[caption id="attachment_400996" align="aligncenter" width="323" caption="Dengan teman berbagai latar belakang di perantauan, Jakarta (dok. Suhar)"][/caption]
Menjadi anak perantauan, bertemu dengan bermacam tipe orang adalah sesuatu yang pasti terjadi. Perbedaan mudah sekali ditemui dari yang paling sederhana misalkan warna kulit, hingga yang sedikit komplek, katakanlah budaya. Tapi salah satu yang menarik perhatian saya adalah keragaman bahasa kita.
Setelah beberapa tahun tinggal, belajar dan bekerja di Jakarta, saya baru menyadari bahwa rupanya Bahasa Indonesia itu ‘banyak macamnya’. Dari beberapa kawanku, bahasa Indonesia terdengar tak sama, meski maksudnya tak berbeda. Aksen mereka berbeda-beda.
Bahasa ini, terlepas dari perbedaan aksesnnya yang menarik, rupanya telah menyatukan dan menyelaraskan banyak pembicaraan, canda, diskusi, perundingan, negosiasi dan transaksi di negeri ini.
Aneh-aneh bahasa kita
Dari pertemanan, baru kita sadari kalau di Indonesia aksen bahasa ini bisa beratus-ratus jumlahnya. Beragam aksen tersebut diantaranya Jawa, Minang, Batak, Tegal, Madura, Sunda, Papua, Aceh, Bugis, Manado, Bali, Jakarta, dan masih banyak lagi. Saya sendiri beraksen Jawa yang kental dengan medhok-nya.
Bila kita sedikit ‘iseng’ merenungkan kembali bahasa ini, ternyata bahasa kita ini juga punya beberapa keanehan yang menarik. Seperti kata tujuh. Pelafalannya hanya tuju. Kata jumat yang dibaca jum-at. Kata tidak juga sering diucapkan hanya dengan tida’. Penulisan dan pelafalan berbeda bukan?
Ada juga soal gabungan kata yang berlainan arti ternyata kita juga punya. Ada kata tinggal. Perhatikan kata-kata turunannya berikut: meninggal, meninggalkan, tertinggal, ketinggalan, dan tinggal. Ada juga cuma, percuma, dan cuma-cuma. Juga pura dan pura-pura. Alamak, sudah pasti ini memusingkan orang yang baru belajar bahasa kita ini.
Tentu, masih banyak hal yang aneh tapi menarik yang dapat kita perhatikan dari bahasa kita bahasa Indonesia ini. Tapi bagaimana Indonesia dengan perbedaannya yang bergitu banyak, bisa dipersatukan dengan bahasa ini? Siapa (saja) yang mau ‘susah-susah’ memikirkan perlunya bahasa Indonesia ini? Beruntungkah kita bangsa Indonesia memiliki bahasa Indonesia ini?
Sebuah perjalanan bahasa
Kalau mau sejenak menapak balik ke sejarah, bahasa Indonesia ternyata bukan bahasa yang lahir lalu berkembang melalui mekanisme alam sehingga terbentuk seperti sekarang ini.
Dalam bukunya Indonesia Kita (2004), Nurcholish Madjid (Cak Nur) menyebutkan, Bahasa Indonesia lahir ketika Melayu menjadi bahasa umum di Nusantara terutama dalam bidang perdagangan. Bahasa Melayu menjadi lingua franca, sebut Cak Nur. Semenjak itu, banyak orang menggunakan Melayu untuk menghapus saling-silang perbedaan pemahaman dalam bermacam diskusi, transaksi dan negosiasi.
Di masa kolonial, Bahasa Melayu makin diperkuat menjadi bahasa penyelaras pemahaman ketika pada 1901 diterbitkan Ejaan Ch. A. van Ophuysen bagi bahasa Melayu di Indonesia. Ini menjadi penanda bahwa Bahasa Melayu telah diperhitungkan signifikansinya bagi perkembangan Hindia Belanda. Kemudian pada 25 Juni 1918 bahasa Melayu menjadi bahasa perundingan di Dewan Rakyat atau Volksraad.
Sementara di bagian lain negeri ini, adalah Tirto adi Soeryo (TAS) yang menggagas pendirian koran Medan Prijaji pada 1907, yang menggunakan Melayu sebagai bahasanya. Beberapa ahli menyebut TAS adalah “jurnalis yang jangkauan gagasannya jauh melampaui zamannya.” (berdikarionline.com, 2010)
Tokoh yang menjadi inspirasi utama Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer ini telah dengan sadar menggagas kesadaran nasional melalui bahasa Melayu pada korannya. Melalui ‘koran melayu’ ini pula, ia bertekad “menyiapkan nusantara memasuki dunia modern” (berdikarionline.com, 2010).
Seperti apa yang digambarkan Pram, sayang, pada 1912 koran ini diempas oleh kebangkrutan, runtuh hanya bertinggal nama. Namun atas semua yang terjadi padanya, TAS telah meletakkan satu batu lompatan pada bahasa yang, pada saat itu, sedang bertumbuh ini, menyiapkannya pada tahap selanjutnya untuk merakit sebuah bangsa yang kelak bernama Indonesia.
Ketika diskusi tentang kemerdekaan mulai bergulir, beberapa mulai menyebut bahwa Bahasa Melayu versi Nusantara ini sebagai ‘Bahasa Indonesia’. Pada 1916, dengan bahasa “Indonesia” (saat itu secara formal belum disebut bahasa Indonesia), Ki Hajar Dewantara berpidato pada dalam Kongres Guru di Den Haag.
Selanjutnya, Sumpah Pemuda membubuhkan peran pentingnya pada perjalanan sejarah bahasa Indonesia. Pada dua kongresnya, pemuda-pemuda Indonesia telah menyatakan bahwa bahasa Indonesia telah menjadi bahasa mereka dan akan menjadi bahasa persatuan bagi Bangsa Indonesia.
Lahir bukan tanpa maksud
Dalam Sumpah Pemuda, Bahasa Indonesia dinyatakan sebagai bahasa persatuan memang terdengar melegakan, membanggakan, mungkin juga patriotis. Memang demikian.
Tapi kenyataannya, seperti diungkap Anies Baswedan, pemuda-pemuda itu bukan seketika dipuja-puja menjadi pahlawan. Mereka dicap sebagai pengkhianat nenek moyang ketika mereka pulang kembali ke derahnya. Mereka dianggap menyepelekan budaya nenek moyang.
Cerita Anies, dulu sepulang dari kongres pemuda, pemuda-pemuda nusantara dicap penghianat oleh kaumnya sendiri. Bahasa Indonesia adalah bahasa asing masa itu.Tetapi mereka paham paham bahwa kelak bahasa ini akan menjadi penting bagi masa depan tanah air mereka. Keteguhan mereka yang bercampur pahit getir pun pada akhirnya berbuah manis ketika Indonesia merdeka. Bahasa Indonesia resmi menjadi bahasa pemersatu negara ini.
Ejaan demi ejaan pun diterbitkan untuk penyempurnaan. Ejaan Van Ophuysen disempurnakan oleh Ejaan Soewandi pada 1947. Kemudian Ejaan yang Disempurnakan atau EYD, tahun 1972 muncul meyempurnakan yang sebelumnya. Pada 1975, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan Pedoman Istilah dipublikasikan. Pada akhirnya, Kamus besar Bahasa Indonesia, dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia hadir di tahun 1988 (Indonesia Kita, 2004).
Perjalanan panjang bahasa Indonesia tentu menjadi pengetahuan penting bagi kita untuk selalu dicermati. Bahasa ini lahir bukan tanpa maksud. Bahasa Indonesia memang dibentuk dan disempurnakan untuk lahir sebagai pemersatu negeri ini, sebagai bahasa persatuan.
Kita sering tak menyadari dan menysukuri bagaimana sesuatu ‘terhidang lezat’ di hadapan kita. Kita mungkin tak paham dan peduli mengapa kita berbahasa Indonesia sehari-hari. Bahasa ini ‘terhidang’ begitu saja ketika kita bertumbuh di Indonesia ini. Tapi membaca sejarahnya, tentu kita harus berbalik arah, bahasa ini tidak hadir terhidang begitu saja memudahkan kita berkomunikasi satu sama lain di Indonesia ini.
Kita patut bersyukur bangsa ini memiliki bahasa persatuan bahasa Indonesia. kebangsaan kita terkuatkan salah satunya karena bahasa Indonesa yang sekali lagi bukan datang begitu saja (taken for granted), tapi diperjuangkan oleh banyak orang.
Pendiri bangsa ini kebanyakan bukanlah orang jelata. Mereka keluarga saudagar, keturunan raja, atau juga kaum priyayi. “Mereka punya segudang penuh alasan untuk hidup nyaman dan bersenang-senang. Tetapi, mereka memilih untuk bersusah payah menyatukan bangsa ini!” kata Anies dalam satu pidatonya.
Kalau mau egois, pendiripendiri bangsa tentu lebih memilih berbahasa daerahnya dan berbahasa Inggris atau Belanda. Tapi keberanian untuk menyatukan negeri ini sebagai bangsa Indonesia yang utuh membuat mereka perlu memperjuangkan dan mempertahankan bahasa Indonesia.
Di Indonesia ini, sekitar 300-an suku hidup mewarnai kehidupan negeri. Mereka bahkan berbicara dalam 700-an bahasa yang berbeda-beda, tulis Hawaii.edu, website University of Hawaii yang menawarkan program khusus bahasa Indonesia. Dan, semua orang kini pun telah berbahasa Indonesia. Yet, every Indonesian also masters the Indonesian language known as Bahasa Indonesia (Hawaii.edu, 2013)
Dengan bahasa ini, semua suku di tanah air dapat berbicara satu sama lain. Mungkin saling bercanda, bergurau, melempar sapa dan saling mengucap salam. Mungkin logat atau aksen tiap orang berbeda-beda. Tetapi dengan berbahasa Indonesia, semua orang Indonesia tahu kalau saudaranya ada semua di hamparan pulau di negeri ini.
Mensyukuri bahasa, mensukuri bangsa
Ketika belajar di Amerika 3 tahun lalu, saya sempat frustasi pada bulan-bulan awal. Kemampuan bahasa Inggris yang masih pas-pasan memaksa saya harus berjuang menggunakan bahasa tubuh ketika harus berkomunikasi dengan orang lokal.
[caption id="attachment_400995" align="aligncenter" width="258" caption="Saat thanksgiving dengan keluarga Pak Susilo dan Keluarga Dennis"]
Akhirnya saya menemukan keluarga Indonesia yang juga tinggal di sekitar dan belajar di kampus tempat saya belajar. Saya bertemu keluarga Pak Susilo. Harus saya akui betapa gembiranya bertemu sesama orang Indonesia. Ketika saya mendengar mereka berbahasa Indonesia di negeri Paman Sam, seperti rasanya menemukan saudara sendiri.
Kalau saya bertemu mereka di Indonesia, mereka mungkin bisa jadi bukan siapa-siapa dan tak akan jadi siapa-siapa bagiku. Ketika tiap weekend saya dulu mampir ke rumah mereka, rasanya saya berada di dalam rumah sendiri bersama saudara-saudara dari keluarga yang paling dekat! Ya, hanya karena kami sama-sama berbahasa Indonesia! Sama-sama orang Indonesia!
Selain keluarga Pak Susilo, saya pun akhirnya juga bertemu keluarga Pak Agus yang merupakan orang Indonesia keturunan Tionghoa, keluarga Mbak Siti yang ia menikah dengan orang AS, dan keluarga Pak Haring yang merupakan warga AS yang berdarah setengah Indonesia. Ayah Pak Haring adalah orang Belanda, dulu pejabat di Hindia Belanda yang saat ini sudah jadi Indonesia.
Yang mengagetkan, bukan hanya keluarga Pak Susilo dan Pak Agus yang bisa bahasa kita ini, Pak Haring pun masih mahir berbahasa Indonesia. Ia bahkan masih fasih berbahasa Jawa!
Sungguh pilihan yang cerdas dan berwawasan jauh ke depan ketika para pemuda kita mengikrarkan bahwa bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia pada 1928 lalu. Kalau mereka masih hidup sampai kini, mungkin mereka akan tercengang dengan bagaimana bahasa ini terus berkembang di Indonesia ini dan telah menyatukan ratusan juta orang di Indonesia.
Dengan ini semua, mari bersukur telah menjadi bagian dari bangsa ini dan menyadari bagaimana Bahasa Indonesia begitu besar perannya telah dan akan terus menjaga dan menumbuhkan persaudaraan dan persatuaan untuk bangsa Indonesia ini. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H