Tampil dihadapan penonton untuk pertama kalinya tidak membuatnya gugup, malahan ia mendapat banyak pujian dan saweran. Sejak saat itu ia mendapat perhatian khusus dari Opung Tilhang. Ia pun belajar menggali kemampuannya berkesenian dalam berlakon, menari dan bermain musik (Wulandari, 2008:87).Â
Nama Zulkaidah Harahap mengharum dipentas Opera Batak, tak jarang ia menjadi penyanyi utama karena bakat menyanyinya. Lagu-lagu Opera Batak ciptaan pimpinan Serindo Tilhang Gultom yang sering di nyanyikannya dalam setiap pementasan kemudian direkam ke dalam kaset audio, beberapa saat setelah ia berumah tangga.Â
Hingga kini kaset itu volume satu sampai tiga, masih banyak di incar orang (Wulandari, 2008:87). Rekaman kaset berisi lagu-lagu Opera Batak yang di nyanyikannya beredar pertama kali pada tahun 1968. Tercatat beberapa albumnya masih beredar dipasaran sampai saat ini (Thompson Hutasoit, wawancara 7 Februari 2014).
Kenyataan bahwa seluruh instrumen dalam Batak Toba diciptakan khusus untuk anatomi laki-laki, dapat di lihat dalam instrumen musik hasapi (kecapi). Instrumen berdawai dua ini diletakkan dan di mainkan tepat didada (payudara) manusia, dan jika hasapi digunakan oleh tubuh perempuan, maka tidak lazim baginya untuk di mainkan.Â
Namun Zulkaidah, tanpa menghiraukan kenyataan tersebut ia berani mengangkat instrumen dan mampu memainkannya sama baiknya seperti laki-laki. Tidak hanya mahir sebagai parmusik, Zulkaidah pun lincah sebagai panortor (penari) dalam menarikan tor-tor lima puak; tarian dari Toba, Simalungun, Tapanuli Selatan, Karo dan Pakpak Dairi.Â
Tak heran mengapa ia di sebut sebagai 'Ratu Opera Batak,' karena pada saat itu ia seperti seorang ratu yang kehadirannya selalu dinanti.
Pesona Zulkaidah memang tak luput walaupun tidak berada di atas panggung. Walaupun peran sebagai 'ratu paropera' tidak lagi dilakoninya akibat kebangkrutannya, ia mempertahankan hidupnya walau hanya sebagai penjual tuak dan kacang goreng keliling di kapal penyebrangan pulau Samosir.Â
Permainan sulim yang disajikannya ketika tidak ada pembeli, ia gunakan untuk mengekspresikan rasa rindunya terhadap panggung kesenian. Jalanan pun tidak menjadi masalah bagi Zulkaidah untuk menggantikan panggung yang telah lama hilang dari kehidupannya.Â
Akhirnya setelah lima tahun hidup seperti ini, pada tahun 1989 Rizaldi Siagian, seorang dosen dari USU mengajaknya pentas ke Jepang (Nurhan, 2007), setelah mengetahui keberadaan Zulkaidah lewat media cetak.Â
Selama dua minggu ia bersama rombongan kesenian Batak memainkan enam Opera untuk "Festival Budaya Batak" dibeberapa kota di Jepang (Wulandari, 2008:87). Kemudian ia kembali ke luar negeri pada tahun 1991 untuk Festival of Indonesia di Amerika Serikat.Â
Pengalaman ini adalah kali pertama baginya untuk bisa menginjakkan kaki di New York, San Fransisco, Philadelphia, Honolulu dan Hollywood (Nurhan, 2007). Lawatannya selama dua minggu di luar negeri pada kenyataannya tidak mampu mengubah nasibnya meskipun Zulkaidah punya kemampuan luar biasa dalam bermusik.Â