Mohon tunggu...
Jeni fitriasha
Jeni fitriasha Mohon Tunggu... -

Eks. mahasiswa Psikologi. Pemilik sunyiberdialog.tumblr.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Toko Suka Miskin

20 Mei 2016   20:19 Diperbarui: 20 Mei 2016   21:49 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Yang itu maksud Tuan?” lalu aku mengangguk menjawab iya.

“Itu kemiskinan jenis pengangguran pencari kerja. Sehari-hari kegiatannya hilir-mudik dari satu kantor ke kantor yang lain. Walau pun pakaiannya rapi, tapi mereka memiliki banyak hutang di sana-sini dan tempat tinggalnya masih menumpang ke sana-kemari. Namun tuan, tingkat kemiskinan mereka sudah diambang batas. Yang setingkat lagi sudah benar-benar jatuh miskin.”

Aku mengangguk mendengar penjelasannya. Ternyata ada juga jenis kemiskinan seperti itu. Dulu sebelum ibu pergi meninggalkan aku dan ayah untuk mencari kemiskinan bersama kekasih gelapnya, ia pernah bercerita bahwa kemiskinan yang paling mengerikan adalah kemiskinan yang pernah dialami oleh seorang nenek. Kemiskinannya diperebutkan oleh banyak konglomerat dan bangsawan. Mereka sampai mengadakan lelang untuk dapat menikmati kemiskinan yang dirasakan oleh si nenek. Ibu menuturkan bahwa, jenis kemiskinan yang disuguhkan oleh nenek itu adalah miskin seumur hidup, dari lahir sampai ia tua. Di dalam etalase, nenek itu menjemur sisa nasi yang hampir bercendawan. Kelak nasi itu akan kembali ia rebus dengan air garam. Lalu kembali ia makan. Jika tidak habis dimakan, ia akan kembali menjemurnya dan mengulang semua proses tadi. Karena begitu menderitanya si nenek, semua orang menangis dan terharu melihatnya. Orang-orang meneriakkan nenek tersebut di luar etalase. Mereka berebut ingin mengambil posisi bagus agar bisa berfoto dengannya. Waktu itu kata ibuku, jalan-jalan macet dan orang-orang yang ingin menikmati kemiskinan si nenek itu nyaris menghancurkan toko. Mereka berdesak-desakan, terinjak, hingga berakhir dengan jatuhnya korban jiwa.

“Tuan tertarik untuk menikmati jenis kemiskinan ini?” pelayan toko itu tersenyum lebar padaku. Matanya berbinar-binar, mungkin ia mengira aku akan menawar kemiskinan jenis pengangguran pencari kerja itu.

“Tidak, ini terlalu biasa. Saya ingin jenis kemiskinan yang lebih dramatis,” cetusku.

Pelayan itu langsung melangkah menuju sisi kanan etalase, kemudian berhenti di dekat tiang lampu jalanan. Empat orang nona-nona berkacamata hitam berjalan menjinjing kantong belanjaannya sambil tertawa terbahak-bahak sembari menunjuk orang gila dalam salah satu etalase. Aku berjalan pelan mengikuti pelayan toko itu.

“Bagaimana dengan yang ini?”

Aku menoleh ke etalase yang ia tunjuk. Aku melihat seorang pria namun juga seperti seorang wanita. Wajahnya sudah sangat keriput dan lusuh. Ia memakai pakaian yang tidak bagus. Ada robekan di sana-sini.

“Dia mantan waria. Namun seiring waktu ia benar-benar jatuh miskin dan mengidap penyakit kelamin. Bagaimana menurut anda Tuan? Apakah ini sangat dramatis?”

“Jangan! Saya tidak mau membawanya dalam acara syukuran nanti. Walau pun orang-orang pasti tahu harganya sangat mahal. Tapi saya tidak suka dengan penyakitnya. Ada yang lain?”

“Sebentar, bagaimana kalau kita masuk Tuan? Di dalam ada jenis kemiskinan lain yang bisa anda nikmati.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun