Hadirnya bentuk penyelenggaraan pendidikan inklusif memberikan kesempatan yang
sama bagi setiap anak dengan berbagai latar belakang untuk dapat mengakses pendidikan
(Sutisna et al., 2020). Pendidikan inklusif adalah suatu sistem pendidikan yang mewujudkan
pendidikan untuk semua dengan cara menggabungkan anak-anak berkebutuhan khusus
untuk belajar bersama di dalam satu lingkungan dengan anak-anak normal (Murniarti &
Anastasia, 2016). Pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai terciptanya langkah menghargai
keberagaman semua warga negara tanpa adanya diskriminasi. Sekolah dasar merupakan
salah satu jenjang pendidikan yang di dalamnya terdapat pelaksanaan pendidikan anak usia
dini. Batasan anak usia dini sesuai definisi dari National Association for the Education of Young
Children (NAEYC) adalah anak yang berada pada rentang 0 tahun (sejak lahir) sampai usia 8
tahun dan terdapat program pendidikan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh
anak (Jackman, 2012; Vanagosi, 2016). Anak yang memiliki rentang usia 7 hingga 8 tahun
umumnya berada di kelas 1 dan 2 sekolah dasar.
Anak usia dini dengan batasan usia paling tinggi adalah 8 tahun dapat berada di kelas
rendah sekolah dasar yaitu kelas 1 dan 2. Sekolah dasar juga terdapat siswa berkebutuhan
khusus. Tipe-tipe siswa berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi adalah beragam.
Beberapa siswa berkebutuhan khusus ada yang dapat diidentifikasi dengan mudah karena
memiliki karakteristik yang dapat diamati, seperti siswa-siswa yang mengalami hambatan
fisik (Mahabbati, 2010). Namun, banyak juga yang tidak mudah untuk diidentifikasi
karakteristiknya hanya dengan melakukan pengamatan sekilas, seperti siswa berbakat
istimewa, siswa berkesulitan belajar spesifik, dan siswa dengan gangguan emosi dan perilaku.
Siswa dengan gangguan emosi dan perilaku memiliki karakteristik yang sama dengan
perilaku anak-anak pada umumnya, seperti perilaku tidak mengikuti perintah/instruksi,
berkelahi, perilaku merusak, perilaku agresif verbal, serta penyendiri (Elisabeth, 2020; Kim &
Choe, 2022). Di beberapa sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusi di kota
Yogyakarta, terdapat karakteristik perilaku yang sama antara siswa dengan gangguan emosi
dan perilaku dan anak-anak pada umumnya. Perilaku yang ditunjukkan adalah perilaku
eksternal yaitu perilaku agresif verbal dan fisik. Salah satu siswa yang awalnya tidak
melakukan perilaku agresif (verbal), menjadi melakukan perilaku agresif verbal karena
mencontoh siswa yang melakukan perilaku agresif verbal. Siswa berkata kasar saat ada
temannya yang mengejek nama orang tuanya. Beberapa karakteristik tersebut menyebabkan
siswa-siswa yang beresiko gangguan emosi dan perilaku cenderung sulit terdeteksi atau
bahkan tidak terdeteksi sehingga layanan pendidikan yang diberikan adalah sama dengan
siswa-siswa lainnya. Keberadaan siswa-siswa yang memiliki gangguan emosi dan perilaku
juga mendapatkan respon sosial dari warga sekolah yang kurang tepat karena karakteristik
yang dimiliki. Salah satu respon dari teman di sekolah yaitu tidak diterima dalam kelompok
sebaya (Sari, 2015).
Siswa-siswa yang memiliki gangguan emosi dan perilaku memiliki kegagalan
akademik ditunjukkan dengan hasil belajar yang rendah bahkan terdapat kasus siswa yang
dikeluarkan dari sekolah (Vaughn & Bos, 2009; Colomer et al., 2017; Downs et al., 2019; Ennis
et al., 2012; Lane, 2007; Zolkoski, 2019). Defisit pada bidang matematika dan kegagalan dalam
membaca memiliki hubungan dengan perilaku tidak sesuai dengan norma yang berlaku di
lingkungannya (Ennis et al., 2012). Siswa dengan gangguan emosi dan perilaku menunjukkan
kendala yang beragam dalam belajar yang dimanifestasikan dalam bentuk perilaku tidak
sesuai. Perilaku-perilaku tidak sesuai muncul di kelas dan dianggap sebagai perilaku yang
menantang bagi guru, seperti kehilangan fokus dalam instruksi akademik (Jolivette & Steed,
2010; Lane, 2007). Siswa mudah terganggu fokusnya terhadap instruksi yang diberikan oleh
guru (Vaughn & Bos, 2009; Downs et al., 2019).
Perilaku tidak sesuai lainnya adalah perilaku hiperaktif yang dapat muncul di kelas.
Beberapa siswa dengan gangguan emosi dan perilaku terlalu aktif ketika mengikuti
pembelajaran ditunjukkan dengan perilaku tidak dapat bertahan duduk dalam waktu yang lama (Vaughn & Bos, 2009). Perilaku hiperaktif gangguan emosi dan perilaku salah satu siswa
sekolah dasar di kota Yogyakarta ditunjukkan oleh siswa yang sudah didiagnosa ADHD
berdasarkan hasil asesmen dari salah satu lembaga psikologi. Siswa dengan ADHD tersebut
berada di kelas 1 sekolah dasar dengan usia 7 tahun. Siswa berpindah-pindah tempat duduk
di dalam kelas dari tugas satu ke tugas lainnya atau dalam pergantian waktu tertentu. Perilaku
hiperaktif siswa ADHD tersebut juga diikuti oleh perilaku lainnya seperti perilaku agresif baik
verbal maupun fisik.
Bentuk-bentuk perilaku agresif antara lain berkelahi, menendang, terlibat dalam
perkelahian, dan menyinggung atau mengancam teman yang merupakan perilaku agresif
verbal (Yumpi R., 2017). Perilaku-perilaku tersebut muncul ketika jam pembelajaran dan di
luar jam pembelajaran sehingga terjadi konflik antar teman bahkan terhadap guru dan orang
lain di sekolah (Marlina, 2015). Namun, karakteristik perilaku yang berbeda yaitu perilaku
menarik diri dari lingkungan juga dapat muncul. Perilaku menarik diri termasuk perilaku
internal, seperti siswa pemalu yang hanya memiliki satu atau dua teman dan jarang
berinteraksi dengan teman, guru dan orang lain (Carroll & Hurry, 2018; Zweers et al., 2019).
Siswa dengan gangguan emosi dan perilaku memiliki keterlibatan akademik yang
cukup menarik perhatian yaitu sering gagal memenuhi akademik dan perilaku sosial yang
sesuai di kelas (Al-Hendawi, 2012). Kegagalan dalam perilaku sosial antara lain siswa sulit
berhubungan dengan teman sebaya dan orang dewasa di lingkungan sekolah. Perilakuperilaku yang tidak sesuai dengan norma di masyarakat menjadi salah satu alasan mengapa
siswa dengan gangguan emosi dan perilaku sering tidak diterima dalam kelompok sebaya.
Perilaku eksternal menjadi salah satu alasan lingkungan sekitar tidak menerima keberadaan
siswa dengan gangguan emosi dan perilaku. Bahaya secara fisik dapat terjadi karena perilaku
berkelahi, menendang dan memukul. Akibatnya, kesempatan siswa yang memiliki gangguan
emosi dan perilaku untuk terlibat dalam kegiatan di lingkungan sosial menjadi berkurang
(Maharani & Puspitasari, 2019).
Penelitian tentang siswa dengan gangguan emosi dan perilaku di sekolah telah banyak
dilakukan. Anak-anak yang didiagnosis memiliki gangguan mental meliputi ADHD dan
gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas adalah sebanyak 3% - 5% di seluruh dunia
berdasarkan data dari National Institute of Mental Health (NIMH) (KMHO, 2019). Data dari
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi gangguan
mental emosional pada penduduk berumur kurang dari atau sama dengan 15 tahun lebih
banyak jumlahnya pada tahun 2018 dibandingkan pada tahun 2013 (Kemenkes RI, 2018).
Artinya prevalensi anak-anak yang memiliki gangguan mental emosional meningkat dari
tahun 2013 hingga tahun 2018 dengan usia 15 tahun yang merupakan usia sekolah. Masalah
gangguan emosi dan perilaku ditemukan pada anak usia sekolah di kota Salatiga pada tahun
2019 sebanyak 53,5% yaitu memiliki masalah dengan teman sebaya (27%) dan permasalahan
emosional (20,7%) (Prihatiningsih & Wijayanti, 2019). Masalah emosi dan perilaku juga
banyak dijumpai pada anak yang terlibat bullying dibandingkan dengan anak-anak yang tidak
terlibat dengan bullying di sekolah (Soedjatmiko et al., 2016).
Siswa dengan gangguan emosi dan perilaku yang telah terdiagnosis dan telah
terdeteksi biasanya mendapatkan layanan pendidikan di sekolah khusus dan sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif sebagai siswa atau peserta didik (Mahabbati, 2006).
Namun, jika siswa-siswa dengan gangguan emosi dan perilaku berada di sekolah dasar belum
terdeteksi, maka menjadi sebuah persoalan. Keberadaan siswa yang memiliki perilakuperilaku bermasalah yang mengarah pada karakteristik gangguan emosi dan perilaku menjadi
tersamarkan. Perilaku bermasalah yang dilakukan siswa dengan gangguan emosi dan
perilaku sering kali mirip dengan perilaku bermasalah yang dilakukan anak-anak normal
pada usia yang sama. Sulit terdeteksinya siswa dengan gangguan emosi dan perilaku
mengakibatkan terjadinya kesalahan pemberian layanan yang sesuai dengan kebutuhan siswa
di sekolah dasar. Layanan pendidikan yang diberikan kepada siswa yang belum terdeteksi
gangguan emosi dan perilaku menjadi disamakan oleh guru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H