budaya senioritas di lingkungan pendidikan kini memakan korban lagi. Dilansir dari BBC News, kekerasan yang dilakukan senior terhadap taruna sekolah tinggi ilmu pelayaran (STIP) berujung pada kematian.Â
Tegar Rafi Sanjaya (21), taruna tingkat dua STIP dengan tega menganiaya Putu Satria Ananta Rustika (19) taruna tingkat 1 STIP hingga tewas. Lingkungan yang seharusnya menjadi tempat yang nyaman dan aman dalam menuntut ilmu, kini dijadikan sebagai ajang "smack down" oleh para senior.
Pasal 1 "Senior selalu benar"; Pasal 2 "Jika senior didapati melakukan kesalahan, maka wajib hukumnya kembali ke Pasal 1." Demikian bunyi Pasal ngaur yang selalu diperkatakan oleh senior kepada junior.
Berdasarkan hasil otopsi yang dilakukan oleh kepolisian, ditemukan bahwa korban sempat dipukul 5 kali di bagian ulu hati/perut sampai akhirnya korban jatuh pingsan hingga meninggal dunia.
Penganiayaan yang dilakukan oleh senior terhadap junior di lingkungan pendidikan, kini seakan-akan menjadi hal yang lumrah. Padahal seperti yang diketahui, penganiayaan juga merupakan bagian dari perundungan dan tergolong sebagai tindak pidana.
 Lantas, apa yang menjadi dasar yang seolah-olah melegetimasi aksi "senioritas" yang membabi-buta tersebut? Berikut ulasannya.
Pengertian senioritas.
Senioritas merupakan sebuah sistem sosial yang lahir dari kebiasaan menempatkan senior harus mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi, dan memiliki hak "prerogatif" untuk mengatur para junior. Merujuk pada pengertian tersebut, maka wajib hukumnya para junior untuk menghormati senior mereka.
Jika ditelisik, senioritas juga memiliki sisi positif dalam menjalankan suatu roda organisasi ataupun juga kedudukannya dalam instansi pendidikan.Â
Hal ini tentunya berkaitan dengan kondisi psikologis junior yang masih belum bisa untuk beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga peran senior dalam memberikan bimbingan pun merupakan sesuatu yang penting.
Dilihat dari penjelasan di atas, maka bisa disimpulkan bahwa sejatinya senioritas merupakan sebuah sistem yang memiliki pengaruh positif. Namun sayangnya, sistem ini sering disalahgunakan oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab yang ingin memanfaatkan keadaan untuk mendapatkan keuntungan bagi mereka.
Budaya penganiayaan senioritas dalam perspektif kriminologi.
Secara etimologis, kriminologi berasal dari bahasa Yunani yaitu crimen yang memiliki arti kejahatan, dan logos yang memiliki arti pengetahuan.
 Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Kriminologi adalah cabang ilmu hukum yang mempelajari tentang kejahatan. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh seorang antropolog Perancis yaitu Paul Topilard.
Terkait dengan pengertian kriminologi di atas, beberapa ahli hukum pun mendefinisikan pengertian kriminologi, sebagai berikut :
Sutherland berpendapat bahwa Kriminologi sebagai suatu disiplin ilmu merupakan suatu kesatuan pengetahuan ilmiah mengenai kejahatan sebagai gejala sosial dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan maupun pengertian mengenai masalah kejahatan, dalam mempelajari dan menganalisa pola-pola yang berhubungan dengan kejahatan dan sanksi sosial yang akan didapatkan ketika seseorang melakukan kejahatan.
Sholmo shohan berpendapat bahwa kriminologi mengambil konsep dasar dari ilmu tingkah laku manusia dan lebih luas lagi dari nilai-nilai historis dan sosiologis dari hukum pidana.
Noach juga mengklasifikasikan pengertian kriminologi dalam arti yang sempit dan luas, yaitu :
Dalam arti sempit, kriminologi merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari hubungan kausalitas yang melatarbelakangi dilakukannya suatu perbuatan yang buruk.
Dalam arti luas, kriminologi merupakan ilmu yang menggunakan ilmu alam ataupun ilmu-ilmu yang lain, seperti ilmu kedokteran kehakiman yang juga terbagi atas ilmu yang mempelajari tentang sidik jari (daktiloskopi) dan ilmu yang mempelajari tentang senyawa racun (toksikologi).
Dalam penerapannya, secara garis besar objek dasar kriminologi terbagi atas 3 bagian, yaitu perbuatan pidana (kejahatan), pelaku kejahatan dan reaksi masyarakat terhadap perbuatan pidana ataupun pelaku pidana itu sendiri.
Untuk mengatasi permasalahan penganiayaan yang melibatkan senioritas, seyogyanya pihak STIP harus menemukan penyebab yang melatarbelakangi hal ini terjadi. Sehingga, dapat menentukan arah penggunaan kebijakan dalam hal pencegahan ataupun penanggulangan perbuatan tersebut.
Merujuk dari ulasan singkat di atas, maka berikut ini ulasan terkait dengan penganiayaan yang dilakukan senioritas dalam perspektif kriminologi.
Penganiayaan merupakan suatu tindak pidana, sebagaimana di atur dalam regulasi hukum di Indonesia.
Terkait dengan tindak kekerasan, terdapat 2 faktor utama yang melatar belakangi seseorang dalam lingkaran "senioritas" melakukan tindakan kekerasan, antara lain :
- Traumatis masa lalu.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh ahli psikologi, seseorang berpotensi untuk mengulangi pengalaman yang pernah dialaminya di masa lalu.Â
Jika ditarik kedalam konteks tradisi sekolah ikatan dinas, maka tradisi "memukul" ini merupakan warisan yang diturunkan senior kepada junior. Hal ini yang akan membuat senior mengulangi tindakan kekerasan, berdasarkan traumatis masa lalu yang pernah dialaminya.
Hal ini tentunya perlu mendapat perhatian ekstra dari pihak STIP, guna menentukan arah kebijakan dalam penanganan masalah ini. Pihak STIP harus dengan tuntas menyelesaikan persoalan "kurikulum tersembunyi" yang dijalankan oleh senior, agar kedepannya tidak ada taruna yang memiliki traumatis masa lalu untuk dijadikan sebagai ajang balas dendam bagi taruna-taruna yang lain.
- Lemahnya manajemen dan pengawasan institusi terkait.
Tindak pidana kekerasan marak terjadi di lingkungan institusi pendidikan dengan ikatan dinas. Hal ini dikarenakan minimnya pengawasan dari pihak internal instansi terhadap seluruh aktivitas yang terjadi didalamnya.Â
Berkaca dari kejadian ini, seyogyanya pihak STIP dapat membenahi sistem manajemen pendidikan, pengawasan, dan pembinaan, baik dari sisi kurikulum, pengasuhan dan tata hidup di asrama. Sehingga, kejadian seperti ini tidak terulang lagi.
Jerat pidana pelaku penganiayaan.
Dalam hukum positif di Indonesia, tindakan penganiayaan tergolong sebagai perbuatan pidana. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 351 :Â
 (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah.Â
(Jumlah denda telah dilipatgandakan 1000x, sehingga denda tersebut bernilai empat juta lima ratus rupiah. Hal ini sebagaimana di atur dalam Pasal 3 Perma Nomor 2 Tahun 2012)
(2) Jika perbuatan itu menimbulkan luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan mati, maka diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
(4) Dengan Penganiayaan disamakan merusak kesehatan.
(5) Percobaan melakukan kejahatan ini, tidak dipidana.
Unsur-Unsur Pasal Penganiayaan (351 KUHP).
Terkait dengan penjabaran unsur Pasal 351 KUHP, Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan bahwa undang-undang tidak memberikan penjelasan secara eksplisit tentang apa yang dimaksud dengan penganiayaan.
Namun berdasarkan yurisprudensi (putusan hakim terdahulu), penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan secara sengaja yang berimplikasi pada perasaan tidak enak/penderitaan, menimbulkan rasa sakit, menimbulkan luka, dan sengaja merusak kesehatan orang (Pasal 351 ayat 4).
Soesilo juga memberikan contoh konkrit dari perbuatan-perbuatan tersebut, yaitu :
a. Perasaan tidak enak misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah, menyuruh orang berdiri dibawah terik matahari, dan sebagainya;
b. Rasa sakit misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya;
c. Luka misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau, dan lain-lain;
d. Merusak Kesehatan misalnya orang itu sedang tidur, dan berkeringat, dibuka jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin.
Dalam kaitannya dengan kasus penganiayaan yang dilakukan oleh senior Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran, maka dapat dilihat bahwa perbuatan yang dilakukan senior tersebut telah memenuhi unsur pasal 351 tentang penganiayaan, sebagaimana termuat dalam yurisprudensi yang telah dipaparkan di atas.Â
Berdasarkan bunyi Pasal di atas, maka jerat pidana terhadap senior tersebut yaitu menggunakan Pasal 351 ayat (3) KUHP, yang karena perbuatannya tersebut menyebabkan tewasnya korban.
Dengan demikian, maka dapat  disimpulkan bahwa manajemen dan pengawasan internal instansi terkait merupakan hal krusial dalam menjalankan sistem pendidikan.Â
Dengan diperbaikinya sistem ini, maka diharapkan akan meminimalisir kejadian seperti ini terulang kembali di masa yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H