Mohon tunggu...
M Rosyid J
M Rosyid J Mohon Tunggu... Freelancer - Peneliti

Researcher di Paramadina Public Policy Institute

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Balada Monorail Jakarta dan Keluhan Kawan Baikku

8 Juni 2014   02:29 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:46 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ganjalan utamanya ini terpapar jelas di acara ini. Terlihat sekali tak ada ‘sinkronisasi niat’ antara pemerintah DKI Jakarta (DKI) dan Jakarta Monorail. Pemerintah DKI meminta proyek ini jangan diambil untung sebagai bisnis, sementara PT JM tentu harus 'membisniskan' ini. Sebab kalau tidak, darimana untungnya? Bagi pemerintah DKI tak mungkin monorail dibisniskan karena akan mahal tarifnya, sementara bagi PT JM tak mungkin ini jadi ‘proyek sedekah’ sebab siapa yang akan gaji karyawan mereka?

Pembangunan monorail juga mendapat kritikan dari Dharmaningtyas, sebab menurutnya, proyek ini tak memberi manfaat bagi Jakarta. Menurutnya, rutenya tak tepat sasaran. Ia menyebutnya sebagai ‘rute makan siang’ karena ia anggap jalur yang akan dibangun tak akan mengurangi macet, melainkan cuma mengantarkan orang makan siang di mall-mall.

Konsultan dari Bappenas Lukas Hutagalung mencoba menengahi situasi 'tegang' antara PT JM dan Pemerintah DKI dengan menawarkan sistem KPS atau kerjasama pemerintah dan swasta. Jelasnya, dalam aplikasinya, sistem ini menjembatani antara kepentingan publik DKI Jakarta dan kepentingan bisnis PT JM. Dengan sistem ini, kata Lukas, pada akhirnya monorail akan jadi milik pemerintah seutuhnya, namun selama masa konsesi, PT JM berhak 'membisniskannya'.

Sementara itu, sebagai seorang ahli komunikasi politik, Prof Tjipta mengatakan kalau monorail di Jakarta bukan hanya diperlukan, tapi sangat diperlukan! Pertumbuhan panjang jalan yang cuma 0.6% per-tahun tak sanggup lagi mengimbangi laju pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang capai 10% per-tahun.

Beberapa pihak kemudian memunculkan isu bahwa Ibukota harus dipindah. Namun menurut Tjipta, ini tidak diperlukan sama sekali. Ibukota dimana-mana memang macet. Yang perlu dibenahi transportasinya. Memindahkan ibukota sama halnya cuma memindahkan ruang; kalau orang-orangnya, birokrat-birokratnya mentalnya sama, masalah yang dihadapi pun sama saja.

Saking jengkelnya, Prof Tjipta dengan vulgar bilang kalau birokratnya masih “banyak bacot” dan “banyak korupsi” dan dipimpin “pemimpin-pemimpin sableng”, mau diperlakukan bagaimanapun, Ibukota dipindah ke tempat macam apapun, sama saja masalahnya.

Mendengar paparan para pembicara, otak saya mulai merangkai-rangkai pemikiran. Oh begini tho, batin saya.

Prof Tjipta sempat menyayangkan pertikaian yang terjadi antara Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PT JM. Ia mengatakan kalau Ahok berlebihan dalam memberikan statement ke media tentang persoalan monorail ini.

Sebenarnya kalau dipikir sederhana, apa susahnya bangun monorail? Tinggal urus izin dan peraturannya, lalu gambar desainnya, panggil kontraktornya, bangun monorailnya dan datangkan keretanya. Beres kan? Apalagi groundbreakingnya sudah dilakukan 16 Oktober tahun lalu (Detik.com, 2014). Tapi tentu itu hanya pikiran sederhana saya. Bagaimanapun juga banyak kepentingan yang bermain kalau sudah berbicara proyek.

Proyek di Indonesia selalu sarat politisasi. Dalam kasus monorail, aroma politisasi memang tercium. Sebab, mulai dari 2003 sampai 2014 ini, mana mungkin peraturan yang tetap untuk pembangunan sama sekali belum selesai?

Belajar dari Bangun Bandara
Pembangunan monorail memang bukan hal mudah, tapi mari sejenak mengingat kembali bagaimana susahnya bangsa ini membangun bandara sendiri. Hampir semua bandara di Indonesia dikerjakan oleh kontraktor asing. Konsultannya asing, desinernya asing, semuanya asing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun