Di sebuah desa kecil di pinggiran kota, rumah kayu sederhana milik Arif berdiri di tengah hamparan sawah yang luas. Di luar, kehidupan berjalan perlahan, namun bagi Arif, setiap detik adalah perjuangan yang tak kenal lelah. Sejak istrinya, Laila, meninggal saat melahirkan anak mereka yang pertama, Arif terus berjuang sendirian untuk merawat putri kecilnya, Siska. Setiap hari, ia bangun sebelum fajar, bekerja keras di sawah, lalu melanjutkan pekerjaan di rumah untuk memastikan Siska mendapat makan dan perhatian yang cukup. Tak ada lagi tawa Laila yang dulu selalu menyemangati mereka, hanya ada kesunyian yang menemani setiap langkah Arif.
Kini, Siska sudah berusia lima tahun, rambut hitamnya yang lebat selalu terikat rapi, matanya yang bulat dan cerah mencerminkan keceriaan yang tak pernah pudar meskipun ia tumbuh tanpa ibu. Setiap kali Arif melihat senyum Siska, ia merasa semangatnya kembali terbangun, meskipun tubuhnya semakin lemah. Penyakit kronis yang mulai menggerogoti tubuhnya tak bisa disembunyikan lagi. Kadang, napasnya sesak dan jantungnya berdebar kencang setelah bekerja terlalu keras. Tetapi, demi Siska, ia tak mau menyerah.
Pada suatu sore, setelah selesai bekerja di sawah, Arif duduk di kursi kayu yang usang di belakang rumah. Siska duduk di pangkuannya, menggambar di atas kertas dengan crayon berwarna-warni Arif menatap kosong ke langit, matahari mulai terbenam, memancarkan cahaya oranye yang lembut. Siska, yang sedang asyik dengan gambarnya, mendongak dan bertanya dengan polos.
"Ayah, kenapa wajah Ayah kelihatan capek banget?" Siska bertanya, matanya memancarkan kekhawatiran meskipun usianya masih sangat muda.
Arif tersenyum lemah, mencoba menutupi rasa sakit di dalam dirinya. "Ah, nggak papa, Nak. Ayah cuma capek kerja, nanti juga hilang."
Siska mengerutkan dahi, tak sepenuhnya yakin dengan jawaban ayahnya . "Tapi Ayah, kok napas Ayah susah banget?" tanya Siska lagi, matanya menatap cemas ke arah wajah Arif yang mulai pucat.
Arif terdiam sejenak. Ia tahu Siska mulai merasakan sesuatu yang tak beres, tetapi ia tak ingin anaknya terbebani. Ia mengelus kepala Siska dengan lembut, mencoba menyembunyikan rasa sakitnya.
"Ayah cuma capek, sayang. Besok kita ke sawah lagi, ya? Kita panen bareng-bareng," jawab Arif dengan senyum tipis, mencoba mengganti topik.
Siska menggambar lagi, tetapi kali ini ia tampak lebih fokus, seperti sedang memikirkan sesuatu yang lebih dalam. Tiba-tiba, ia menatap Arif dengan tatapan serius yang jarang sekali terlihat pada anak seusianya.
"Ayah," Siska berkata pelan, "kapan Ayah bisa main sama Siska lagi? Kayak dulu, waktu Mama masih ada. Dulu Ayah bisa ngajarin Siska main bola, lari-lari di halaman..."
Arif terhenyak mendengar kata-kata Siska. Memori indah tentang masa lalu, ketika Laila masih ada, kembali hadir begitu saja. Mereka sering bermain bersama, tertawa, dan merencanakan masa depan. Tapi sekarang, hanya ia yang tinggal, memikul semua beban seorang diri. Dan tak ada lagi Laila di sampingnya untuk berbagi.
Dengan suara serak, Arif menjawab, "Ayah masih bisa main sama Siska, kok. Cuma, kadang-kadang... Ayah butuh istirahat dulu, ya?"
Siska mengangguk, meski sepertinya ia masih merasa ada yang tidak beres. Namun, ia tidak bertanya lagi. Siska kembali menundukkan kepalanya dan menggambar di atas kertas, tetapi kali ini tangannya tampak lebih pelan, seolah dia sedang mencerna sesuatu yang lebih besar dari sekadar gambar itu.
Arif menarik napas panjang. Ia melihat ke arah sawah yang terbentang luas, tetapi matanya terasa kabur. Setiap kali ia melihat Siska, ia merasa semakin takut---takut jika waktunya benar-benar habis sebelum ia bisa memberikan yang terbaik untuk anaknya. Tak ada lagi waktu yang tersisa untuk memperbaiki semuanya. Bahkan, meskipun ia berusaha keras, tubuhnya tak mampu lagi bertahan lama.
Saat itu, suara langkah kecil terdengar di halaman. Siska berlari menuju pintu dengan senyum lebar. "Ayah, Ayah! Ada orang di depan!" serunya.
Arif mengernyitkan dahi, sedikit terkejut. "Siapa, Nak?" tanyanya, berusaha bangkit dari kursinya, meskipun tubuhnya terasa berat.
"Kayaknya Pak Udin," jawab Siska ceria, menyebutkan nama tetangga yang tinggal tak jauh dari rumah mereka.
Beberapa detik kemudian, terdengar ketukan halus di pintu depan. Arif membuka pintu, dan benar saja, di sana berdiri Pak Udin, seorang petani tua yang sudah lama mengenal Arif dan keluarganya.
"Selamat sore, Arif," sapa Pak Udin dengan senyum ramah, meskipun matanya penuh dengan kepedulian. "Saya cuma mau ngecek, gimana keadaanmu. Sudah lama nggak kelihatan di pasar, apa kabar?"
Arif tersenyum tipis, meski tampak lelah. "Alhamdulillah, Pak. Masih bisa bertahan. Terima kasih sudah peduli."
Pak Udin mengangguk, namun wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Jangan terlalu dipaksakan, Arif. Saya dengar dari orang-orang, kamu lagi nggak enak badan, ya?"
Arif menunduk, menahan napas. Ia tahu bahwa meskipun berusaha keras menyembunyikan kondisinya, lama kelamaan orang-orang akan tahu. Tubuhnya yang semakin lemah tidak bisa disembunyikan selamanya. Namun, ia tak ingin merepotkan orang lain.Â
"Ah, nggak papa, Pak. Cuma sedikit capek. Biasalah, pekerjaan di sawah," jawab Arif, mencoba menyembunyikan kegelisahan di matanya.
Pak Udin mengamati wajah Arif dengan seksama, tampak semakin khawatir. "Arif, kamu nggak bisa terus seperti ini. Kalau kamu terus paksakan diri, nanti malah jadi lebih parah. Siska butuh kamu, Arif. Kamu harus lebih jaga diri."
Arif terdiam, tak bisa menjawab. Rasa sakit di dadanya semakin mmenggigit, membuatnya sulit bernapas. Namun, ia berusaha keras menahan diri, tak ingin terlihat rapuh di depan Siska, yang masih berdiri di belakang pintu, mendengarkan setiap kata yang terucap.
Pak Udin menyadari perubahan raut wajah Arif dan segera mendekat, meraih bahunya dengan lembut. "Arif, saya tahu kamu kuat, tapi kamu nggak bisa terus begini. Kamu harus ke dokter, periksa dengan serius. Jangan tunggu sampai terlambat," katanya, suara penuh perhatian.
Arif menatap Pak Udin dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Ia tahu, kata-kata itu benar. Tapi entah mengapa, ia merasa tak punya pilihan lain selain terus bekerja, terus berjuang demi Siska. Ia takut jika ia berhenti, segala sesuatu akan runtuh, dan Siska akan menjadi yatim piatu, tanpa siapa-siapa.
"Pak Udin, saya... saya akan coba," ujar Arif akhirnya, meskipun ada keraguan yang jelas terdengar dalam suaranya.
Pak Udin menepuk bahunya sekali lagi, lalu berbalik pergi dengan langkah pelan, namun wajahnya tetap penuh perhatian. "Jangan tunggu terlalu lama, Arif. Siska butuh ayahnya."
Setelah Pak Udin pergi, suasana di rumah menjadi hening. Arif berdiri lama di depan pintu, menatap ke arah jalan yang sepi. Siska masih berdiri di sisi belakangnya, matanya memandangnya dengan keheningan yang membuat hati Arif semakin sesak.Â
"Ayah, beneran nggak apa-apa?" suara Siska yang lembut akhirnya memecah keheningan.
Arif menoleh, melihat putrinya yang kini berdiri di dekatnya dengan ekspresi khawatir. "Ayah cuma capek, Nak. Nggak usah khawatir." Ia mencoba tersenyum, tapi senyumnya terasa paksa. Siska memandangnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, seolah tahu ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Namun, Siska hanya mengangguk pelan. "Kalau Ayah capek, Siska bisa bantu. Siska mau jadi pembantu Ayah."
Arif merasakan sesak di dadanya. Betapa besar cinta dan pengorbanan anak sekecil itu. Dalam hatinya, ia merasa begitu bersalah, karena tidak bisa memberi kehidupan yang lebih baik untuk Siska.
Tiba-tiba, tubuh Arif terasa lemas. Sebuah rasa sakit tajam menyerang dadanya, lebih dari sebelumnya. Napasnya semakin sesak, dan ia merasakan dunia mulai berputar. Siska yang melihatnya langsung panik. "Ayah, Ayah!" serunya, berlari menghampiri dan menggoyang-goyangkan tubuh Arif yang mulai terjatuh.
Dengan segala tenaga yang tersisa, Arif berusaha berdiri, namun kakinya tak mampu menahan tubuhnya lagi. Ia terjatuh ke tanah dengan suara gemuruh yang seakan menggema dalam kesunyian rumah kecil mereka.
Siska terisak, berdiri di samping ayahnya yang terbaring lemah. "Ayah... Ayah... bangun, Ayah!" suaranya memecah keheningan, dan dalam hatinya, Siska merasakan sesuatu yang sangat menakutkan.
Sekejap, pintu terbuka. Pak Udin yang sebelumnya sudah pergi berlari kembali bersama tetangga lainnya. Mereka segera mengangkat Arif dan membawanya ke tempat tidur. Namun, wajah Pak Udin berubah pucat saat melihat kondisi Arif yang semakin memburuk.
"Kita harus bawa dia ke rumah sakit, cepat!" seru Pak Udin, namun Arif, dengan suara yang nyaris tak terdengar, mengangkat tangan dan mencoba menghalangi.
"Jangan... Siska butuh Ayah di sini..." suara Arif terputus-putus, dan matanya mulai meredup. "Siska... kamu harus kuat... Ayah... Ayah akan selalu ada buat Siska"
Siska berdiri di samping ranjang, air matanya mulai berlinang. Ia meraih tangan Arif yang dingin dan memegangnya erat, seolah tidak ingin melepaskan. "Ayah... jangan pergi, Ayah. Siska nggak mau sendirian."
Namun, meskipun Arif ingin mengatakan lebih banyak, tubuhnya tak lagi mampu. Dalam hitungan detik, ia menarik napas terakhir, meninggalkan Siska di dunia yang begitu keras ini.Â
Kepergian Arif meninggalkan kekosongan yang tak terisi. Tetapi, Siska, meskipun masih kecil, tahu bahwa ayahnya telah memberikan segalanya. cinta, pengorbanan, dan harapan. Ia akan mengingatnya selamanya, meskipun tak lagi ada tangan yang mengelus kepalanya atau suara lembut yang membimbingnya.
Di luar, matahari perlahan tenggelam, membawa malam yang sunyi. Namun, di hati Siska, cinta ayahnya tetap bersinar terang, tak terpadamkan oleh waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H