Mohon tunggu...
Jeanne Francoise
Jeanne Francoise Mohon Tunggu... Dosen - Woman of Conference

Woman of Conference

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lomba Tulisan Blog ICRC: "Konsep Indonesia Modern"

14 Oktober 2015   09:35 Diperbarui: 14 Oktober 2015   12:38 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Untuk melengkapi pemikiran brilian Mohammad Hatta tersebut, penulis mengajukan satu konsep lagi, yakni “Indonesia Modern”. Indonesia sudah merdeka, sudah demokrasi, tetapi belum modern. Indonesia modern dapat dikaji dari pelbagai sudut pandang, namun esai ini akan memfokuskan Indonesia modern kepada salah satu topik lomba blog ICRC, yakni perspektif agama tentang kehormatan dan martabat manusia.

Modernisme dan agama itu seolah didikotomikan secara a priori karena ada asumsi bahwa orang modern itu identik dengan paham sekularisme. Namun justru disinilah kekhasan dari Indonesia. Indonesia bisa menjadi modern, tetapi tidak akan pernah bisa menjadi negara beragama karena fakta bahwa bangsa Indonesia memiliki identitas keagamaan yang berbeda-beda, bahkan penulis memiliki teman yang menganut agama kepercayaan “sedulur sikep” yang belum diakui di Undang Undang.

Pada era Orde Baru hingga Reformasi, walaupun tidak ditetapkan secara hukum, secara konsensus umum, Indonesia bukanlah negara sekuler, bukan pula negara agama. Dengan mengacu kepada teori Jürgen Habermas, maka Indonesia secara fakta inderawi merupakan bangsa yang mengenal Allah dan mengakui keberadaan-Nya baik di ruang publik, maupun di ruang privat. Hal tersebut dapat peneliti buktikan secara sederhana dengan melihat kalendar tahun 2015. Di kalender tersebut terdapat 16 tanggal merah yang terkait dengan tradisi-tradisi keagamaan.

Indonesia juga tidak bisa menjadi negara sekuler karena agama merupakan spirit utama yang menggerakkan bangsa Indonesia sejak masih berbentuk “Nusantara”. Rasa beragama telah membantu bangsa Indonesia bersatu padu untuk mencari bentuk negara yang ideal. Pertama-tama adalah konsep dakwah Islam yang menyadarkan adanya musuh bersama yakni penjajah dan rasa kebersamaan sebagai orang Melayu. Dakwah Islam, yang muncul pada era kejayaan kerajaan nusantara sampai dengan masa pra-kemerdekaan, merupakan pemersatu bangsa Indonesia. Dakwah Islam bersifat going beyond border, maksudnya adalah dakwah Islam yang muncul di kaum Islam abangan di Pulau Jawa kemudian meluas ke seluruh Nusantara dengan satu dakwah, yakni “Islam melawan kafir”. “Kafir” di sini maksudnya adalah bangsa Eropa yang menjajah Nusantara (Said, 2014).

Kemudian terdapat organisasi kepemudaan yang terbentuk berdasarkan agama, seperti Jong Sulawesi yang awalnya dibentuk oleh pemuda-pemuda Kristen dan Pemuda Katolik dari para aktivis Katolik. Itulah bukti sejarah bahwa unsur agama tidaklah dapat dipisahkan di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Oleh sebab itu, Indonesia yang menjadi modern artinya bukan berarti Indonesia yang melupakan agama. Indonesia modern justru Indonesia yang semakin beragama dan semakin religius dengan praktik nyata kehidupan yang semakin mengangkat kehormatan dan martabat manusia. Namun untuk menuju rasa beragama yang baik seperti itu, Indonesia menghadapi tantangan dari sistem demokrasi.

Jean-Paul Sartre pernah mengatakan bahwa “Ibarat naik kereta, semua yang beragama memegang karcis, tetapi yang ateis tidak memegang karcis, lalu membayar denda. Semuanya pun berangkat ke tempat tujuan yang sama dengan selamat”. Dari kalimat tesis singkat tersebut, Jean Paul Sartre ingin menunjukkan bahwa semua manusia pun akan selamat, tidak perduli beragama atau ateis, asalkan membayar “karcis”-nya. Dalam suatu speech panjang tentang Apartheid Afrika Selatan, Jean Paul Sartre kemudian menafsirkan “karcis” tersebut sebagai sebuah rasa belas kasihan terhadap kaum yang tertindas (Francoise, 2010).

Pemikiran Sartre tersebut bukanlah pemikiran main-main karena Sartre melihat kehadiran agama di zaman demokrasi ini hanya sebagai the flying flamingo. Apabila terbang, burung flamingo itu tidak stabil karena tidak bisa naik tajam, tetapi juga tidak bisa turun perlahan. Kehadiran agama di dunia ini, penulis coba tafsirkan adalah, seolah sebagai alarm belaka atau hanya dianggap sebuah kitab yang mengingatkan tentang kebaikan-kebaikan normatif saja, tetapi dalam praktiknya, para penganut agama justru menjadi aktor konflik yang merendahkan kehormatan dan martabat manusia.

Padahal, agama-agama di dunia ini dalam memandang tentang kehormatan dan martabat manusia itu memiliki definisi yang sama (dalam istilah pribadi penulis; unireligiusitas) bahwa semua manusia itu dilahirkan mulia dengan kesempatan yang sama di masa depan. Stephen R. Covey dalam bukunya “The 8th Habit” bahkan menyebutkan bahwa semua anak itu dilahirkan brilian (Covey, 2008). Akan tetapi, kenapa manusia brilian dan beragama ini kemudian justru menjadi aktor konflik yang merendahkan kerhormatan dan martabat manusia di zaman demokrasi?

Sir Winston Churcill pernah mengatakan bahwa “Demokrasi merupakan sistem politik yang paling terbaik diantara sistem-sistem politik lain yang tidak baik” (Morgenthau, 2010). Di dalam demokrasi, unsur kebebasan merupakan unsur utama. Bahkan kehendak bebas yang datang dari people power di Prancis pun mampu memenggal kepala seorang Raja. Maklum lah, Prancis sudah belajar banyak dari pertentangan panjang negara dan agama di abad kegelapan.

Umur demokrasi Indonesia memang masih seumur jagung tidak seperti Prancis yang sudah berpengalaman demokrasi 100 tahun, tetapi dalam perspektif beragama, Indonesia paham benar akan kehormatan dan martabat manusia, bahkan jauh sebelum ICRC terbentuk. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, di dalam sejarah, Indonesia yang saat itu masih bernama “Nusantara” pun telah menyadari bahwa penjajahan di muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Dengan kata lain, Indonesia menggugat bahwa unsur agama kaum kolonialisme pada masa itu telah disalahartikan demi ambisi politik saja, yang dirumuskan ke dalam seruan “gold, glory, gospel”, yang merupakan sebuah terorisme yang melecehkan kehormatan dan martabat manusia Indonesia.

Di dalam pergaulan internasional, Indonesia juga memiliki rasa belas kasihan kemanusiaan tanpa memandang keagamaan suatu negara ataupun posisi politik negara tersebut. Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pernah mengirimkan bantuan beras dengan tulus kepada India yang pada waktu itu sedang mengalami kekeringan panen, padahal India baru saja menyerang sipil Pakistan yang notabenenya Pakistan secara agama mayoritas, lebih dekat hubungannya dengan Indonesia. Apabila hanya memikirkan politik, tentu pada waktu itu, Indonesia bisa saja berdiam diri tidak membantu India. Disitulah letak kedewasaan rasa beragama Indonesia yang sudah mulai dicontohkan oleh para pendiri bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun