Mohon tunggu...
Jayu Titen
Jayu Titen Mohon Tunggu... Lainnya - Ambtenaar, Blogger,

https://masjayu.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Quo Vadis BRIN?

23 Mei 2023   14:00 Diperbarui: 23 Mei 2023   13:57 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Alt_Logo_BRIN.png

Ruang sidang terasa menegang suasananya saat rapat dengar pendapat (RDP) antara komisi VII DPR yang membidangi Energi, Riset dan Teknologi, dan Lingkungan Hidup dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) 30 Januari 2023 lalu. 

Di dalam rapat tersebut DPR mempermasalahkan kinerja BRIN yang tidak profesional yang dapat mengganggu iklim riset dan inovasi nasional. Kemarahan DPR tersebut seperti mewakili kegundahan para pegiat ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) khususnya para peneliti yang saat ini seperti berada dipersimpangan jalan. Mereka terpaksa keluar dari rumah lama tetapi menuju rumah baru, tetapi baru sejengkal melangkah, didepan mata nampak hanya hamparan rumput hijau tanpa pepohonan. Diujung sana terlihat bangunan gedung mewah tetapi antrian untuk masuk terlihat mengular tak berujung. Mereka mencoba membangun bivak seperti arahan ketua panitia tetapi hembusan angin diluar terlalu kencang sehingga mereka terpaksa harus kembali kerumah msing-masing.

Tahun 2019 merupakan awal tahun dimulainya dinamika pada dunia penelitian di Indonesia. Dinamika tersebut mencapai klimaksnya pada saat diterbitkannya Perpres terbaru tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) No. 78 tahun 2021 dimana lembaga Litbangjirap yang struktur organisasinya berada di bawah organisasi/lembaga Kementerian dan non Kementerian resmi dibubarkan. Dinamika itu bermula sejak disahkannya Undang-undang No. 11 tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pengganti Undang – Undang No. 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Revisi UU yang menjadi landasan operasional litbangjirap di Indonesia tersebut dimaksudkan agar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) berkontribusi dalam membangun masa depan perekonomian Indonesia yang berbasis ilmu pengetahuan intensif. 

Saya kira seluruh rakyat Indonesia sepakat dengan tujuan mulia tersebut, namun perbedaan cara bagaimana melaksanakan amanah undang – undang tersebut menjadi ranah ijtihadi yang terus menjadi kajian dan evaluasi berkaitan dengan maslahah (manfaat) dan mudharat (kerugian) bagi rakyat dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kronologis dibentuknya BRIN

Mengacu Pasal 48 UU No. 11 tahun 2019 pada ayat (1) yang berbunyi “Untuk menjalankan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan, serta Invensi dan Inovasi yang terintegrasi dibentuk badan riset dan inovasi nasional”. Pada ayat selanjutnya dijelaskan bahwa Badan riset dan inovasi nasional sebagaimana dimaksud dibentuk dan diatur dengan Peraturan Presiden. 

Sebagai pelaksanaan dari pasal 48 ayat (2) dan (3), maka Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo mengeluarkan peraturan presiden (Perpres) tentang pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Tarik ulur politik dalam pembentukan BRIN sebagai integrator lembaga litbangjirap yang tersebar diberbagai lembaga Kementerian dan non Kementerian sangat terasa terlihat dari amanah perpres yang tidak dapat dilaksanakan oleh BRIN untuk menata organisasi sesuai waktu yang ditentukan. 

Perpres pertama yang mengatur BRIN yaitu Perpres No. 74 tahun 2019 yang di undangkan pada 24 Oktober 2019. Menurut pasal 36 BRIN diperintahkan untuk melakukan penataan organisasi yang disesuaikan dengan strategi BRIN dan pelaksanaan visi presiden sesuai peraturan-perundang-undangan sampai 31 Desember 2019. Melalui Perpres tersebut kelembagaan BRIN masih melekat pada Kementerian Riset dan Teknologi dimana kepala Kemenristek sekaligus merangkap kepala BRIN. Jangka waktu 2 (dua) bulan yang diberikan kepada BRIN untuk melakukan penataan organisasi tidak cukup, maka Presiden menerbitkan Perpres Nomor 95 Tahun 2019 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2019 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional yang intinya memperpanjang penataan organisasi BRIN sampai dengan 31 Maret 2020.

Berdasarkan hasil analisis dan evaluasi UU No. 11 Tahun 2019 yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM tahun 2021 menyimpulkan bahwa adanya irisan antara ketidakmampuan BRIN untuk menata struktur organisasi sebagaimana amanah Perpres No. 95 tahun 2019 sampai dengan Maret 2020 dengan terbitnya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja khususnya klaster memberikan dukungan riset dan inovasi.  Karena ketidakmampuan tersebut maka melalui pasal 121 UU Cipta Kerja tersebut dilakukan perubahan Pasal 48 UU Sisnas Iptek dengan menambahkan pengaturan yang berkaitan dengan pembentukan Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA). Dengan demikian, maka UU Cipta Kerja juga membidangi lahirnya Perpres baru terkait dengan kelembagaan BRIN yaitu dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2021 tentang Badan Riset Inovasi Nasional yang diundangkan pada 28 April 2021.

Keberlangsungan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2021 juga dapat dikatakan singkat yaitu sekitar 3-4 bulan, karena harus digantikan kembali dengan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 yang diundangkan pada 24 Agustus 2021. Tidak ada hal mendasar terkait penggantian tersebut, salah satu perubahan yang menimbulkan polemik dimasyarakat adalah berhubungan dengan aspek kewenangan ketua dewan pengarah BRIN yaitu memberikan arahan, masukan, evaluasi, persetujuan atau rekomendasi kebijakan dan dalam keadaan tertentu dapat membentuk Satuan Tugas Khusus.

Quo vadis BRIN?

Sudah satu tahun lebih BRIN hadir memandegani kegiatan Litbangjirap di Indonesia, apakabar inovasi nasional saat ini dan akan datang? Bagaimana nasib sumberdaya manusia (SDM) peneliti yang menjadi tulangpunggung inovasi nasional? Berapa banyak teknologi yang dihasilkan dari kegiatan Litbangjirap BRIN? Mampukah BRIN menjadi sumber teknologi yang dapat menjadi pilar perekonomian berbasis ilmu pengetahuan intensif? Untk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, baiknya kita menyelami situasi penelitian saat ini, mengingat DPR sudah bersuara mengevaluasi keberadaan BRIN.

Pembentukan BRIN sebagai consolidator Litbangjirap sudah menimbulkan polemik sejak awal karena mengganggu struktur organisasi penelitian yang sudah mapan. Hal tersebut diperparah dengan munculnya anasir-anasir politik masuk kedalam lembaga yang diisi oleh orang–orang profesional yang hanya memiliki satu tujuan memajukan bangsa dan negara dengan menghasilkan teknologi dan berinovasi. Dalam proses konsolidasi tusi litbangjirap, BRIN hanya mengintegrasikan lembaga penelitian dibawah Kemenristek yaitu LIPI, BPPT, LAPAN dan BATAN serta beberapa lembaga di antaranya adalah PT IPTEK dan Lembaga LBM Eijkman. Lembaga tersebut tinggal mengganti plang nama didepan kantor mereka masing-masing, tetapi tidak melakukan hal yang sama terhadap lembaga Litbangjirap dibawah Kementerian. Akibatnya, peneliti yang berada di bawah litbangjirap Kementerian harus bermigrasi ke BRIN. Disinilah percikan-percikan konflik terjadi antara Kementerian/Lembaga yang pada mulanya menjalankan tusi litbangjirap dengan BRIN, maupun sesama pegawai karena adanya miskomunikasi dan keangkuhan masing-masing lembaga.

Sudah barang tentu peneliti yang berasal dari Kementerian merasa berat hati meninggalkan tempat kerja lamanya karena segala fasilitas seperti workshop, laboratorium, kebun percobaan dan lain-lain sudah tersedia, sementara ditempat baru masih belum ada kejelasan fasilitas penelitian. Barangkali terlalu jauh mengharapkan fasilitas pelitian pada masa transisi ini, para peniliti yang menjadi tulang punggung riset dan inovasi nasional tersebut tidak memiliki tempat kerja/kantor. Bayangkan para peneliti yang berasal dari Kementerian yang berkantor di satuan kerja (satker) daerah, tiba-tiba harus berpindah ke BRIN dimana didaerah tersebut tidak ada kantor perwakilan BRIN. Mereka harus berkantor dimana? 

Ada juga peneliti yang sedang melakukan penelitian untuk menghasilkan varietas unggul baru (VUB) yang dibutuhkan masyarakat dilahan percobaan tempat kerja yang lama, mau tidak mau mereka harus keluar meninggalkan tempat tersebut, dimana mereka harus melanjutkan penelitiannya? 

Selain itu, para peneliti yang sudah menghasilkan teknologi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat harus ditinggalkan ditempat kerja lama karena tidak memungkinkan untuk dibawa oleh peneliti seperti isolat virus, bakteri, parent seed, dll. Disini terpisah antara teknologinya dengan know-hownya. Menghadapi situasi seperti ini, pimpinan BRIN menanggapinya terlalu naïve dengan menerapkan kebijakan kerja dari mana saja (Work from anywhere) seperti sewa coworking space, dari kafe dan sebagainya.

Kebijakan tersebut tidak masalah bagi peneliti dibidang ilmu pengetahuan sosial (social sciences) akan tetapi menjadi masalah bagi peneliti ilmu pengetahuan alam (natural sciences) karena mereka tidak hanya membutuhkan ruang kerja tetapi yang lebih penting lagi peneliti membutuhkan laboratorium, workshop, lahan percobaan dan fasilitas lainnya? Fasilitas tersebut saat ini sudah tersedia di BRIN karena empat lembaga penelitian yang dilebur menjadi satu pasti memiliki sarana dan prasarana penelitian, akan tetapi jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah peneliti yang ada, sehingga penggunaan laboratorium dilakukan secara bergilir dan sering menimbulkan friksi sesama peneliti karena mau tidak mau harus menghentikan kegiatan penelitiannya saat giliran peneliti lain tiba? 

Peneliti bisa kerjasama dengan masyarakat yang bersangkutan sehingga teknologinya bisa langsung diterapkan. Tanggapan-tanggapan yang bernada naïve ini seperti menjadi pembenaran dengan model kerja baru diera digitalisasi, akan tatapi bukan menjadi solusi yang tepat atas kondisi yang dihadapi oleh para peneliti hari ini. Para peneliti saat ini mengalami kebingungan-kebingungan karena tidak bisa melanjutkan penelitiannya sehingga jika dievaluasi akan lebih banyak berada dirumah dan kurang produktif. Sekali lagi orang-orang hebat yang menjadi tulang punggung inovasi nasional tersebut harus terhenti aktivitasnya, sungguh memprihatinkan!

Dari sisi anggaran, pada tahun 2022 BRIN memperoleh anggaran 6.4 Triliun, jumlah tersebut termasuk besar sebagai lembaga pemerintah yang baru akan tetapi 70% digunakan sebagai belanja pegawai, sedangkan sisanya untuk belanja modal dan penelitian. Ini artinya bahwa postur BRIN terlalu gemuk sehingga membutuhkan pendanaan yang besar untuk sekedar bisa beroperasi, sementara kegiatan intinya berupa litbangjirap terjadi kemandegan. Keberadaan BRIN malah semakin membuat kegiatan penelitian dan pengembangan di Indonesia mundur dua dekade. Hal tersebut dapat dilihat dari output penelitian hanya ditekankan sebatas pada publikasi pada jurnal terindeks scopus. Alih-alih untuk menghasilkan invensi baru, tetapi dipaksa untuk menghasilkan jurnal bertaraf internasional. Fase ini seharusnya sudah dilewati dunia litbangjirap sejak 2 dekade lalu.

Inovasi di bidang pertanian

Bidang pertanian merupakan sektor yang yang sangat erat hubungannya antara urat nadi dengan jantung kehidupan manusia. Agar urat nadi tetap berdenyut maka jantung harus tetap bekerja, agar jantung tetap bekerja maka manusia harus terjaga kesediaan pangannya. Ketersediaan jumlah pangan harus simultan dengan penambahan jumlah penduduk ditengah-tengah kondisi pertanian yang semakin terdisrupsi. Terdisrupsinya pertanian akibat pertambahan jumlah penduduk yang membutuhkan tempat tinggal sehingga banyak lahan produktif berubah menjadi hunian baru, dampak pemakaian pupuk dan pestisida yang merusak kesuburan tanah serta terganggunya rantai pasok akibat bencana alam maupun perang, negara dituntut untuk menghasilkan inovasi yang dapat menjadi solusi ancaman krisis pangan.

Pemerintah telah bertekad untuk menjadi lumbung pangan dunia tahun 2045. Untuk mencapai visi tersebut maka diperlukan lembaga litbangjirap yang dapat tercipta pembangunan pertanian yang lebih terarah dalam menghasilkan invensi dan inovasi pertanian. Teknologi pertanian hasil penelitian sangat dinantikan oleh masyarakat penyedia pangan yaitu para petani. Sangat sulit melacak hasil-hasil penelitian dan dampaknya terhadap perekonomian di Indonesia, saya ambil contoh hasil penelitian dan pengembangan di Kementerian Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementan setiap tahun menghasilkan ratusan invensi yang sangat dinantikan oleh dunia pertanian. Teknologi-teknologi inovatif tersebut sebagian besar menjadi domain publik yang langsung digunakan oleh masyarakat, dan sebagian lainnya didaftarkan perlindungan kekayaan intelektual (HKI) seperti paten, perlindungan varietas tanaman (PVT), hak cipta dan lain-lain.

Teknologi pertanian yang didaftarkan perlindungan HKI sampai akhir tahun 2022 mencapai 900 teknologi, kemudian HKI tersebut dialih teknologikan secara komersial kepada industri melalui mekanisme lisensi. Teknologi Pertanian tersebut sebanyak 92 dilisensi oleh 99 perusahaan yang tertuang didalam 211 perjanjian lisensi. Kegiatan komersialisasi teknologi Kementerian Pertanian ini menghasilkan perputaran ekonomi dimasyarakat mencapai Rp.200 miliar/tahun, sementara itu royalti yang dibayarkan perusahaan penerima hak lisensi kepada Kementerian Pertanian rata-rata mencapai Rp.4,5 miliar/tahun. Hal ini membuktikan bahwa Balitbangtan, Kementerian Pertanian sangat produktif dalam menghasilkan teknologi inovatif yang dibutuhkan oleh masyarakat dan industri pertanian.

Terintegasinya tusi litbangjirap dalam menghasilkan invensi dan inovasi menimbulkan harapan baik akan terciptanya pembangunan IPTEK yang lebih terarah, akan tetapi menyaksikan dinamika kinerja BRIN dalam mengelola organisasi dan SDM peneliti saat ini, siapapun boleh menaruh kekhawatiran masa depan inovasi nasional khususnya dunia pertanian. Jika situasi ini masih terus berlangsung, maka akan semakin memperparah indek inovasi global Indonesia yang saat ini berada pada urutan berada di peringkat ke-75 dengan nilai 27.9.

Kembali ke persoalan ijtihad bahwa justifikasi integrasi litbangjirap dengan membentuk badan riset dan inovasi nasional membutuhkan pemikiran yang holistik dengan melihat permasalahan secara jernih dan memberikan solusi yang tepat dengan tingkat risiko yang paling kecil. Jika dirasa integrasi tusi litbangjirap ke BRIN tersebut banyak mudharatnya daripada maslahahnya maka tidak ada masalah jika Bapak Presiden melakukan ijtihad ulang. Sebab jika ijitihad salah hukumnya dapat satu pahala, jika benar dapat dua pahala. Wassalam

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun