Oleh sebab itu, dengan segala hormat kepada ICRC, penulis tekankan, sebagai sebuah organisasi internasional, ICRC harus belajar banyak dari rasa beragama di Indonesia, sehingga landasan bertindak dari ICRC di masa depan adalah rasa belas kasihan unireligiusitas itu sendiri, bukan kepentingan politik, bukan menjadi sebuah misi rahasia intelijen, apalagi membawa kepentingan neorealisme negara-negara donor semata.
Mungkin saja pembaca memiliki pertanyaan kritis bagaimana tentang praktik rasa beragama Indonesia itu. Harus diakui Indonesia saat ini masih di dalam proses menuju perdamaian yang sejati karena sejak Reformasi 1998, Indonesia seolah menjadi fragmented society dengan kepentingan masing-masing, sehingga masih ada dendam-dendam lama yang belum selesai dan saat ini masih perdamaian semu. Masih ada konflik yang berlandaskan agama[3] dan masih ada ormas-ormas radikal, yang mengatasnamakan agama tertentu, melakukan aksi anarkis untuk menghakimi agama lain. Atas nama demokrasi, luka-luka lama pun kembali dibuka dan kembali mencari-cari siapa yang salah.
Untuk menjadi Indonesia modern, Indonesia harus berani berpikir lebih jauh dari bangsa lain dan menjadi pelopor negara religius yang memiliki perspektif beragama yang mengangkat kehormatan dan martabat manusia karena individu yang modern itu sejatinya tidak pernah mempergunakan alasan agama untuk menekan, membandingkan, merendahkan kehormatan, apalagi mematikan martabat manusia.
Kondisi Indonesia beragama yang modern bukan seperti berakhirnya Ordo Kesatria Templar, bukan seperti bersatunya Jerman Barat dan Jerman Timur, dan bukan seperti terpilihnya Presiden Salvador Allende di Chile. Indonesia ya Indonesia. Dalam hal mensosialisasikan rasa beragama Indonesia modern yang mengangkat kehormatan dan martabat manusia, maka Indonesia dapat memulainya dengan modal yang murah, yakni diadakannya pidato kenegaraan resmi dari Presiden RI sepanjang 5 halaman ringkas yang digodok oleh para pemikir-pemikir Indonesia modern. Kemudian pidato tersebut menjadi pengantar resmi Focus Group Discussion yang mengundang semua kalangan untuk merumuskan Undang-Undang tentang Aturan Beragama di Ruang Publik.
Demikian esai singkat ini dibuat dengan ide dasar bahwa salah satu aspek penting menuju Indonesia yang modern adalah perspektif rasa beragama rakyat yang mengangkat kehormatan dan martabat manusia. Nilai moral yang lebih tinggi daripada tujuan itu adalah untuk mencintai sesama manusia seperti kita mencintai diri sendiri. “And remember the truth that once was spoken, to love another person is to see the face of God”. Begitulah sindiran tajam Victor Hugo. Lantas, apa kabar individu-individu Indonesia yang brilian di Kalimantan Tengah yang tidak bisa ikut menulis blog lomba ICRC ini hanya gara-gara asap?
Daftar Referensi
Anderson, Benedict. 1991. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. New York: Verso.
Covey, Stephen R. 2008. The 8th Habit. Jakarta: PT. Gramedia.
Francoise, Jeanne. 2010. Skripsi: Peran Prancis Masa Mitterand Sebagai DK PBB: Studi Kasus Apartheid Afrika Selatan. Depok: Universitas Indonesia.
Hatta, Mohammad. 1981. Nama Indonesia Penemuan Komunis?. Jakarta: Balai Pustaka.