Mohon tunggu...
Jaysen E. Thiadi
Jaysen E. Thiadi Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar perenial

gemar membaca dan menulis berbagai macam tulisan, bereksperimen dengan bahasa dan tulisan untuk menghasilkan suatu karya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rekuiem

18 Agustus 2024   17:30 Diperbarui: 18 Agustus 2024   17:51 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Harusnya aku sudah siap untuk ini. Harusnya aku sudah mempersiapkan diri untuk ini. Persiapan manusiawi sesiap apa pun tidak dapat menyiapkanku untuk perasaan yang banjir bagai bencana alam, harusnya aku tahu itu.

Harusnya, harusnya, harusnya …

Kata yang menunjukkan penyesalan, yang menunjukkan kemelekatan terhadap masa lalu yang tidak dapat lagi diulang.

Tentu. Aku tahu itu semua. Namun, tetap saja rekaman batin tentang hari-hari yang sudah kian lama hilang dimainkan kembali dalam bioskop batin berulang kali .

Lagi, dan lagi, dan lagi …

Harusnya. Hari ini hari yang bahagia, tetapi kukenakan pakaian hitam dari atas ke bawah.

Seakan berduka.

Berduka … iya, memang dalam hari berbahagia ini aku sedang berduka. Berduka untuk kehilangan kamu yang selama ingatanku sudah menemaniku, dalam suka ataupun duka.

Aku masih ingat ketika dapat berlari-lari denganmu di lapangan luas nan hijau, ditemani sepoi-sepoi tanpa memedulikan dunia di sekitar kita. Berguling-guling dan berjungkir balik di antara rerumputan yang menggelitik. Alangkah indahnya tawa kita kala itu.

Aku masih ingat ketika berpesta tidak keruan dengan teman-teman kita, bersorak girang di kalangan lampu warna-warni yang hidup-mati mengikuti irama musik yang membudekkan. Tidak ada yang dapat menghentikan kita, kita merasa seakan kita abadi pada saat itu.

Aku masih ingat ketika diriku tenggelam dalam dekapanmu, terpuruk dalam satu sisi gelap di kamar, selama aku terisak, dan kamu meyakinkanku bahwa tidak apa-apa untuk melepaskan diri, menangis tanpa inhibisi. Dalam lautan kegelisahanku, kamulah pengapungku.

Setiap momen denganmu kini kukenang. Tawa geli, aksi gila, saat galau. Bila hari ini bukan hari yang berbahagia, bendungan yang menahan air mata di dalam kerongkonganku mungkin bakal roboh, dan bisa kulepaskan, berduka penuh cita. Seperti dulu.

Aku mengambil napas yang dalam, mencoba memusatkan pandangan ke depan, tetapi mata batin tetap memandang ke belakang, tetap mengilas balik. Bagaimana tidak? Kamu hilang begitu saja. Kamu hilang seakan tanpa jejak. Tidak ada senjata atau mayat atau apa pun untuk dilaporkan ke polisi akan kehilanganmu. Tidak ada bukti keberadaanmu.

Bahkan, sepertinya selain diriku, tidak ada yang mengenalmu. Ini semua sangat absurd. Aku tahu kamu ada. Aku tahu ingatan dan kenangan yang kita bagi bersama itu tidak hanya mimpi belaka. Aku tahu … tetapi ketika aku membuka mataku pagi ini, seakan aku berpindah ke dimensi lain yang sama persis, kecuali kamu tidak lagi bersamaku. Benar, sejak hari ini mulai, aku sudah memiliki firasat buruk, tetapi hari ini jugalah hari yang sudah kita tunggu-tunggu, jadi kenapa kamu hilang?

Aku hanya dapat mengikuti apa yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarku. Seperti robot. Seperti pemeran dalam pantomim yang mencerminkan gerak-gerik lawan pemerannya. Aku tidak dapat mendengar apa yang sedang dibicarakan di depan. Suara yang diperbesar mikrofon pun samar-samar untuk telingaku yang sibuk mengilas balik.

“Dia sudah dewasa, sudah waktunya belajar hidup mandiri!”

“Kita tidak bisa mengasuh dia selamanya, dia juga sudah harus cari pendapatan sendiri, kamu tahu itu! Dia juga masih punya dua adik yang harus diurus. Dia harus tahu.”

“Kasih tahu, dah, habis besok, kasih dia rasa senang dulu. Dia juga harusnya sudah tahu tanggung jawab dia gimana”

Harusnya. Kata yang menandakan suatu harapan. Yang bebannya lebih berat di sang pendengar daripada sang pengucap.

Mungkin aku akan lebih tenang hari ini bila sudah telanjur terlelap. Sayang sekali.

Kenapa kamu hilang? Sebenarnya aku sudah tahu jawabannya.

Mungkin bila aku tidak mendengar semua itu, aku tidak akan membunuhmu dalam tidurku. 

Aku tidak sadar, tetapi alam bawah sadarku mendorongku untuk melakukannya. Seperti robot. Tanpa kehendak diri. Hanya mengikuti naskah kalbu.

Ini dia yang sudah kita nantikan sejak lama.
Hanya saja tidak kusangka kamu tidak dapat menyaksikan ini bersamaku.

Dunia yang kita tunggu-tunggu sudah datang menjemput dengan paduan suara yang mengisi satu aula ini.

Gaudeamus igitur … Juvenes dum sumus …

Paduan suara itu bagai bentara yang mengumumkan bahwa seluruh peserta dalam aula itu sudah siap untuk terjun ke dunia itu, dunia yang menyebabkan banyak keriput dan rambut putih kepada mereka yang sudah memasuki dunia itu sebelum mereka. Tidak peduli apakah benar semua orang sudah siap atau tidak.

Post jucundam juventutem … Post molestam senectutem …

Mungkin memang ada baiknya kamu tidak melihat diriku perlahan menjadi seseorang yang tidak dapat lagi kamu kenal. Mungkin memang ada baiknya kenangan terakhirmu tentangku adalah segala kenangan yang telah mempererat hubungan kita. Mungkin memang ada baiknya kamu tidak melihat siapa yang menikammu dari belakang.

Lagi, dan lagi, dan lagi …

Hingga kamu pucat tanpa napas.
Hingga napasku terengah-engah danair mataku kering.
Iya.
Mungkin ada baiknya.

Setidaknya kamu tidak perlu lagi memikul beban harapan orang-orang di sekitarmu, yang menyiksa waktu mainmu, yang membuatmu merasa tidak enak.

Biarkanlah beban itu sepenuhnya kutanggung, bersama dengan kejahatan yang telah kulakukan dalam pembunuhanmu. 

Nos habebit humus … Nos habebit humus …

Sial. Kenapa paduan suara ini bagus sekali? Aku bisa merasakan air mata melarikan diri dari pelupuk mata. 

Saksi mata yang membuktikan terdakwa bersalah tidak lain adalah mata sang terdakwa.

Aku mencoba menelan ludah. Mencoba membendungnya agar tidak keluar dari kekangannya. 

Kita sudah menunggu lama untuk ini.

Ini harapan kita berdua. Aku harus tangguh menghadapinya.

Untukmu … dan untukku.

Lagu ini, yang kudengar sekarang, tidak, yang kurasakan sekarang, kudedikasikan kepada kematianmu.

Doakan, di mana pun kamu berada sekarang setelah kubunuh penuh tangisan, dunia dewasa ini tidak sekeji kata orang.

Karena di sinilah aku akan mulai tinggal, dan di sini pula aku akan beristirahat selamanya, dan ketika saat itu datang, aku akan memimpikanmu, supaya kita dapat sekali lagi tertawa, melakukan hal-hal gila, dan menangis, bersama.

Sampai jumpa, masa kecilku, beristirahatlah dengan tenang sampai kita ditemukan kembali.

Vita nostra brevis est … Brevi finietur …

---

Jaysen Ekajuve Thiadi, un homme de lettres

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun