Mohon tunggu...
jeannerose
jeannerose Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Hobi menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Ujung Waktu

24 November 2024   08:00 Diperbarui: 24 November 2024   08:11 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ah, nggak papa, Pak. Cuma sedikit capek. Biasalah, pekerjaan di sawah," jawab Arif, mencoba menyembunyikan kegelisahan di matanya.

Pak Udin mengamati wajah Arif dengan seksama, tampak semakin khawatir. "Arif, kamu nggak bisa terus seperti ini. Kalau kamu terus paksakan diri, nanti malah jadi lebih parah. Siska butuh kamu, Arif. Kamu harus lebih jaga diri."

Arif terdiam, tak bisa menjawab. Rasa sakit di dadanya semakin mmenggigit, membuatnya sulit bernapas. Namun, ia berusaha keras menahan diri, tak ingin terlihat rapuh di depan Siska, yang masih berdiri di belakang pintu, mendengarkan setiap kata yang terucap.

Pak Udin menyadari perubahan raut wajah Arif dan segera mendekat, meraih bahunya dengan lembut. "Arif, saya tahu kamu kuat, tapi kamu nggak bisa terus begini. Kamu harus ke dokter, periksa dengan serius. Jangan tunggu sampai terlambat," katanya, suara penuh perhatian.

Arif menatap Pak Udin dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Ia tahu, kata-kata itu benar. Tapi entah mengapa, ia merasa tak punya pilihan lain selain terus bekerja, terus berjuang demi Siska. Ia takut jika ia berhenti, segala sesuatu akan runtuh, dan Siska akan menjadi yatim piatu, tanpa siapa-siapa.

"Pak Udin, saya... saya akan coba," ujar Arif akhirnya, meskipun ada keraguan yang jelas terdengar dalam suaranya.

Pak Udin menepuk bahunya sekali lagi, lalu berbalik pergi dengan langkah pelan, namun wajahnya tetap penuh perhatian. "Jangan tunggu terlalu lama, Arif. Siska butuh ayahnya."

Setelah Pak Udin pergi, suasana di rumah menjadi hening. Arif berdiri lama di depan pintu, menatap ke arah jalan yang sepi. Siska masih berdiri di sisi belakangnya, matanya memandangnya dengan keheningan yang membuat hati Arif semakin sesak. 

"Ayah, beneran nggak apa-apa?" suara Siska yang lembut akhirnya memecah keheningan.

Arif menoleh, melihat putrinya yang kini berdiri di dekatnya dengan ekspresi khawatir. "Ayah cuma capek, Nak. Nggak usah khawatir." Ia mencoba tersenyum, tapi senyumnya terasa paksa. Siska memandangnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, seolah tahu ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Namun, Siska hanya mengangguk pelan. "Kalau Ayah capek, Siska bisa bantu. Siska mau jadi pembantu Ayah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun