Mohon tunggu...
Jeehan MN
Jeehan MN Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi : mendengarkan musik, menulis, membaca novel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengagumi Bayangmu

15 Juni 2022   15:30 Diperbarui: 15 Juni 2022   15:36 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam ini hujan turun cukup lebat. Rumah terasa lebih sunyi dan suara jangkrik terdengar lebih ranying. Aku berdiam diri, duduk di bangku usang seraya menatap kegelapan yang semakin memenuhi seluruh persimpangan jalan. Lampu malam dinyalakan.

Ada sosok pemuda gagah melewati sorot lampu kuning jauh di ujung gang. Bayangannya terlihat namun samar. Aku rasa ada penduduk baru yang hendak pindah ke desa ini. Malam semakin larut, dan akupun memanjakan diri di atas kasur hingga tenggelam dalam alam mimpi.

Alarm pagiku terus berdering kencang, mataku silau menatap jendela kamar yang sudah terbuka lebar. Matahari tersenyum. Ku rasa hari ini akan menyenangkan. Aku beranjak dan berolahraga kecil di depan rumah.

Seraya menyalakan senam santai, mataku tak sengaja tertuju pada  rumah yang sejak dahulu kosong pagi ini telah terisi barang-barang lengkap dengan segala hiasannya. Aku rasa pemuda yang melewati gang tadi malam sudah menjadi penduduk tetap di desa ini. Aku berniat untuk berkenalan.

Sesuai dengan niatku tadi pagi, siang sehabis bersih diri aku melangkah menuju rumah seberang. Dan benar. “Permisi, apakah ada orang ?” salamku sopan di depan pintu sambil membawakan sedikit hidangan. “Iya, ada. Silakan masuk” seseorang menjawab. Aku masuk dan duduk sesuai perintah sang tuan rumah.

“Masnya orang baru ya disini ? Saya Ayla, tetangga dari rumah seberang.” ucapku mencairkan suasana. “Iya mbak, saya Arkan dan saya baru pindah semalam. Ini apa mbak ?” jawabnya sambil menunjuk rantang kecil yang ku bawa. “Ohh, ini ada sedikit hidangan yang saya buat untuk perkenalan. Semoga suka, ya” ucapku sedikit bersemangat.

Pemuda ini hanya tersenyum dan mengangguk kecil. Bukankah ini respon yang cukup canggung untuk mengetahui dia menyukainya atau tidak ? Setelah cukup lama saling berdiam, aku pulang. Dia pemuda yang cukup pendiam, namun dia sopan dan tampan.

 Belum ada sepuluh langkah aku berjalan keluar dari pintu rumahnya, ada beberapa tetangga yang menatapku dengan sinis. Matanya berbicara seakan-akan aku melakukan sebuah kesalahan besar. Aku tak mau mengiraukan dan  “Aku rasa, aku tidak melakukan kesalahan” batinku.

Aku melanjutkan kesibukanku di rumah. Melakukan hobi sekaligus pendidikanku satu-satunya dirumah. Yakni melukis. Bahkan hingga petang datang aku hanya menyelesaikan  satu lukisan sederhana. Lukisan yang indah, menggambarkan keindahan dalam kegelapan, sebuah bayangan seseorang.

Malam semakin sunyi. Aku hendak menutup gorden jendela namun berhenti karna sesuatu. Bayangan pemuda itu melewati ruas-ruas jalan. “Arkan, mau kemana malam-malam begini ?” tanyaku penasaran. Dia hanya melambaikan tangan, dan mendekat seraya memberikan bingkisan “Ini martabak manis, makan ya, Ayla” ucapnya sambil tersenyum.

Lidahku kaku dan tubuhku tak bergeming. Tanpa menunggu jawaban, dia pergi meninggalkanku dengan beribu pertanyaan yang tersirat dalam kepala. Tak terasa sudut bibirku tertarik seraya menatap langkahnya yang semakin menghilang ditelan kegelapan.

Paginya, ayam berkokok cukup kencang. Alarm ku pun kalah. Kali ini aku lebih bersemangat untuk bangun lebih awal dan melakukan pekerjaan rumah lebih cepat. Selesai memasak, aku bergegas menyiapkan hidangan dalam rantang kecil yang telah ku isi lengkap dengan buah-buahan seadanya.

 Aku pergi menemuinya. “Selamat pagi” tidak ada jawaban. “Permisi, Arkan ?” masih hening. Aku memberanikan diri untuk masuk. Langkahku terhenti seketika melihat pemandangan pagi yang lebih indah dari mentari.

Dia tertidur pulas di sofa sambil memegang pensil dan ada kertas putih di meja. Matanya terpejam cukup rapat, nafas nya teratur, bibirnya bahkan tetap tersenyum saat sang empunya berada dalam alam bawah sadar.

Dan yang membuatku lebih takjub adalah dia menggambar seseorang yang sepertinya aku mengenalnya. “Ini aku” batinku menjerit tak tertahan. Tak sempat membangunkannya, aku hanya ingin pulang dan membayangkan betapa beruntungnya aku mengenalnya.

Malam kembali tiba, dan aku masih menunggu seseorang di teras rumah. Berharap dia kembali datang seraya memberi harapan seperti malam dan pagi tadi. Sambil terkantuk-kantuk, sekitar pukul 10.00 WIB malam aku melihat bayangan seseorang melangkah semakin dekat.

Belum juga aku tersadar, dia berkata “Ayla, ngapain malam-malam masih disini. Dingin loh, ayo masuk” ternyata Bu RT, namanya Bu Aini. Dia baik meski terkadang menyebalkan. Aku menyerah untuk terus begadang diluar. 

Paginya, aku kembali menyiapkan hidangan untuknya. Aku berjalan sambil bersenandung ria dengan wajah yang berseri-seri. Tiba-tiba Bu RT datang lagi. “Ayla, ayo ikut ibu” ajaknya. “Kemana bu ? Saya ada perlu” ucapku penuh penolakan. “Mau kemana kok bawa hidangan banyak gitu ?“ tanyanya seakan-akan tak tahu bahwa ada orang baru di desanya sendiri.

 Selagi mulai berjalan pelan aku menjawab “Buat Arkan bu, ituloh penduduk baru kasihan dia sendirian dan pasti tidak bisa memasak” jelasku panjang lebar. “Nggak. Ayo Ayla, ikut ibu sekarang!” beliau memaksa dan aku tidak mampu menolak.

Perjalanan bersama Bu RT cukup panjang, mungkin sekitar dua hingga tiga jam. Aku sampai di sebuah tempat bertuliskan Klinik Psikolog. Dan aku tak faham tempat seperti apa ini dan apa alasan aku dibawa ke tempat ini.

Setelah sampai dalam, aku ditanyai banyak sekali pertanyaan bahkan tentang Arkan. Aku bercerita dengan sangat antusias dan lengkap sekali. Entah mengapa ketika waktu selesai, aku diberi obat dan disarankan untuk kembali lagi dalam waktu dekat. Sungguh, aku tidak faham.

Sampai rumah, langit mulai petang. Bu RT tidak membiarkanku sendiri di rumah sesunyi ini. Beliau berkata aku sedang sakit. “Ayla, tolong dengarkan ibu. Dan tolong percaya ini. Kamu tahu rumah kosong diseberang ?” tanyanya  pelan.

 “Iya bu, rumah Arkan. Kenapa ?” tanyaku penasaran. “Rumah itu kosong dan akan tetap kosong, Ayla. Tidak ada Arkan, tidak ada seseorang yang kamu ceritakan, tidak ada bayangan-bayangan indah yang kamu lihat setiap malam, Ayla” Bu RT menjelaskan ini sambil meneteskan air mata.

 Pandanganku kosong, nafasku memburu, tanganku gemetaran. Aku tidak percaya “Tidak, Arkan itu ada.” ucapku. “Semenjak ayah, ibu dan kedua adikmu meninggal karna kecelakaan dua miggu lalu, kamu sering melamun sendirian di teras. Kata Psikolog tadi kamu belum bisa menerima kenyataan, mental kamu tidak stabil” tuturrnya. Aku terdiam.

 “Kamu di penuhi halusinasi yang membuatmu merasa itu adalah nyata. Namanya Skizofrenia. Ayo sadar, Ayla. Ayo sembuh” tambah Bu RT. Aku hanya bisa menangis dan tetap mempertahankan apa yang aku percayai. “Dia nyata dan aku tidak berbohong” isakku dalam hati.

Mataku masih bengkak, sisa menangis semalaman. Tanpa berfikir panjang, aku berlari menuju rumah Arkan. Kosong, tidak ada siapapun, tidak ada apapun. Aku terlalu bingung bahkan untuk memikirkan kenyataan ini. Aku tidak tahu lagi harus percaya pada diriku sendiri atau orang lain. Aku melemas, kakiku sudah tak kuasa menopang badan. aku kehilangan kesadaran.

Satu bulan kemudian, aku mulai menerima kenyataan. Aku berani mengatakan dan menerima bahwa aku sakit. Aku perlu di sembuhkan. Hingga detik ini bayangannya di persimpangan masih sering terlihat. Dan aku masih harus bertengkar dengan diriku sendiri dalam memaknai semua ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun