"Saya akan meneruskan budaya ini dan Opera Batak untuk generasi muda. Tapi tolong saya, karena saya tidak bisa bergerak sendiri." (Wulandari, 2008:88)
Ucapan tersebut adalah Harapan Zulkaidah terhadap Opera Batak, sekaligus pesan yang di tinggalkan ketika ia menghembuskan nafas terakhirnya di usia yang ke 66 tahun, pada 25 Maret 2013. Kepergian Zulkaidah tentunya meninggalkan kesan yang mendalam, karena keberadaannya, nama Opera Batak di kenal luas hingga mancanegara.Â
Suatu hal yang sangat disayangkan Zulkarnaen Gultom suaminya, seminggu sepeninggal Zulkaidah Harahap, tidak ada penghargaan apapun yang datang dari pemerintah yang sama, yang memberinya gelar Maestro Seni Tradisi, terhadap kematiannya, malahan seluruh kegiatannya di berhentikan (Zulkarnaen Gultom, wawancara 30 Januari 2014).
Kepemimpinan Zulkaidah Harahap dalam Opera Batak
Zulkaidah Harahap, kedudukan yang sempat ia rasakan sebagai pemimpin sebuah grup Opera Batak terbesar dan tersohor pada masa itu, tidak satupun menuliskan namanya dalam buku Opera Batak Serindo dari ketiga penulisnya. Kenyataan ini menimbulkan beragam pertanyaan, juga dugaan miring mengenai keabsahan kepemimpinan satu-satunya parmusik perempuan dalam grupnya tersebut.
"Saya tidak pernah berniat untuk meninggalkan Opera Batak, tapi lantaran saya tidak sanggup lagi membawa Opera Batak, makanya saya tinggalkan. Udah hancur yang ku cari selama di Serindo, habis semuanya. Sesudah jadi tauke aku, tauke Serindo, habis itu bangkrutlah. Diserahkan usaha sama saya, saya terima, bangkrutlah usaha ini, tinggal lah saya di Tiga Dolok" (Zulkarnaen Gultom, wawancara 30 Januari 2014)
Kepemimpinan singkat yang berakhir dengan kebangkrutan adalah satu realita dari perjalanan Zulkaidah selama menjadi bagian dari Opera Batak Serindo.Â
Bukan hanya gagal mempertahankan keberlangsungan hidup grup kesenian yang telah menghidupinya selama menjadi 'Ratu Opera Batak,' ia juga kehilangan penghidupannya yang membuatnya harus menjalani kehidupan sebagai seorang 'Seniman Penjual Kacang Goreng.' Faktor ekonomi menjadi faktor internal kebangkrutan dari grup ini, terlihat dari manajemen keuangan yang tidak seimbang antara pemasukan dan pengeluaran pertunjukan.Â
Besarnya biaya produksi dan biaya hidup keseluruhan tim anggota selama produksi dalam satu pertunjukan keliling yang mereka adakan adalah penyebab utamanya.
Sedangkan faktor eksternal kebangkrutan grup ini adalah adanya perubahan dari dunia luar. Minat penonton yang sebagian besar mulai pergi ke pertunjukan dangdut, sirkus dan televisi seiring dengan kemunculannya;Â
belum lagi tontonan Opera Batak yang mulai kalah bersaing dengan tontonan sirkus kala itu (1980-an), serta tingginya 'pajak' tak resmi dari oknum aparat yang tidak sesuai dengan harga karcis pertunjukan Opera Batak pada waktu itu, membuat keuangan Serindo kelimpungan.Â