Mohon tunggu...
Jefara Saputra
Jefara Saputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi saya membaca dan berenang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Gangguan dalam perkembangan sosial emosional

20 Januari 2025   08:45 Diperbarui: 20 Januari 2025   08:45 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hadirnya bentuk penyelenggaraan pendidikan inklusif memberikan kesempatan yang

sama bagi setiap anak dengan berbagai latar belakang untuk dapat mengakses pendidikan

(Sutisna et al., 2020). Pendidikan inklusif adalah suatu sistem pendidikan yang mewujudkan

pendidikan untuk semua dengan cara menggabungkan anak-anak berkebutuhan khusus

untuk belajar bersama di dalam satu lingkungan dengan anak-anak normal (Murniarti &

Anastasia, 2016). Pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai terciptanya langkah menghargai

keberagaman semua warga negara tanpa adanya diskriminasi. Sekolah dasar merupakan

salah satu jenjang pendidikan yang di dalamnya terdapat pelaksanaan pendidikan anak usia

dini. Batasan anak usia dini sesuai definisi dari National Association for the Education of Young

Children (NAEYC) adalah anak yang berada pada rentang 0 tahun (sejak lahir) sampai usia 8

tahun dan terdapat program pendidikan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh

anak (Jackman, 2012; Vanagosi, 2016). Anak yang memiliki rentang usia 7 hingga 8 tahun

umumnya berada di kelas 1 dan 2 sekolah dasar.

Anak usia dini dengan batasan usia paling tinggi adalah 8 tahun dapat berada di kelas

rendah sekolah dasar yaitu kelas 1 dan 2. Sekolah dasar juga terdapat siswa berkebutuhan

khusus. Tipe-tipe siswa berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi adalah beragam.

Beberapa siswa berkebutuhan khusus ada yang dapat diidentifikasi dengan mudah karena

memiliki karakteristik yang dapat diamati, seperti siswa-siswa yang mengalami hambatan

fisik (Mahabbati, 2010). Namun, banyak juga yang tidak mudah untuk diidentifikasi

karakteristiknya hanya dengan melakukan pengamatan sekilas, seperti siswa berbakat

istimewa, siswa berkesulitan belajar spesifik, dan siswa dengan gangguan emosi dan perilaku.

Siswa dengan gangguan emosi dan perilaku memiliki karakteristik yang sama dengan

perilaku anak-anak pada umumnya, seperti perilaku tidak mengikuti perintah/instruksi,

berkelahi, perilaku merusak, perilaku agresif verbal, serta penyendiri (Elisabeth, 2020; Kim &

Choe, 2022). Di beberapa sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusi di kota

Yogyakarta, terdapat karakteristik perilaku yang sama antara siswa dengan gangguan emosi

dan perilaku dan anak-anak pada umumnya. Perilaku yang ditunjukkan adalah perilaku

eksternal yaitu perilaku agresif verbal dan fisik. Salah satu siswa yang awalnya tidak

melakukan perilaku agresif (verbal), menjadi melakukan perilaku agresif verbal karena

mencontoh siswa yang melakukan perilaku agresif verbal. Siswa berkata kasar saat ada

temannya yang mengejek nama orang tuanya. Beberapa karakteristik tersebut menyebabkan

siswa-siswa yang beresiko gangguan emosi dan perilaku cenderung sulit terdeteksi atau

bahkan tidak terdeteksi sehingga layanan pendidikan yang diberikan adalah sama dengan

siswa-siswa lainnya. Keberadaan siswa-siswa yang memiliki gangguan emosi dan perilaku

juga mendapatkan respon sosial dari warga sekolah yang kurang tepat karena karakteristik

yang dimiliki. Salah satu respon dari teman di sekolah yaitu tidak diterima dalam kelompok

sebaya (Sari, 2015).

Siswa-siswa yang memiliki gangguan emosi dan perilaku memiliki kegagalan

akademik ditunjukkan dengan hasil belajar yang rendah bahkan terdapat kasus siswa yang

dikeluarkan dari sekolah (Vaughn & Bos, 2009; Colomer et al., 2017; Downs et al., 2019; Ennis

et al., 2012; Lane, 2007; Zolkoski, 2019). Defisit pada bidang matematika dan kegagalan dalam

membaca memiliki hubungan dengan perilaku tidak sesuai dengan norma yang berlaku di

lingkungannya (Ennis et al., 2012). Siswa dengan gangguan emosi dan perilaku menunjukkan

kendala yang beragam dalam belajar yang dimanifestasikan dalam bentuk perilaku tidak

sesuai. Perilaku-perilaku tidak sesuai muncul di kelas dan dianggap sebagai perilaku yang

menantang bagi guru, seperti kehilangan fokus dalam instruksi akademik (Jolivette & Steed,

2010; Lane, 2007). Siswa mudah terganggu fokusnya terhadap instruksi yang diberikan oleh

guru (Vaughn & Bos, 2009; Downs et al., 2019).

Perilaku tidak sesuai lainnya adalah perilaku hiperaktif yang dapat muncul di kelas.

Beberapa siswa dengan gangguan emosi dan perilaku terlalu aktif ketika mengikuti

pembelajaran ditunjukkan dengan perilaku tidak dapat bertahan duduk dalam waktu yang lama (Vaughn & Bos, 2009). Perilaku hiperaktif gangguan emosi dan perilaku salah satu siswa

sekolah dasar di kota Yogyakarta ditunjukkan oleh siswa yang sudah didiagnosa ADHD

berdasarkan hasil asesmen dari salah satu lembaga psikologi. Siswa dengan ADHD tersebut

berada di kelas 1 sekolah dasar dengan usia 7 tahun. Siswa berpindah-pindah tempat duduk

di dalam kelas dari tugas satu ke tugas lainnya atau dalam pergantian waktu tertentu. Perilaku

hiperaktif siswa ADHD tersebut juga diikuti oleh perilaku lainnya seperti perilaku agresif baik

verbal maupun fisik.

Bentuk-bentuk perilaku agresif antara lain berkelahi, menendang, terlibat dalam

perkelahian, dan menyinggung atau mengancam teman yang merupakan perilaku agresif

verbal (Yumpi R., 2017). Perilaku-perilaku tersebut muncul ketika jam pembelajaran dan di

luar jam pembelajaran sehingga terjadi konflik antar teman bahkan terhadap guru dan orang

lain di sekolah (Marlina, 2015). Namun, karakteristik perilaku yang berbeda yaitu perilaku

menarik diri dari lingkungan juga dapat muncul. Perilaku menarik diri termasuk perilaku

internal, seperti siswa pemalu yang hanya memiliki satu atau dua teman dan jarang

berinteraksi dengan teman, guru dan orang lain (Carroll & Hurry, 2018; Zweers et al., 2019).

Siswa dengan gangguan emosi dan perilaku memiliki keterlibatan akademik yang

cukup menarik perhatian yaitu sering gagal memenuhi akademik dan perilaku sosial yang

sesuai di kelas (Al-Hendawi, 2012). Kegagalan dalam perilaku sosial antara lain siswa sulit

berhubungan dengan teman sebaya dan orang dewasa di lingkungan sekolah. Perilakuperilaku yang tidak sesuai dengan norma di masyarakat menjadi salah satu alasan mengapa

siswa dengan gangguan emosi dan perilaku sering tidak diterima dalam kelompok sebaya.

Perilaku eksternal menjadi salah satu alasan lingkungan sekitar tidak menerima keberadaan

siswa dengan gangguan emosi dan perilaku. Bahaya secara fisik dapat terjadi karena perilaku

berkelahi, menendang dan memukul. Akibatnya, kesempatan siswa yang memiliki gangguan

emosi dan perilaku untuk terlibat dalam kegiatan di lingkungan sosial menjadi berkurang

(Maharani & Puspitasari, 2019).

Penelitian tentang siswa dengan gangguan emosi dan perilaku di sekolah telah banyak

dilakukan. Anak-anak yang didiagnosis memiliki gangguan mental meliputi ADHD dan

gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas adalah sebanyak 3% - 5% di seluruh dunia

berdasarkan data dari National Institute of Mental Health (NIMH) (KMHO, 2019). Data dari

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi gangguan

mental emosional pada penduduk berumur kurang dari atau sama dengan 15 tahun lebih

banyak jumlahnya pada tahun 2018 dibandingkan pada tahun 2013 (Kemenkes RI, 2018).

Artinya prevalensi anak-anak yang memiliki gangguan mental emosional meningkat dari

tahun 2013 hingga tahun 2018 dengan usia 15 tahun yang merupakan usia sekolah. Masalah

gangguan emosi dan perilaku ditemukan pada anak usia sekolah di kota Salatiga pada tahun

2019 sebanyak 53,5% yaitu memiliki masalah dengan teman sebaya (27%) dan permasalahan

emosional (20,7%) (Prihatiningsih & Wijayanti, 2019). Masalah emosi dan perilaku juga

banyak dijumpai pada anak yang terlibat bullying dibandingkan dengan anak-anak yang tidak

terlibat dengan bullying di sekolah (Soedjatmiko et al., 2016).

Siswa dengan gangguan emosi dan perilaku yang telah terdiagnosis dan telah

terdeteksi biasanya mendapatkan layanan pendidikan di sekolah khusus dan sekolah

penyelenggara pendidikan inklusif sebagai siswa atau peserta didik (Mahabbati, 2006).

Namun, jika siswa-siswa dengan gangguan emosi dan perilaku berada di sekolah dasar belum

terdeteksi, maka menjadi sebuah persoalan. Keberadaan siswa yang memiliki perilakuperilaku bermasalah yang mengarah pada karakteristik gangguan emosi dan perilaku menjadi

tersamarkan. Perilaku bermasalah yang dilakukan siswa dengan gangguan emosi dan

perilaku sering kali mirip dengan perilaku bermasalah yang dilakukan anak-anak normal

pada usia yang sama. Sulit terdeteksinya siswa dengan gangguan emosi dan perilaku

mengakibatkan terjadinya kesalahan pemberian layanan yang sesuai dengan kebutuhan siswa

di sekolah dasar. Layanan pendidikan yang diberikan kepada siswa yang belum terdeteksi

gangguan emosi dan perilaku menjadi disamakan oleh guru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun