Mohon tunggu...
M Rosyid J
M Rosyid J Mohon Tunggu... Freelancer - Peneliti

Researcher di Paramadina Public Policy Institute

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mensyukuri Bahasa Kita, Mensyukuri Kebangsaan Kita

5 Maret 2015   18:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:07 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam bukunya Indonesia Kita (2004), Nurcholish Madjid (Cak Nur) menyebutkan, Bahasa Indonesia lahir ketika Melayu menjadi bahasa umum di Nusantara terutama dalam bidang perdagangan. Bahasa Melayu menjadi lingua franca, sebut Cak Nur. Semenjak itu, banyak orang menggunakan Melayu untuk menghapus saling-silang perbedaan pemahaman dalam bermacam diskusi, transaksi dan negosiasi.

Di masa kolonial, Bahasa Melayu makin diperkuat menjadi bahasa penyelaras pemahaman ketika pada 1901 diterbitkan Ejaan Ch. A. van Ophuysen bagi bahasa Melayu di Indonesia. Ini menjadi penanda bahwa Bahasa Melayu telah diperhitungkan signifikansinya bagi perkembangan Hindia Belanda. Kemudian pada 25 Juni 1918 bahasa Melayu menjadi bahasa perundingan di Dewan Rakyat atau Volksraad.

Sementara di bagian lain negeri ini, adalah Tirto adi Soeryo (TAS) yang menggagas pendirian koran Medan Prijaji pada 1907, yang menggunakan Melayu sebagai bahasanya. Beberapa ahli menyebut TAS adalah “jurnalis yang jangkauan gagasannya jauh melampaui zamannya.” (berdikarionline.com, 2010)

Tokoh yang menjadi inspirasi utama Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer ini telah dengan sadar menggagas kesadaran nasional melalui bahasa Melayu pada korannya. Melalui ‘koran melayu’ ini pula, ia bertekad “menyiapkan nusantara memasuki dunia modern” (berdikarionline.com, 2010).

Seperti apa yang digambarkan Pram, sayang, pada 1912 koran ini diempas oleh kebangkrutan, runtuh hanya bertinggal nama. Namun atas semua yang terjadi padanya, TAS telah meletakkan satu batu lompatan pada bahasa yang, pada saat itu, sedang bertumbuh ini, menyiapkannya pada tahap selanjutnya untuk merakit sebuah bangsa yang kelak bernama Indonesia.

Ketika diskusi tentang kemerdekaan mulai bergulir, beberapa mulai menyebut bahwa Bahasa Melayu versi Nusantara ini sebagai ‘Bahasa Indonesia’. Pada 1916, dengan bahasa “Indonesia” (saat itu secara formal belum disebut bahasa Indonesia), Ki Hajar Dewantara berpidato pada dalam Kongres Guru di Den Haag.

Selanjutnya, Sumpah Pemuda membubuhkan peran pentingnya pada perjalanan sejarah bahasa Indonesia. Pada dua kongresnya, pemuda-pemuda Indonesia telah menyatakan bahwa bahasa Indonesia telah menjadi bahasa mereka dan akan menjadi bahasa persatuan bagi Bangsa Indonesia.

Lahir bukan tanpa maksud

Dalam Sumpah Pemuda, Bahasa Indonesia dinyatakan sebagai bahasa persatuan memang terdengar melegakan, membanggakan, mungkin juga patriotis. Memang demikian.

Tapi kenyataannya, seperti diungkap Anies Baswedan, pemuda-pemuda itu bukan seketika dipuja-puja menjadi pahlawan. Mereka dicap sebagai pengkhianat nenek moyang ketika mereka pulang kembali ke derahnya. Mereka dianggap menyepelekan budaya nenek moyang.

Cerita Anies, dulu sepulang dari kongres pemuda, pemuda-pemuda nusantara dicap penghianat oleh kaumnya sendiri. Bahasa Indonesia adalah bahasa asing masa itu.Tetapi mereka paham paham bahwa kelak bahasa ini akan menjadi penting bagi masa depan tanah air mereka. Keteguhan mereka yang bercampur pahit getir pun pada akhirnya berbuah manis ketika Indonesia merdeka. Bahasa Indonesia resmi menjadi bahasa pemersatu negara ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun