“Iya bu, rumah Arkan. Kenapa ?” tanyaku penasaran. “Rumah itu kosong dan akan tetap kosong, Ayla. Tidak ada Arkan, tidak ada seseorang yang kamu ceritakan, tidak ada bayangan-bayangan indah yang kamu lihat setiap malam, Ayla” Bu RT menjelaskan ini sambil meneteskan air mata.
Pandanganku kosong, nafasku memburu, tanganku gemetaran. Aku tidak percaya “Tidak, Arkan itu ada.” ucapku. “Semenjak ayah, ibu dan kedua adikmu meninggal karna kecelakaan dua miggu lalu, kamu sering melamun sendirian di teras. Kata Psikolog tadi kamu belum bisa menerima kenyataan, mental kamu tidak stabil” tuturrnya. Aku terdiam.
“Kamu di penuhi halusinasi yang membuatmu merasa itu adalah nyata. Namanya Skizofrenia. Ayo sadar, Ayla. Ayo sembuh” tambah Bu RT. Aku hanya bisa menangis dan tetap mempertahankan apa yang aku percayai. “Dia nyata dan aku tidak berbohong” isakku dalam hati.
Mataku masih bengkak, sisa menangis semalaman. Tanpa berfikir panjang, aku berlari menuju rumah Arkan. Kosong, tidak ada siapapun, tidak ada apapun. Aku terlalu bingung bahkan untuk memikirkan kenyataan ini. Aku tidak tahu lagi harus percaya pada diriku sendiri atau orang lain. Aku melemas, kakiku sudah tak kuasa menopang badan. aku kehilangan kesadaran.
Satu bulan kemudian, aku mulai menerima kenyataan. Aku berani mengatakan dan menerima bahwa aku sakit. Aku perlu di sembuhkan. Hingga detik ini bayangannya di persimpangan masih sering terlihat. Dan aku masih harus bertengkar dengan diriku sendiri dalam memaknai semua ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H