Mohon tunggu...
JBS_surbakti
JBS_surbakti Mohon Tunggu... Akuntan - Penulis Ecek-Ecek dan Penikmat Hidup

Menulis Adalah Sebuah Esensi Dan Level Tertinggi Dari Sebuah Kompetensi - Untuk Segala Sesuatu Ada Masanya, Untuk Apapun Di Bawah Langit Ada Waktunya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tersesat Idealisme, Terjebak Pragmatisme

15 Juni 2021   16:10 Diperbarui: 12 November 2021   06:53 1026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Bermimpi meraih bintang namun tak pernah menggapai malam, menanti indahnya mentari namun tetap terbuai di ujung kelam” - JBS

Tidak bisa dipungkiri bahwa hidup dengan seluruh warna-warni yang menghiasinya layak disebut dengan sebuah paradoks tanpa akhir. Selalu berpasangannya antara 2 kutub yang bertolak belakang hingga menjadi siklus kehidupan.

Sebut saja baik vs buruk, suka vs duka, tawa vs tangis, dan pasangan kata yang berlawanan lainnya. Respon alamiah dari setiap orang adalah selalu berkeinginan untuk meraih dan menikmati yang “enak-enak” dan berupaya keras untuk terhindar dari yang “pahit-pahit”.

Bila ditanya pada diri, maka tidak akan munafik untuk memilih yang “enak-enak” seperti tren terkini ala-ala Tiktokers: visi “foya-foya” misi “foya-foya”, visi-misi “foya-foya terus”. Namun dipastikan paham ini adalah paham mimpi yang meracuni keserba-serbian dampak era disrupsi yang serba instan.

Pernahkah mendengar seorang berkata “Bagi saya yang penting lulus” sementara yang lain “Saya harus juara”, ada pula yang menegaskan “Hasil adalah segalanya” di pojok lain menyebutkan “Proses yang baik tak kan pernah menghianati hasil”. Mungkin setiap orang memiliki pengalaman yang sama dengan perkataan ini meski dengan dimensi dan situasi yang berbeda.

Bila ditilik secara tematik atau makna filosofis dari perkataan tersebut sesungguhnya akan mencerminkan paham atau pandangan yang terdiri atas kaum “pragmatis” dan kaum “idealis”.

 Sesuatu yang lazim terdengar dan sebagian dari orang-orang telah dicap atau dihakimi oleh pembagian kaum ini. Pertanyaan selanjutnya adalah “Anda masuk paham mana? Idealis atau pragmatis?.”

Sebagai seorang yang tidak ahli tentang filsafat, saya coba mengulas paham ini berdasarkan pengalaman sekitar yang pernah dilihat dan dirasakan langsung. Mari kita coba tahu.

sumber : lilistya.files.wordpress.com
sumber : lilistya.files.wordpress.com

Si Idealis pekerja keras dan keras kepala

Dalam menjalankan dan menggapai visi dan misi baik itu anda sebagai pribadi maupun sebuah organisasi tidak pernah lepas dengan cara atau paham yang diyakini benar mencapai tujuan. Oleh karenanya akan selalu ada paham yang kemudian menjadi acuan untuk dilihat, dikecap dan dinikmati bersama. Terdapat dua pengelompokan paham, yang oleh sebahagian orang akan menstempel seseorang itu dengan label orang idealis atau orang pragmatis.

Dari berbagai sumber, pengertian paham idealisme (kaum idealis) adalah orang-orang yang lebih menekankan kepada hal-hal bersifat ide yang dianggap sebagai suatu kebenaran, dengan bersumber dari pengalaman, kultur budaya, dan kebiasaan. Nilai-nilai yang dianggap benar adalah sempurna adanya. Menjadi suatu ideologi untuk kemudian menjadi patron mencapai tujuan. Di luar ide atau nilai-nilai itu dianggap tidak sesuai dan bertentangan.

“Saya harus juara” demikian janji seorang anak yang bersekolah kepada orang tuanya dengan cara yang dilakukan adalah dengan “belajar keras”. Tujuan juara melalui cara atau ide belajar keras adalah sebuah bentuk paham yang akan kemudian menjadi kebiasaan si anak.

Bila kemudian dari pengalaman berikut hasil yang diperoleh sejak kecil “belajar keras dan menjadi juara” akan selalu tertanam sampai kapan pun dan akan menjadi label sebagai seorang pekerja keras dan sang juara. Cara lain di luar bekerja keras adalah bukan pilihan bagi anak idealis.  

Kaum idealis menganggap ide, cara dan metode adalah terletak dengan proses yang harus dilaksanakan dan menjadi kunci meraih tujuan atau hasil. Proses yang dipatuhi dengan baik adalah menjadi satu-satunya cara agar bisa mencapai tujuan.

Mereka tahu apa yang menjadi tujuan dengan jelas, menghormati ide dan nilai-nilai yang adalah sebagai kontrak tercapainya tujuan, punya mentalitas dan upaya yang lebih untuk menggapainya dan kemudian melaksanakan dengan patuh atas proses yang telah dibuat.

Kegagalan untuk mencapai hasil akhir dari tujuan, akan menjadi tamparan keras. Kelemahan yang diakibatkan karena meletakkan sebuah tujuan dan cara yang pakem tak jarang idealisme tersesat karena mengabaikan pilihan lain, dan hanya fokus pada satu cara.

Keagungan ide dan cara yang mumpuni berdasarkan nilai-nilai luhur manusia, kesempurnaan hidup, fantasi yang berlebihan terhadap sebuah realita bukanlah tidak diantispasi namun menjadi antiklimaks apabila berujung dengan “takdir” atau nasib.

Banyaknya dukungan dengan pendapat yang sama dengan para pengikut atau teman sejenis adalah menjadi penyemangat tersendiri. Namun ini justru menjebak tatkala salah memilih kelompok yang bertamengkan karena hanya untuk membuat senang dengan paham mereka. Menjadi jebakan mimpi dan terluka dalam.

Tidak sedikit para kaum idealis menjadi pemimpi dan menjadi “gila” apabila ternyata ide dan cara yang telah direncanakan jauh dari kenyataan hidup. Namun tidak sedikit pula sebagai anti-mainstream yang memiliki prinsip tersendiri yang mampu mempengaruhi orang lain untuk bekerja sesuai dengan nilai-nilai baru yang mereka ciptakan, patuhi dan hormati.

Pada banyak pengamatan, para kaum idealis yang perfeksionis adalah para risk taker dan punya komitmen kuat untuk mencapai hasil yang dituju. Rangkaian proses adalah menjadi sebuah kepatutan dan kepatuhan bersama yang wajib dijalankan apabila hendak mencapai hasil yang optimal.

Kesempurnaan antara proses dengan hasil yang dituju menjadi sebuah idealisme yang akan mewarnai pemikiran dan perbuatan di tengah tantangan perubahan yang sering terjadi.

Sehingga mewariskan nilai-nilai kepada orang lain. Pada akhirnya bila ternyata pada perjalanan tugas yang tidak seindah yang direncanakan maka tidak sedikit dari mereka menarik diri dan mengambil sikap masa bodoh.

sumber : pexels.com
sumber : pexels.com

Si Pragmatis yang taktis dan opurtunis

Segala aturan main yang telah tertuang dan menjadi patron terhadap pencapaian tujuan tidak jarang justru menjadi ancaman dan hambatan. Tidak terpatok hanya dengan satu cara atau ide yang telah pakem adalah salah satu pola pemahaman bagi para pendukung pragmatis. Ide menjadi benar ketika memiliki fungsi pelayanan dan kegunaan.

Dengan demikian, paham pragmatisme tidak mau direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran atau nilai-nilai luhur saja. Hitam dan putih hanya akan menjadi dasar pertimbangan yang difokuskan pada hasil.

“Bagi saya yang penting lulus” suatu pernyataan yang berbeda dengan kaum idealis sebelumnya yang meletakkan tujuan menjadi jawara. Hasil akhir adalah lulus yang tidak terlalu muluk-muluk. Meletakkan tujuan yang tidak seindah dengan kaum sebelumnya karena berorientasi kepada kata lulus. Jauh dari fokus meraih kata jawara sebagai tujuan akhir.

Menikmati realita dengan cara yang berbeda dan tidak hanya dengan bekerja keras apalagi terbentur dengan keterbatasan yang dimiliki. 

Bekerja keras terkadang hanyalah angan-angan apabila diperkirakan tidak akan mencapai hasil yang diharapkan. Perlu cara lain yang lebih lentur dan masuk akal sehingga hasil yang diharapkan adalah kata lulus. Bekerja keras bukanlah ide atau cara mumpuni apabila punya cara lain di luar kebiasaan.

Banyak cara atau ide dengan segala keperbedaan yang dimiliki adalah sesuatu yang dimaklumi untuk mencapai tujuan. Antisipasi terhadap keterbatasan membuat kaum ini paham betul antara kemampuan dengan keterbatasan berikut rangakaian peraturan atau nilai-nilai yang sulit diterabas. Untuk apa juga harus juara kalau lulus juga adalah pilihan yang menyenangkan hati.

Nilai-nilai kesempurnaan tidak musti dikejar apabila yang praktis dan cepat telah memuaskan dan bisa dinikmati dengan bahagia.

Mobil dengan mesin tercanggih tidak akan bermakna apapun apabila tidak bisa berjalan. Keindahan atau kemewahan mobil akan tidak ada gunanya apabila tidak bisa dimiliki dan dimanfatkan. Pemahaman ini yang terkadang membuat kaum pragmatis terkesan apa adanya, tidak punya tujuan yang jelas dan sempurna, dan kelenturan ide yang mengantipasi perubahan serta kegagalan mencapai tujuan.

Sehingga itu sering kaum pragmatis dilabel sebagai kaum opurtunis atau tidak punya prinsip.

Nilai-nilai yang mempesona dengan rangkaian proses yang harus dihormati tahap demi tahap mencapai tujuan bukan menjadi pilihan utama. Fokus pada tujuan jangka pendek dengan segera mencapai hasil adalah lebih menjadi skala prioritas. Berorientasi kepada ujung sebuah proses, dan bila gagal menjadi sebuah kebodohan.

Tidak perlu peduli terhadap proses yang serba indah kalau akhirnya gagal mencapai hasil. Pemahaman praktis dan bisa berhasil menjadi pilihan terbaik karena tidak mau dipusingkan dengan upaya memperbaiki proses menjadi sempurna.

Saat ini paham pragmatisme menjadi favorit untuk dilaksanakan oleh organisasi ataupun seorang pribadi. Keterbatasan waktu atau tenaga serta tuntutan untuk bertahan hidup adalah menjadi fokus utama. Sadar diri atas kekurangan yang ada sehingga kegagalan di hasil akhir bukanlah sebuah penderitaan, dianggap wajar sehingga perlu dicoba dengan berbagai cara yang baru.

Oleh karenanya fokus dengan tuntutan lebih optimal mencapai hasil dengan berbagai cara bisa dilakukan. Taktis dengan ide yang dimodifikasi dengan siasat dan strategi baru di detik-detik akhir adalah cara terbaik daripada menunggu sampai situasi dan kondisi yang ideal.

Siapapun dengan seluruh ide yang dimiliki baik mumpuni atau tidak, tergantung apakah bisa dilaksanakan dan membuahkan hasil secara nyata khususnya materi dan pemenuhan hidup.

Selebihnya hanyalah sebuah basa-basi yang tidak diperlukan dan menghabiskan banyak waktu dan tenaga.

Hal inilah secara jangka pendek dapat dinikmati  oleh setiap orang namun upaya memperbaiki atau menanamkan nilai-nilai baru sebagai modal kepada peradaban menjadi sebuah pengabaian. Terjebak dengan hal-hal yang praktis atau mudah dilaksanakan saja, tanpa sebuah upaya proses pembelajaran nilai-nilai baru demi keberlanjutan hidup organisasi.

Perbedaan antara kaum idealis dan pragmatis dengan cara dan orientasi menunjukkan keterbatasan sebagai manusia. Diperlukan keseimbangan antara nilai-nilai yang hendak dibangun dengan tidak terbuai dengan sebuah rentetan proses saja. Tidak memiliki upaya yang taktis memenuhi kebutuhan secara fisik dan materi akan membuat manusia pada titik nol dan kemunafikan sejatiTidak akan bisa bertahan hidup dan mati secara fisik dan mencoba membangun nilai yang sifatnya angan-angan saja.

Anda dan saya mungkin adalah salah satu penganut paham ini. Pilihan paham apapun itu adalah yang terbaik daripada tidak untuk keduanya.

Terjerumus untuk tidak idealis dan memilih pragmatis dengan cara instan yang menggadaikan jati diri manusia di era ini sepertinya telah membuat peradaban semakin menuju pada kehancuran dan menciptakan pelacuran hidup yang sungguh tidak menggambarkan jati diri kita sebagai bangsa yang besar. Salam

Medan, 15 Juni 2021

Jesayas Budiman Surbakti

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun