Mohon tunggu...
Jeni fitriasha
Jeni fitriasha Mohon Tunggu... -

Eks. mahasiswa Psikologi. Pemilik sunyiberdialog.tumblr.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Toko Suka Miskin

20 Mei 2016   20:19 Diperbarui: 20 Mei 2016   21:49 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kuperhatikan sejak dari tadi gadis kecil itu duduk bertopang dagu dalam etalase pada salah satu toko yang khusus menjual kemiskinan, Toko Suka Miskin namanya. Wajah mungil gadis itu kotor dan kusam. Sehingga begitu terlihat susahnya hidup yang ia jalani. Tapi aku tahu, ia sengaja memasang wajah seperti itu. Wajah yang penuh akan jerih payah memang sangat laku dijual. Apalagi didukung dengan gaya berpakaiannya. Orang-orang akan hilir-mudik di depan toko untuk berebut menikmatinya.

Seorang pria berpakaian kasual keluar dari toko dan menghampiriku. Ia tersenyum sembari memperhatikanku dari alas kaki sampai topi yang kukenakan. Karena kurang nyaman, aku beranjak selangkah ke belakang agar kami tidak terlalu dekat berdiri.

“Tuan sedang mencari yang seperti apa? Gembel? pengemis? Atau manusia gerobak?” lantas ia langsung menunjuk pada etalase yang berada paling ujung. Dengan lekas mataku mengikuti  kemana telunjuknya mengarah. Kulihat seorang laki-laki tua duduk di atas gerobaknya. Lusuh sekali penampilannya. Wajahnya kotor dan penuh dengan kerutan. Tak ada senyum, lalu sepasang matanya terlihat seperti antara ingin menangis atau ingin terlihat tegar.

“Saya masih ingin melihat-lihat dulu.”

Pria yang ternyata pelayan toko itu berkerut keningnya mendengar jawabanku. Kemudian ia menoleh ke kanan dan kiri berkali-kali. Mungkin ia merasa keberadaanku merepotkannya. Atau ia ingin mencari sesuatu yang dapat membuatku tertarik.

“Baiklah kalau begitu Tuan, biarkan saya berdiri di sini untuk mendampingi Anda. Jika ada yang membuat Anda bingung, silakan bertanya pada saya.”

“Terima kasih,” jawabku.

Beberapa menit kemudian kami berdua sama-sama larut dalam keheningan. Pelayan toko itu telah sibuk dengan smartphone yang ia genggam dari tadi. Aku masih mondar-mandir di depan toko tersebut, terlena dengan kemiskinan-kemiskinan yang terpajang dalam etalase.

Tiba-tiba sudut mata kananku menangkap sosok yang sangat aneh. Aku menoleh ke etalase yang berada di antara etalase manusia gerobak dan tunawisma. Aku berdiri tepat di depan orang tersebut. Orang yang berada dalam etalase itu hanya berdiri memperhatikanku, tidak melakukan apa-apa. Aku heran, kemiskinan yang seperti apa ia tawarkan? Kulihat ia memakai kemeja dan mengenakan sepatu pantofel, selayaknya seorang pekerja kantoran. Pakaianannya rapi dan bersih. Wajahnya tidak jelek-jelek amat dan sebuah map warna merah ia dekap di bawah ketiak sebelah kanan.

“Laki-laki itu, apa dia miskin juga? Saya tidak melihat kemiskinan terpancar dari wajahnya.”

Aku mengalihkan pandangan ke arah pelayan toko yang masih saja asyik dengan smartphone-nya. Ia terkesiap mendengar tiba-tiba aku bertanya. Dengan panik, ia langsung menyimpan smartphone tersebut ke dalam saku celana.

“Yang itu maksud Tuan?” lalu aku mengangguk menjawab iya.

“Itu kemiskinan jenis pengangguran pencari kerja. Sehari-hari kegiatannya hilir-mudik dari satu kantor ke kantor yang lain. Walau pun pakaiannya rapi, tapi mereka memiliki banyak hutang di sana-sini dan tempat tinggalnya masih menumpang ke sana-kemari. Namun tuan, tingkat kemiskinan mereka sudah diambang batas. Yang setingkat lagi sudah benar-benar jatuh miskin.”

Aku mengangguk mendengar penjelasannya. Ternyata ada juga jenis kemiskinan seperti itu. Dulu sebelum ibu pergi meninggalkan aku dan ayah untuk mencari kemiskinan bersama kekasih gelapnya, ia pernah bercerita bahwa kemiskinan yang paling mengerikan adalah kemiskinan yang pernah dialami oleh seorang nenek. Kemiskinannya diperebutkan oleh banyak konglomerat dan bangsawan. Mereka sampai mengadakan lelang untuk dapat menikmati kemiskinan yang dirasakan oleh si nenek. Ibu menuturkan bahwa, jenis kemiskinan yang disuguhkan oleh nenek itu adalah miskin seumur hidup, dari lahir sampai ia tua. Di dalam etalase, nenek itu menjemur sisa nasi yang hampir bercendawan. Kelak nasi itu akan kembali ia rebus dengan air garam. Lalu kembali ia makan. Jika tidak habis dimakan, ia akan kembali menjemurnya dan mengulang semua proses tadi. Karena begitu menderitanya si nenek, semua orang menangis dan terharu melihatnya. Orang-orang meneriakkan nenek tersebut di luar etalase. Mereka berebut ingin mengambil posisi bagus agar bisa berfoto dengannya. Waktu itu kata ibuku, jalan-jalan macet dan orang-orang yang ingin menikmati kemiskinan si nenek itu nyaris menghancurkan toko. Mereka berdesak-desakan, terinjak, hingga berakhir dengan jatuhnya korban jiwa.

“Tuan tertarik untuk menikmati jenis kemiskinan ini?” pelayan toko itu tersenyum lebar padaku. Matanya berbinar-binar, mungkin ia mengira aku akan menawar kemiskinan jenis pengangguran pencari kerja itu.

“Tidak, ini terlalu biasa. Saya ingin jenis kemiskinan yang lebih dramatis,” cetusku.

Pelayan itu langsung melangkah menuju sisi kanan etalase, kemudian berhenti di dekat tiang lampu jalanan. Empat orang nona-nona berkacamata hitam berjalan menjinjing kantong belanjaannya sambil tertawa terbahak-bahak sembari menunjuk orang gila dalam salah satu etalase. Aku berjalan pelan mengikuti pelayan toko itu.

“Bagaimana dengan yang ini?”

Aku menoleh ke etalase yang ia tunjuk. Aku melihat seorang pria namun juga seperti seorang wanita. Wajahnya sudah sangat keriput dan lusuh. Ia memakai pakaian yang tidak bagus. Ada robekan di sana-sini.

“Dia mantan waria. Namun seiring waktu ia benar-benar jatuh miskin dan mengidap penyakit kelamin. Bagaimana menurut anda Tuan? Apakah ini sangat dramatis?”

“Jangan! Saya tidak mau membawanya dalam acara syukuran nanti. Walau pun orang-orang pasti tahu harganya sangat mahal. Tapi saya tidak suka dengan penyakitnya. Ada yang lain?”

“Sebentar, bagaimana kalau kita masuk Tuan? Di dalam ada jenis kemiskinan lain yang bisa anda nikmati.”

Aku menerima ajakan pelayan toko tersebut. Aku melangkah pelan sambil mengamati setiap sudut toko. Ini adalah yang pertama kalinya aku berkunjung ke Toko Suka Miskin. Biasanya aku tidak mau karena kupikir ini adalah pelanggaran HAM. Namun sejak ayah menghadiahkanku rumah beserta mobil mewah ditambah sejumlah uang dalam tabungan, aku merasa ingin tahu tentang kemiskinan. Aku ingin tahu, mengapa orang-orang senang menikmatinya, menertawakannya, mengolok-oloknya, menangisinya dan terharu karena itu. Mereka bahkan berani mengeluarkan uang banyak demi dapat menikmati kemiskinan di rumah mereka.

Kota ini sejak awal sudah dipenuhi oleh 99% konglomerat dan para bangsawan. Gedung-gedung menjulang tinggi menyerupa kaki-kaki bagi angkasa. Mobil-mobil mewah keluaran merek ternama berseliweran di mana-mana. Sering kulihat mobil-mobil mewah itu terparkir lama di tepi jalan karena sudah tidak dipakai oleh pemiliknya yang sudah bosan dan memilih membeli mobil keluaran terbaru. Hingga akhirnya mobil derek datang dan membawa mobil-mobil itu ke tempat peleburan besi. Tidak ada angkutan umum di kota ini karena semua orang bisa membeli mobil apa saja.

Di kota ini orang berlalu-lalang memakai pakaian mahal dan mewah. Jam bermerek, sepatu bermerek, kosmetik bermerek, sampai pakaian dalam bermerek yang kisaran harganya berada di atas puluhan juta. Setiap sore mall-mall mengobral barang-barang dan makanan mewah.

Saat Toko Suka Miskin ini dibuka, betapa meriah penyambutannya. Karangan bunga memenuhi hampir semua jalan. Betapa tidak meriah? Orang-orang di kota ini sangat penasaran dengan apa itu kemiskinan. Bagaimana rupanya dan seperti apa ia bergerak. Mereka saking kayanya tidak pernah sedetik pun melihat sesuatu yang nestapa, sesuatu yang miskin. Sehingga kemiskinan menjadi mata kuliah wajib di beberapa universitas di kota ini. Mata kuliah tersebut mempelajari sejarah terjadinya kemiskinan, bagaimana caranya agar menjadi miskin, apa nilai-nilai yang terkandung dalam kemiskinan. Mata kuliah itu adalah mata kuliah yang paling diminati. Itulah istimewanya kota ini, orang-orang mau berpergian kemana pun demi mencari makna kemiskinan. Mereka rela meninggalkan perusahaannya, rumah dan mobil mewahnya demi bisa hidup dalam kemiskinan. Menyelami artinya dan terjun langsung ke dalamnya.

“Tuan, bagaimana menurut anda yang ini?” Aku terperanjat kaget. Lamunanku buyar setelah memperhatikan sudut ruang toko tersebut. Aku melihat ada banyak barang-barang murahan di sini. Seperti kipas angin, baju kaos pembagian dari sebuah partai, kompor minyak, juga sebotol air mata pengemis.

“Bukankah ini sangat indah? Ini jenis kemiskinan yang ditampilkan oleh seorang ibu yang pergi dengan kekasih gelapnya, meninggalkan suami dan anaknya ke kota tetangga untuk mencari makna kemiskinan. Ia tentu pernah menjadi golongan seperti kita karena pernah lama berada di kota ini.”

Mulutku terbuka lebar melihat perempuan setengah baya itu. Wajahnya lusuh, dengan rambut yang sangat kusut. Tidak ada tanda-tanda kebahagiaan pada air mukanya. Jari-jemarinya hitam dan kotor. Mulutnya terkatup kuat dan kering. Aku terdiam untuk beberapa detik dan tiba-tiba pikiranku melayang pada ingatan sepuluh tahun yang lalu. Ketika ibu pergi dari rumah dan tidak pernah kembali.

“Apa tuan tertarik dengan kemiskinan ini?”

***

Padang, 8 Juni 2014
Terbit di Padang Ekspres, Januari 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun