"Ah, nggak papa, Pak. Cuma sedikit capek. Biasalah, pekerjaan di sawah," jawab Arif, mencoba menyembunyikan kegelisahan di matanya.
Pak Udin mengamati wajah Arif dengan seksama, tampak semakin khawatir. "Arif, kamu nggak bisa terus seperti ini. Kalau kamu terus paksakan diri, nanti malah jadi lebih parah. Siska butuh kamu, Arif. Kamu harus lebih jaga diri."
Arif terdiam, tak bisa menjawab. Rasa sakit di dadanya semakin mmenggigit, membuatnya sulit bernapas. Namun, ia berusaha keras menahan diri, tak ingin terlihat rapuh di depan Siska, yang masih berdiri di belakang pintu, mendengarkan setiap kata yang terucap.
Pak Udin menyadari perubahan raut wajah Arif dan segera mendekat, meraih bahunya dengan lembut. "Arif, saya tahu kamu kuat, tapi kamu nggak bisa terus begini. Kamu harus ke dokter, periksa dengan serius. Jangan tunggu sampai terlambat," katanya, suara penuh perhatian.
Arif menatap Pak Udin dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Ia tahu, kata-kata itu benar. Tapi entah mengapa, ia merasa tak punya pilihan lain selain terus bekerja, terus berjuang demi Siska. Ia takut jika ia berhenti, segala sesuatu akan runtuh, dan Siska akan menjadi yatim piatu, tanpa siapa-siapa.
"Pak Udin, saya... saya akan coba," ujar Arif akhirnya, meskipun ada keraguan yang jelas terdengar dalam suaranya.
Pak Udin menepuk bahunya sekali lagi, lalu berbalik pergi dengan langkah pelan, namun wajahnya tetap penuh perhatian. "Jangan tunggu terlalu lama, Arif. Siska butuh ayahnya."
Setelah Pak Udin pergi, suasana di rumah menjadi hening. Arif berdiri lama di depan pintu, menatap ke arah jalan yang sepi. Siska masih berdiri di sisi belakangnya, matanya memandangnya dengan keheningan yang membuat hati Arif semakin sesak.Â
"Ayah, beneran nggak apa-apa?" suara Siska yang lembut akhirnya memecah keheningan.
Arif menoleh, melihat putrinya yang kini berdiri di dekatnya dengan ekspresi khawatir. "Ayah cuma capek, Nak. Nggak usah khawatir." Ia mencoba tersenyum, tapi senyumnya terasa paksa. Siska memandangnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, seolah tahu ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Namun, Siska hanya mengangguk pelan. "Kalau Ayah capek, Siska bisa bantu. Siska mau jadi pembantu Ayah."