Mohon tunggu...
M Rosyid J
M Rosyid J Mohon Tunggu... Freelancer - Peneliti

Researcher di Paramadina Public Policy Institute

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Balada Monorail Jakarta dan Keluhan Kawan Baikku

8 Juni 2014   02:29 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:46 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1402144076621808831

[caption id="attachment_341024" align="aligncenter" width="640" caption="Suasana Nangkring"][/caption]

Tepat pukul 5 pagi, hari Sabtu sekitar sebulan lalu, kawanku Dhani (Bukan nama sebenarnya) tumben bangun pagi. Setahu saya, sepagi-paginya bangun, rekor terbaiknya adalah jam 8, mengapa waktu itu ia bangun jam 5?

Usut punya usut, rupanya ia akan bertemu seorang kawan lamanya yang berasal dari Malaysia. Semangat bercampur gembira mimik mukanya. Oh sudah lebih bagus kamu? Batin saya.

Singkat cerita ia berangkat pukul 11 siang menuju sebuah mall di Jakarta Selatan. Ia pilih naik taksi, karena ia pikir ini praktis dan cepat. Namun mimik kegembiraan dan sukacitanya punah setelah sejam kemudian ia kembali ke kosan. Bukan hanya hilang rasa suka citanya, ia sudah mirip orang antri BBM, ia diamuk marah.

Alih-alih bertemu kawannya, ia terjebak macet. Ia pikir Sabtu Jakarta lebih lengang, tapi nyatanya sebaliknya. Sabar bro, saya bilang. "Ngga bisa gini dong! Gagal total ketemu temen! Dia sudah balik ke Malaysia!" Celetuknya keras. "Ini ibukota masak mau gini terus. Ini canceled ketemuannya. Dia siang ini sudah pulang ke Malay. Itu di Malaysia aja yang merdeka jauh-jauh setelah kita udah maju transpotnya. Mana monorail, mana? Di Malaysia udah bagus!"

Mendengar ocehan yang saya pikir tak tepat sasaran ini, saya lebih memilih diam dan mendengarkan, sambil berujar Sabar, Bro…” berkali-kali sebab memang saya tak punya jawaban. Jawaban coba saya cari hingga kemudian Kompasiana adakan acara Nangkring Bareng PT Jakarta Monorail bertema “Persoalan Infrastruktur atau Politik?”. Tepat sekali momennya!

Sabtu (24/5) jam 9 pagi saya melenggang dari kosan saya menuju lokasi. Di sebuah restoran steak di bilangan Jakarta Pusat, acara dikemas dengan santai. Ada 4 pembicara yang datang: John Aryananda (Dirut PT Jakarta Monorail), Dharmaningtyas (Pengamat Transportasi), Prof. Tjipta Lesmana (Pakar Komunikasi Politik UPH) dan Lukas Hutagalung (Konsultan Bidang Infrastruktur Bappenas).

Saya ambil posisi duduk paling depan. Jarak yang tak jauh antara pembicara dan peserta serta kursi pembicara dan peserta yang 'selevel' membuat acara benar-benar santai dan nyaman.

Mengingat-ingat keluhan Dhani, yang paling perlu saya ketahui di acara itu sudah tentu: Sampai mana pembangunan monorail di Jakarta ini? Bukankah pancang-pancangnya sudah dibangun sejak dulu?

Ganjalan utama
Tak perlu waktu lama untuk menemukan jawabannya. Dari paparan John sang direktur PT JM, ternyata, monorail di Jakarta masih tahap penetapan peraturan dan dasar hukum sejak inisiasinya 2003 lalu. Ia menjelaskan kalau banyak ambiguitas dan anomali dalam peraturan-peraturan daerah sebagai dasar hukum pembangunan monorail. Jadi sampai sekarang ini, pembahasan monorail belum sampai pada berapa tahun lagi akan selesai, tapi kapan ini bisa dimulai.

Pendek kata, monorail di Jakarta masih dalam alam pikiran.

Ganjalan utamanya ini terpapar jelas di acara ini. Terlihat sekali tak ada ‘sinkronisasi niat’ antara pemerintah DKI Jakarta (DKI) dan Jakarta Monorail. Pemerintah DKI meminta proyek ini jangan diambil untung sebagai bisnis, sementara PT JM tentu harus 'membisniskan' ini. Sebab kalau tidak, darimana untungnya? Bagi pemerintah DKI tak mungkin monorail dibisniskan karena akan mahal tarifnya, sementara bagi PT JM tak mungkin ini jadi ‘proyek sedekah’ sebab siapa yang akan gaji karyawan mereka?

Pembangunan monorail juga mendapat kritikan dari Dharmaningtyas, sebab menurutnya, proyek ini tak memberi manfaat bagi Jakarta. Menurutnya, rutenya tak tepat sasaran. Ia menyebutnya sebagai ‘rute makan siang’ karena ia anggap jalur yang akan dibangun tak akan mengurangi macet, melainkan cuma mengantarkan orang makan siang di mall-mall.

Konsultan dari Bappenas Lukas Hutagalung mencoba menengahi situasi 'tegang' antara PT JM dan Pemerintah DKI dengan menawarkan sistem KPS atau kerjasama pemerintah dan swasta. Jelasnya, dalam aplikasinya, sistem ini menjembatani antara kepentingan publik DKI Jakarta dan kepentingan bisnis PT JM. Dengan sistem ini, kata Lukas, pada akhirnya monorail akan jadi milik pemerintah seutuhnya, namun selama masa konsesi, PT JM berhak 'membisniskannya'.

Sementara itu, sebagai seorang ahli komunikasi politik, Prof Tjipta mengatakan kalau monorail di Jakarta bukan hanya diperlukan, tapi sangat diperlukan! Pertumbuhan panjang jalan yang cuma 0.6% per-tahun tak sanggup lagi mengimbangi laju pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang capai 10% per-tahun.

Beberapa pihak kemudian memunculkan isu bahwa Ibukota harus dipindah. Namun menurut Tjipta, ini tidak diperlukan sama sekali. Ibukota dimana-mana memang macet. Yang perlu dibenahi transportasinya. Memindahkan ibukota sama halnya cuma memindahkan ruang; kalau orang-orangnya, birokrat-birokratnya mentalnya sama, masalah yang dihadapi pun sama saja.

Saking jengkelnya, Prof Tjipta dengan vulgar bilang kalau birokratnya masih “banyak bacot” dan “banyak korupsi” dan dipimpin “pemimpin-pemimpin sableng”, mau diperlakukan bagaimanapun, Ibukota dipindah ke tempat macam apapun, sama saja masalahnya.

Mendengar paparan para pembicara, otak saya mulai merangkai-rangkai pemikiran. Oh begini tho, batin saya.

Prof Tjipta sempat menyayangkan pertikaian yang terjadi antara Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PT JM. Ia mengatakan kalau Ahok berlebihan dalam memberikan statement ke media tentang persoalan monorail ini.

Sebenarnya kalau dipikir sederhana, apa susahnya bangun monorail? Tinggal urus izin dan peraturannya, lalu gambar desainnya, panggil kontraktornya, bangun monorailnya dan datangkan keretanya. Beres kan? Apalagi groundbreakingnya sudah dilakukan 16 Oktober tahun lalu (Detik.com, 2014). Tapi tentu itu hanya pikiran sederhana saya. Bagaimanapun juga banyak kepentingan yang bermain kalau sudah berbicara proyek.

Proyek di Indonesia selalu sarat politisasi. Dalam kasus monorail, aroma politisasi memang tercium. Sebab, mulai dari 2003 sampai 2014 ini, mana mungkin peraturan yang tetap untuk pembangunan sama sekali belum selesai?

Belajar dari Bangun Bandara
Pembangunan monorail memang bukan hal mudah, tapi mari sejenak mengingat kembali bagaimana susahnya bangsa ini membangun bandara sendiri. Hampir semua bandara di Indonesia dikerjakan oleh kontraktor asing. Konsultannya asing, desinernya asing, semuanya asing.

Cerita ini pun berakhir ketika Jusuf Kalla (JK) yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Presiden RI berinisiatif: Harus ada bandara yang dibangun 100% oleh anak-anak negeri. Singkat cerita, tiga bandara karya anak negeri kini berdiri megah di Indonesia: Bandara Sultan Hassanuddin Makassar, Bandara Kualanamu Deli Serdang dan Bandara Internasional Lombok.

Melihat apa yang bisa diperbuat JK, tentu monorail tak seharusnya menjadi rumit dan bertahun-tahun menjadi hiasan manis di atas kertas. Politisasi proyek apapun termasuk monorail bisa terjadi bila memang tak ada kemauan. Bagaimana soal kemampuan? Orang pintar di dunia ini banyak sekali, dan monorail bukan hal yang baru pula. Kita tinggal belajar dari mereka. (Kisah JK mendorong pembangunan Kualanamu bisa dibaca di sini)

Seperti kata Prof Tjipta, sikap Ahok yang berlebihan memang disayangkan. Tak seharusnya ia banyak bicara banyak pada media soal masalah monorail ini. Simpanlah saja dibawah meja. Selesaikanlah tanpa membingungkan rakyat.

Di sisi lain, kekeukeuhan PT JM juga timbulkan tanda tanya. Mengapa? Mudah saja, kalau memang proyek ini menguntungkan DKI, tentu Ahok tak akan marah-marah, dan Jokowi membiarkannya. Melihat track record Ahok sebagai pejabat, kemarahannya tentu memiliki alasan.

Proyek monorail bukanlah proyek yang bisa mengasilkan keuntungan dalam waktu cepat. Belasan triliun harus digelontorkan untuk menyelesaikannya. Direktur PT JM ketika ditanya mengapa ia benar-benar getol ingin melanjutkan proyek ini adalah karena harga property yang dilalui oleh jalur ini kelak akan naik. Orang akan mudah berpikir: Ah, rupanya ini juga ada maunya. Tak salah memang orang berbisnis, tapi mungkin ini juga yang membuat Ahok marah.

Pada akhirnya, penjelasan panjang ini saya utakaman untuk kawan baik saya. Selesai acara, saya segera pergi pulang ke kosan. Sebenarnya ada makanan gratis, tapi rupanya keinginan untuk segera menyampaikan apa yang saya dapat dan pikirkan secepatnya pada Dhani. Saya jelaskan akar masalah silang sengkarut monorail di Jakarta ini.

Perkara monorail sebenarnya perkara mudah, tapi sepertinya perkara mudah belum mendapat tempat di sini. Diskusi alot selalu harus jadi bahan pembuka setiap keputusan di negara berjuluk Zamrud Khatulistiwa ini.

Saya juga katakan padanya, dulu banyak orang bilang kalau Singapura maju karena penduduknya sedikit. Banyak yang mengamini itu. Teknologi transportasi pun mudah diterapkan di sana. Waktu itu Jakarta tak punya monorail pun, masa bodoh.

Tapi kini China yang penduduknya 1 milyar lebih pun bisa maju. Kini orang merevisi pikiran-pikiran mereka. Seperti kata Jusuf Kalla, bahwa yang menjadikan sebuah negara maju itu bukan jumlah penduduk, sedikit atau banyak, tapi kemauan yang kuat dari bangsa itu sendiri.

Kalau memang DKI ingin punya monorail, tak seharusnya ini jadi manisan kertas yang sudah bertahun-tahun cuma jadi bahan perdebatan, penghias media massa dan pemberi harapan palsu.

Rupanya Dhani memahami, saya pun juga memahami. “Sudahlah, terima kasih penjelasannya, itu sudah cukup. Kalau pun memang tak bisa dibangun di sini, saya bisa ke Malaysia naik monorail di sana sambil kunjungi balik kawanku,” kata Dhani sambil mengangkat bahu. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun