Mohon tunggu...
Jayu Titen
Jayu Titen Mohon Tunggu... Lainnya - Ambtenaar, Blogger,

https://masjayu.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Quo Vadis BRIN?

23 Mei 2023   14:00 Diperbarui: 23 Mei 2023   13:57 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Alt_Logo_BRIN.png

Quo vadis BRIN?

Sudah satu tahun lebih BRIN hadir memandegani kegiatan Litbangjirap di Indonesia, apakabar inovasi nasional saat ini dan akan datang? Bagaimana nasib sumberdaya manusia (SDM) peneliti yang menjadi tulangpunggung inovasi nasional? Berapa banyak teknologi yang dihasilkan dari kegiatan Litbangjirap BRIN? Mampukah BRIN menjadi sumber teknologi yang dapat menjadi pilar perekonomian berbasis ilmu pengetahuan intensif? Untk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, baiknya kita menyelami situasi penelitian saat ini, mengingat DPR sudah bersuara mengevaluasi keberadaan BRIN.

Pembentukan BRIN sebagai consolidator Litbangjirap sudah menimbulkan polemik sejak awal karena mengganggu struktur organisasi penelitian yang sudah mapan. Hal tersebut diperparah dengan munculnya anasir-anasir politik masuk kedalam lembaga yang diisi oleh orang–orang profesional yang hanya memiliki satu tujuan memajukan bangsa dan negara dengan menghasilkan teknologi dan berinovasi. Dalam proses konsolidasi tusi litbangjirap, BRIN hanya mengintegrasikan lembaga penelitian dibawah Kemenristek yaitu LIPI, BPPT, LAPAN dan BATAN serta beberapa lembaga di antaranya adalah PT IPTEK dan Lembaga LBM Eijkman. Lembaga tersebut tinggal mengganti plang nama didepan kantor mereka masing-masing, tetapi tidak melakukan hal yang sama terhadap lembaga Litbangjirap dibawah Kementerian. Akibatnya, peneliti yang berada di bawah litbangjirap Kementerian harus bermigrasi ke BRIN. Disinilah percikan-percikan konflik terjadi antara Kementerian/Lembaga yang pada mulanya menjalankan tusi litbangjirap dengan BRIN, maupun sesama pegawai karena adanya miskomunikasi dan keangkuhan masing-masing lembaga.

Sudah barang tentu peneliti yang berasal dari Kementerian merasa berat hati meninggalkan tempat kerja lamanya karena segala fasilitas seperti workshop, laboratorium, kebun percobaan dan lain-lain sudah tersedia, sementara ditempat baru masih belum ada kejelasan fasilitas penelitian. Barangkali terlalu jauh mengharapkan fasilitas pelitian pada masa transisi ini, para peniliti yang menjadi tulang punggung riset dan inovasi nasional tersebut tidak memiliki tempat kerja/kantor. Bayangkan para peneliti yang berasal dari Kementerian yang berkantor di satuan kerja (satker) daerah, tiba-tiba harus berpindah ke BRIN dimana didaerah tersebut tidak ada kantor perwakilan BRIN. Mereka harus berkantor dimana? 

Ada juga peneliti yang sedang melakukan penelitian untuk menghasilkan varietas unggul baru (VUB) yang dibutuhkan masyarakat dilahan percobaan tempat kerja yang lama, mau tidak mau mereka harus keluar meninggalkan tempat tersebut, dimana mereka harus melanjutkan penelitiannya? 

Selain itu, para peneliti yang sudah menghasilkan teknologi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat harus ditinggalkan ditempat kerja lama karena tidak memungkinkan untuk dibawa oleh peneliti seperti isolat virus, bakteri, parent seed, dll. Disini terpisah antara teknologinya dengan know-hownya. Menghadapi situasi seperti ini, pimpinan BRIN menanggapinya terlalu naïve dengan menerapkan kebijakan kerja dari mana saja (Work from anywhere) seperti sewa coworking space, dari kafe dan sebagainya.

Kebijakan tersebut tidak masalah bagi peneliti dibidang ilmu pengetahuan sosial (social sciences) akan tetapi menjadi masalah bagi peneliti ilmu pengetahuan alam (natural sciences) karena mereka tidak hanya membutuhkan ruang kerja tetapi yang lebih penting lagi peneliti membutuhkan laboratorium, workshop, lahan percobaan dan fasilitas lainnya? Fasilitas tersebut saat ini sudah tersedia di BRIN karena empat lembaga penelitian yang dilebur menjadi satu pasti memiliki sarana dan prasarana penelitian, akan tetapi jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah peneliti yang ada, sehingga penggunaan laboratorium dilakukan secara bergilir dan sering menimbulkan friksi sesama peneliti karena mau tidak mau harus menghentikan kegiatan penelitiannya saat giliran peneliti lain tiba? 

Peneliti bisa kerjasama dengan masyarakat yang bersangkutan sehingga teknologinya bisa langsung diterapkan. Tanggapan-tanggapan yang bernada naïve ini seperti menjadi pembenaran dengan model kerja baru diera digitalisasi, akan tatapi bukan menjadi solusi yang tepat atas kondisi yang dihadapi oleh para peneliti hari ini. Para peneliti saat ini mengalami kebingungan-kebingungan karena tidak bisa melanjutkan penelitiannya sehingga jika dievaluasi akan lebih banyak berada dirumah dan kurang produktif. Sekali lagi orang-orang hebat yang menjadi tulang punggung inovasi nasional tersebut harus terhenti aktivitasnya, sungguh memprihatinkan!

Dari sisi anggaran, pada tahun 2022 BRIN memperoleh anggaran 6.4 Triliun, jumlah tersebut termasuk besar sebagai lembaga pemerintah yang baru akan tetapi 70% digunakan sebagai belanja pegawai, sedangkan sisanya untuk belanja modal dan penelitian. Ini artinya bahwa postur BRIN terlalu gemuk sehingga membutuhkan pendanaan yang besar untuk sekedar bisa beroperasi, sementara kegiatan intinya berupa litbangjirap terjadi kemandegan. Keberadaan BRIN malah semakin membuat kegiatan penelitian dan pengembangan di Indonesia mundur dua dekade. Hal tersebut dapat dilihat dari output penelitian hanya ditekankan sebatas pada publikasi pada jurnal terindeks scopus. Alih-alih untuk menghasilkan invensi baru, tetapi dipaksa untuk menghasilkan jurnal bertaraf internasional. Fase ini seharusnya sudah dilewati dunia litbangjirap sejak 2 dekade lalu.

Inovasi di bidang pertanian

Bidang pertanian merupakan sektor yang yang sangat erat hubungannya antara urat nadi dengan jantung kehidupan manusia. Agar urat nadi tetap berdenyut maka jantung harus tetap bekerja, agar jantung tetap bekerja maka manusia harus terjaga kesediaan pangannya. Ketersediaan jumlah pangan harus simultan dengan penambahan jumlah penduduk ditengah-tengah kondisi pertanian yang semakin terdisrupsi. Terdisrupsinya pertanian akibat pertambahan jumlah penduduk yang membutuhkan tempat tinggal sehingga banyak lahan produktif berubah menjadi hunian baru, dampak pemakaian pupuk dan pestisida yang merusak kesuburan tanah serta terganggunya rantai pasok akibat bencana alam maupun perang, negara dituntut untuk menghasilkan inovasi yang dapat menjadi solusi ancaman krisis pangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun