Mohon tunggu...
jeannerose
jeannerose Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Hobi menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Ujung Waktu

24 November 2024   08:00 Diperbarui: 24 November 2024   08:11 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dengan suara serak, Arif menjawab, "Ayah masih bisa main sama Siska, kok. Cuma, kadang-kadang... Ayah butuh istirahat dulu, ya?"

Siska mengangguk, meski sepertinya ia masih merasa ada yang tidak beres. Namun, ia tidak bertanya lagi. Siska kembali menundukkan kepalanya dan menggambar di atas kertas, tetapi kali ini tangannya tampak lebih pelan, seolah dia sedang mencerna sesuatu yang lebih besar dari sekadar gambar itu.

Arif menarik napas panjang. Ia melihat ke arah sawah yang terbentang luas, tetapi matanya terasa kabur. Setiap kali ia melihat Siska, ia merasa semakin takut---takut jika waktunya benar-benar habis sebelum ia bisa memberikan yang terbaik untuk anaknya. Tak ada lagi waktu yang tersisa untuk memperbaiki semuanya. Bahkan, meskipun ia berusaha keras, tubuhnya tak mampu lagi bertahan lama.

Saat itu, suara langkah kecil terdengar di halaman. Siska berlari menuju pintu dengan senyum lebar. "Ayah, Ayah! Ada orang di depan!" serunya.

Arif mengernyitkan dahi, sedikit terkejut. "Siapa, Nak?" tanyanya, berusaha bangkit dari kursinya, meskipun tubuhnya terasa berat.

"Kayaknya Pak Udin," jawab Siska ceria, menyebutkan nama tetangga yang tinggal tak jauh dari rumah mereka.

Beberapa detik kemudian, terdengar ketukan halus di pintu depan. Arif membuka pintu, dan benar saja, di sana berdiri Pak Udin, seorang petani tua yang sudah lama mengenal Arif dan keluarganya.

"Selamat sore, Arif," sapa Pak Udin dengan senyum ramah, meskipun matanya penuh dengan kepedulian. "Saya cuma mau ngecek, gimana keadaanmu. Sudah lama nggak kelihatan di pasar, apa kabar?"

Arif tersenyum tipis, meski tampak lelah. "Alhamdulillah, Pak. Masih bisa bertahan. Terima kasih sudah peduli."

Pak Udin mengangguk, namun wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Jangan terlalu dipaksakan, Arif. Saya dengar dari orang-orang, kamu lagi nggak enak badan, ya?"

Arif menunduk, menahan napas. Ia tahu bahwa meskipun berusaha keras menyembunyikan kondisinya, lama kelamaan orang-orang akan tahu. Tubuhnya yang semakin lemah tidak bisa disembunyikan selamanya. Namun, ia tak ingin merepotkan orang lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun